PARIS, Pena Katolik – Orang tua St Yohanes Maria Vianney selalu membangunkan buah hatinya di tengah malam untuk menghadiri Misa di gudang terpencil. Saat itu, Yohanes masih sebagai anak laki-laki. Misa tengah malam ini baginya seperti petualangan besar.
Seorang imam mempersembahkan Misa di sana, di lantai tanah, membunyikan lonceng, dan membisikkan doa. Akan ada umat Katolik lain yang diam-diam berkumpul dengan keluarga Vianney. Mungkin dia melihat teman-teman di sana, anak laki-laki seusianya, ayah dan ibu yang dia kenal dari desa, semua berlutut berdoa. Bahkan jika anak-anak tidak begitu mengerti apa yang sedang terjadi, mereka berpartisipasi dalam aksi revolusioner.
Saat itu, orang Prancis mengalami penganiayaan anti-Katolik, dari yang disebut Revolusi Prancis. Dari sudut pandang Gereja, revolusi ini sebenarnya merupakan devolusi ateistik dari budaya yang dibangun selama berabad-abad. Revolusioner sejati adalah umat Katolik yang dengan teguh mempertahankan iman mereka.
Sebuah revolusi adalah putaran balik, yang membawa kembali ke awal. Di Prancis, keluarga seperti keluarga Vianney berputar kembali ke awal Gereja. Mereka menghadiri Misa larut malam yang illegal dan dilarang. Namun, Gereja tidak pernah tunduk pada dewa-dewa politik palsu dan kekaisaran. Di gudang kecil itu, bahkan anak-anak menentang para diktator.
Ini adalah cara Yohanes dibesarkan. Sepanjang hidupnya, Yohanes diremehkan dan diperlakukan seperti anak kecil. Namun, ia tidak pernah merasa berat.
Ia adalah pribadi yang sederhana, bahkan mungkin lemah dalam pendidikan. Ia hampir tidak lulus ujian seminari. Namun setelah banyak tantangan, yohanes akhirnya ditahbiskan sebagai imam dan ditugaskan di kota kecil Ars. Pertimbangan mengapa ia di kirim ke sana, ia tidak akan menyebabkan terlalu banyak kerusakan. Saat penugasan ini, seorang imam yang terlebih dahulu bertugas di Ars bahkan agar Pastor Yohanes disingkirkan dipindah dari Ars. Pastor Yohanes dinilai tidak layak dan pantas menjadi imam. Ketika Pastor Yohanes secara tidak sengaja melihat surat itu, dia menandatanganinya.
Bertemu dengan seorang anak gembala
Pantas saja umat paroki pertama yang ditemuinya di Ars masih anak-anak.
Suatu malam di bulan Februari 1818, Pastor Yohanes datang ke paroki untuk pertama kalinya. Antoine Givre, seorang anak gembala, melihat Pastor Yohanes melangkah ke arahnya. Dia mendorong gerobak reyot yang membawa barang-barang miliknya yang tidak seberapa. Dia menanyakan jalan ke Ars. Antoine menunjukkan desa di ujung jalan, samar-samar terlihat di malam hari. Ketika mereka tiba di gereja, Pastor Yohanes berkata kepada anak laki-laki itu, “Terima kasih telah menunjukkan jalan ke Ars. Saya akan menunjukkan jalan ke Surga.”
Selama pelayanannya yang panjang di Ars, Pastor Yohanes menjadi terkenal karena kelas katekismusnya dengan anak-anak. Pelajarannya sederhana tapi mendalam. Orang dewasa juga mulai datang dan mendengarkan pengajarannya. Segera setelah ia di sana. Umat berbaris berjam-jam untuk membuat pengakuan kepadanya. Orang-orang akan melakukan perjalanan jauh untuk memberi tahu pria “kekanak-kanakan” ini tentang dosa-dosa mereka.
Situasi ini adalah perubahan haluan bagi Pastor Yohanes. Ia yang tadinya hanya seorang imam yang sederhana. Pastor Yohanes hanya menjadikan dirinya “seperti anak kecil”. Namun, mereka yang kekanak-kanakan benar-benar bijak, sementara mereka yang terobsesi dengan perhatian sebagai “dewasa” berakhir dengan pemahaman dan pengalaman dunia yang dangkal.
Sungguh ironis bahwa dunia yang terobsesi dengan penampilan canggih menjadi semakin dangkal dan kekanak-kanakan. Orang dewasa berpakaian dan bertingkah seperti remaja. Kita terobsesi dengan olahraga sampai tingkat yang tidak sehat, menghibur diri dengan film pahlawan super, dan makan makanan cepat saji untuk sarapan.