Senin, November 25, 2024
26.7 C
Jakarta

Awalnya Ingin Menjadi Dokter, Soegijapranata Berubah Haluan saat Berjumpa dengan Romo van Lith

Sukarno dan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. IST

YOGYAKARTA, Pena Katolik – Pada suatu ketika tahun 1909, Romo Franciscus Georgius Josephus Van Lith SJ mendatangi beberapa sekolah di Yogyakarta. Ia mencari murid-murid untuk sekolah guru yang didirikannya di Muntilan. Salah satu sekolah yang ia datangi adalah Hollands Inlandse School di Lempuyangan.

Romo Van Lith berjumpa dengan beberapa siswa di sekolah ini. Di sini jugalah ia berjumpa dengan Soegijapranata yang saat itu menjadi siswa di sekolah Belanda itu.

“Apa kamu berminat masuk di sekolah guru di Muntilan,” demikian tanya Romo van Lith kepada Soegija saat itu.

Ditawari untuk masuk di sekolah guru Soegija tak langsung mengiyakan. Saat itu, pemuda keturunan Keraton Solo itu sudah memiliki cita-cita lain saat itu, ia menilai bahwa menjadi landbouw consulent, atau ‘konsultan pertanian’ rasanya lebih menjanjikan. Sesekali, Soegija juga berpikir dapat menempuh pendidikan menjadi dokter. Dua cita-cita yang tentu menjamin masa depan Soegija.

Pertemuan dengan Romo van Lith nyatanya berdampak besar bagi Soegija. Dalam perjumpaan itu, kesadaran Soegija “dibuka” oleh Romo van Lith. Saat itu, rakyat pribumi Hindia Belanda ditandai oleh tiga ciri: (1) petani yang miskin; (2) kesehatan rakyat yang sangat menyedihkan dan (3) buta huruf yang mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat untuk memperluas horizon penglihatannya tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.

Situasi ini dipengaruhi oleh sistem feodalisme dan penjajahan di Indonesia ketika itu. Romo van Lith berusaha mengajak Soegija untuk memiliki kepedulian pada pendidikan rakyat pribumi dan mengajaknya untuk menyiapkan diri menjadi pendidik.

“Apa kamu tidak peduli pada situasi orang-orang Jawa itu, mereka menantikanmu untuk membawa mereka masa depan yang lebih terdidik,” ujar Romo van Lith kepada Soegija.

Ajakan itu rasanya membekas di hari Soegija. Tidak butuh waktu lama, ia pun bersedia mengikuti Romo van Lith untuk bergabung di Sekolah Guru Xaverius di daerah Muntilan, 30 kilometer barat laut Yogyakarta. Soegija berangkat ke Muntilan meski awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.

Romo Albertus Soegijapranata SJ bersama beberapa imam muda Yesuit pada tahun 1934. IST

Menerima Tanpa Memberitahu

Sebelum bergabung dengan Romo van Lith, Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah Angka Loro di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat Pakualaman sebelum pindah ke Hollands Inlandse School pada tahun ketiganya di Yogyakarta.

Keputusan Soegija untuk menjadi guru diambilnya sendiri dengan tidak memberitahukan terlebih dahulu kepada orangtuanya. Setelah kemudian dia memberitahukan keputusannya itu, dan tahu bahwa ia memasuki sekolah Katolik, saat itu ayahnya cukup heran akan hal itu.

Keheranan Karijosoedarmo, nama ayahnya Soegija, ini bisa dimaklumi. Ini mungkin sekali karena ayahnya itu menganut agama Islam, walaupun mungkin yang bersifat abangan. Alasan lain, mungkin karena dalam keluarga diri Soegija masih mengalir darah keturunan Kyai Supa, tokoh agama Islam yang cukup terkenal wilayah bekas·Kerajaan Mataram dan sekitarnya. Karijosoedarmo juga khawatir karena anaknya itu cukup nakal dan senang mengganggu anak-anak Kristen.

Ketika Soegija lahir pada tanggal 25 November 1896. Kelahiran ini disambut dengan pelbagai upacara yang bersifat tradisional Jawa. Pemberian nama pun dipilih secara hati-hati. Nama Soegija dipilih karena berarti ‘kaya’. Ini berarti, Karijosoedarmo berharap, anaknya itu menjadi pribadi yang sejahtera. Nama bagi anaknya itu mengandung makna dan harapan, terutama karena ia adalah anak laki-laki.

Karijosoedarmo pernah menjadi abdi dalem di Kraton Surakarta. Demikian sulitnya keadaan hidup keluarga Karijosoedarmo, sehingga istrinya ikut berusaha memperoleh biaya hidup keluarganya. Ini bukanlah suatu kebiasaan, karena pada zaman itu kedudukan wanita bukan untuk mencari uang, yang sepenuhnya berada di tangan laki-laki.

Meski begitu, dari segi pendidikan, Soegija cukup beruntung. Ia dapat mengenyam pendidikan di lingkungan kraton baik di Surakarta maupun akhirnya bisa melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta sebelum bergabung dengan sekolah Guru di Muntilan bersama Romo van Lith.

Pendidikan yang Terbuka

Singkat cerita, Soegija mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Xaverius. Situasi pertama yang dijumpai Soegija adalah kenyataan bahwa sekolah ini tidak saja untuk orang Kristen, atau Katolik saja. Pada tahun 1909, sudah terdapat 107 orang calon guru di sekolah ini, dan di antaranya terdapat 75 orang yang beragama Katolik dan dari agama lain termasuk Islam.

Kenyataan ini menunjukkan ketajaman pandangannya dan keluhuran jiwa Romo van Lith. Imam kelahiran Belanda itu menyadari sepenuhnya bahwa yang membutuhkan pendidikan dan pengajaran tidak hanya anak-anak yang beragama Katolik, tetapi juga anak-anak yang bukan Katolik. Dalam usahanya untuk mengembangkan sekolah guru yang didirikannya itu, Romo van Lith selalu berikhtiar untuk meningkatkan mutu dan berusaha agar murid-murid lulusan sekolah guru Muntilan.

Sekolah guru yang didirikannya pada tahun 1904 itu adalah untuk tingkat guru bantu yang dapat mengajar di sekolah negeri tingkat dua dan sekolah rakyat latihan. Pada tahun 1906 sekolah ini ditambah dengan sekolah guru yang lulusannya berhak menjadi kepala sekolah negeri tingkat I. Tahun berikutnya, 1907, dibukanya pula Hollands Inlandse Kweekschool (HIK).

Keberhasilan Romo van Lith dalam membangun Sekolah Guru Xaverius mendapat dukungan salah satunya dari Pangeran Sasraningrat. Ia tidak pernah menyatakan diri sebagai penganut agama Katolik, namun dia sangat bersimpati kepada karya misi Katolik. Dia berusaha untuk membuka peluang bagi kelangsungan karya misi Katolik dengan mempergunakan pengaruhnya. Karena itu kelak cukup banyak putra-putri dari keluarga terkemuka yang bersekolah di Muntilan dan Mendut.

Romo Albertus Soegijapranata SJ saat masih menjadi imam muda.

Terpanggil menjadi Katolik

Tidak butuh waktu lama bagi Soegija untuk kemudian terpesona dengan iman Katolik. Persinggungannya dengan ajaran iman Kristen menjadikannya jatuh cinta. Meski begitu, ada lika-liku dalam perjalanannya menjadi Katolik.

Ketika sudah mulai menjadi siswa di Sekolah Guru Xaverius. Di asrama ia belajar bersama 53 siswa lain dalam angkatannya. Meski di kolese itu tidak mewajibkan siswanya menjadi orang Katolik, Soegija merasa tertekan oleh teman-temannya. Inilah yang menyebabkan Soegija beberapa kali terlibat dalam perkelahian.

Suatu kali, Soegija mengeluh kepada gurunya, Romo L. van Rijckevorsel. Kepada imam asal Belanda itu, Soegija menyebutnya sebagai pedagang Belanda di kota, yang hanya memikirkan uang. Namun, Soegija akhirnya malu, setelah mengetahui bahwa para imam itu ternyata tidak digaji dan hanya berusaha mengajar siswa-siswanya. Pengalaman ini membuat Soegija lebih menghargai para guru, dan para imam yang mendidiknya.

Syahdan, Soegija pelan-pelan terbuka pada situasi yang ada di asrama. Di tahun berikutnya Soegija minta agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik. Namun, salah seorang gurunya, Romo Mertens, menyatakan bahwa Soegija memerlukan izin orang tua sebelum ia bisa bergabung.

Namun, orangtuanya tidak merestui, Soegija nekat mengikuti pelajaran agama Katolik. Saat itu, Soegija menjadi tertarik dengan soal Tritunggal, dan meminta keterangan dari beberapa guru termasuk Romo Van Lith yang kemudian mengutip karya-karya Thomas Aquinas. Sementara itu, Romo Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya Agustinus dari Hippo.

Soegija yang menjadi semakin tertarik, ia minta agar dibaptis. Permohonan ini disetujui oleh para imam yang mengajar dan Soegija dibaptis pada 24 Desember 1910. Ia mengambil nama baptis Albertus, terinspirasi nama St. Albertus Magnus, seorang imam dan pemikir besar Dominikan.

Saat liburan Natal, Soegija menceritakan hal ini kepada keluarganya. Meski ayah dan ibunya bisa menerima, dan bahkan mungkin merestui, keluarga besar Soegija tidak mau berurusan dengannya lagi.

Sejak awal masuknya ke sekolah guru di Muntilan hubungannya antara pemuda Sugiyo dengan gurunya, Romo van Lith memang sudah akrab. Perkembangan pendidikan soegija cukup pesat. Hal ini karena sejak kecil telah memiliki sifat-sifat yang berani, jujur dan tabah. Lagi, di dalam dirinya terdapat bakat-bakat kuat yang ditunjang oleh kecerdasan otaknya. Tentu, keberanian, kecerdasan dan bakat-bakat perlu dikembangkan agar tidak hanya terpendam, dan berguna sebagaimana yang diharapkan. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini