ROMA, Pena Katolik – Sebuah konferensi di Universitas Gregorian Roma, Italia 18 Oktober 2023 mengungkap fakta lain yang menyelimuti peristiwa penembakan Paus Yohanes Paulus II. Sulit untuk mempercayai, bahwa , Mehmet Ali Agca bekerja atas inisiatifnya sendiri. Ada kemungkinan cukup besar, ia bekerja dengan kekuatan Komunis, kelompok menganggap Paus Polandia yang karismatik itu sebagai ancaman.
Kini, 45 tahun setelah Kardinal Karol Wojtyła terpilih menjadi Paus pada tanggal 16 Oktober 1978 dan memilih nama Yohanes Paulus II, peristiwa penembakan dirinya terus mendorong banyak penelitian sejarah. Penelitian ini khususnya mengenai upaya pembunuhan yang hampir merenggut nyawanya pada tanggal 13 Mei 1981.
Serangan di Lapangan Santo Petrus adalah “salah satu gejolak terakhir totalitarianisme abad ke-20”. Pernyataan Yohanes Paulus II sendiri dalam buku terakhirnya, Memory and Identity, yang diterbitkan hanya beberapa minggu sebelum kepergiannya pada tahun 2005, membuka kemungkinan besar untuk menafsirkan skala jaringan. Kekuatan besar yang mencoba menghilangkan Paus pertama yang berasal dari negara yang diperintah oleh rezim Komunis itu.
Melampaui penyelidikan awal
Lebih dari empat dekade setelah upaya pembunuhan terhadap Yohanes Paulus II oleh Mehmet Ali Agca, masih banyak area abu-abu mengenai kekuatan, yang secara langsung dan tidak langsung, terlibat dalam upaya menghilangkan nyawa Yohanes Paulus II. Saat itu, Paus Polandia itu dikenal sebagai juru bicara utama penentang totalitarianisme komunis. Namun setelah penembakan pada tahun 1980-an, peradilan Italia berfokus pada tanggung jawab pribadi Ali Agca.
Belakangan, Polandia ingin membuka kembali kasus tersebut setelah kematian Paus. Institut Memori Nasional Polandia mengambil inisiatif. Lembaga ini didirikan untuk menganalisis penyalahgunaan rezim yang berkuasa di Polandia sejak akhir Perang Dunia II hingga tahun 1989. Dari tahun 2006 hingga 2014, jaksa dari Institut tersebut melakukan penyelidikan besar-besaran untuk mengidentifikasi peran dinas rahasia Komunis dalam upaya untuk melenyapkan Paus. Hasil-hasilnya, beberapa di antaranya belum pernah diungkapkan secara rinci. Baru pada konferensi di Roma itu, temuan mereka dipresentasikan, bersama dengan sebuah buku tentang topik tersebut, yang diterbitkan dalam bahasa Italia dengan judul Agca non Era Solo” ‘Agca tidak sendirian’. Hal ini menunjukkan bahwa banyak agen dari Timur (Eropa Timur) terlibat dalam persiapan penyerangan, serta tahun-tahun berikutnya, untuk menciptakan pengalihan perhatian.
Kampanye media besar-besaran dilakukan untuk menyoroti hubungan antara Ali Agca dan Serigala Abu-abu, sebuah organisasi sayap kanan Turki. Kampanye ini dilakukan untuk mengacaukan masalah ini. Jerman Timur sangat aktif dalam kampanye disinformasi ini, terutama dengan mengirimkan surat palsu kepada pers Turki. Surat itu dibuat seolah-olah ada seorang pemimpin nasionalis Turki yang berjanji mendukung Ali Agca.
Tapi faktanya, teroris Turki itu, yang melarikan diri dari penjara pada November 1979 setelah membunuh seorang editor surat kabar, kemudian diambil alih oleh dinas rahasia Bulgaria selama dia tinggal di Eropa. Negara komunis ini adalah rumah bagi mafia kuat yang beroperasi di perbatasan dengan Turki, zona kontak antara NATO dan Pakta Warsawa. Ali Agca juga bertemu dengan agen Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) di Teheran. Petunjuk nyata ini menguatkan teori bahwa penembak jitu ini, yang dikenal karena ketepatannya, direkrut oleh rezim Komunis.
Dinas rahasia Perancis sbenarnya telah mendapat informasi tentang rencana serangan terhadap Paus sejak tahun 1979. Namun, mereka gagal menyampaikan informasi tersebut kepada Vatikan.
Seorang Paus “kemungkinan besar akan menimbulkan banyak masalah” bagi rezim Komunis. Tentu saja, pada tahun 1978, terpilihnya seorang paus dari negara Komunis menimbulkan keheranan di Kremlin. Beberapa bulan kemudian, Menteri Luar Negeri Soviet Andrei Gromyko kembali dengan perasaan terguncang dari pertemuan pertamanya dengan Yohanes Paulus II. Ia adalah satu dari sedikit pemimpin rezim yang terus bekerja dengan setiap pemimpin Soviet selama empat dekade, dari Stalin hingga Gorbachev.
Diplomat berpengalaman ini, yang telah bertemu Paulus VI sebanyak empat kali, sepertinya tidak akan terkesan dengan Vatikan dan Uskup Roma, sebuah otoritas yang relatif jauh dan ketinggalan zaman bagi para pemimpin Soviet. Saat itu, Soviet menilai Gereja Katolik sudah ketinggalan zaman, sebuah institusi yang dapat diabaikan.
Gromyko pergi langsung ke Warsawa setelah kunjungannya ke Roma, ia berbicara dengan pemimpin Komunis Polandia, Edward Gierek. Ia manila Paus, baru itu sebagai “seorang pria yang sehat, gesit, yang terus-menerus menjaga kesehatannya”. Ia sudah memprediksi kemungkinan besar Paus akan berumur panjang. Gromyko menampilkannya sebagai “ahli” yang kemungkinan besar akan “menyebabkan banyak masalah di Polandia”.
Penilaian ini terungkap dalam arsip Polandia. Data yang sama mengungkap kekhawatiran akan karisma Paus ‘muda’ ini, yang terpilih pada usia 58 tahun. Nada laporan ini serupa dengan berkas yang dibuat mengenai Kardinal Karol Wojtyła oleh dinas Republik Rakyat Polandia sebelum pemilihannya menjadi Paus. Laporan yang terakhir ini mengatakan bahwa “tingkat intelektual yang tinggi” dan “kemampuan taktis yang baik” dari Uskup Agung Warsawa, telah menunjukkan bahwa aktivitasnya “secara ideologis berbahaya”.
Perintah langsung dari Kremlin?
Menghadapi musuh sebesar ini, konfrontasi tersebut bukanlah perdebatan gagasan atau pertarungan intelektual belaka. Para pemimpin Soviet memahami bahwa Yohanes Paulus II merupakan ancaman mematikan terhadap ideologi komunis, yang memaksa mereka terlibat.
Analisis terhadap buku harian pribadi pemimpin Soviet, Leonid Brezhnev mengungkapkan beberapa fakta yang meresahkan. Antara bulan April dan Juni 1981, tepat sebelum dan setelah serangan di Lapangan Santo Petrus, Brezhnev bertemu dengan ketua KGB, Yuri Andropov dalam frekuensi yang tidak biasa.
Tepat pada hari penyerangan, 13 Mei 1981, Brezhnev menerima delegasi Afrika. Setelahnya, ia diketahui mengunci diri di kantornya untuk waktu yang lama, sendirian, seolah menunggu informasi penting dan rahasia. Ia lalu berangkat ke kediaman pribadinya sore hari di akhir serangan.
Serangan terjadi pada jam 17.17 Waktu Roma, atau 18.17 waktu Moskow. Keesokan harinya, Brezhnev bertemu dengan Gromyko dan Andropov. Isi pembicaraan mereka tetap menjadi rahasia negara sampai saat ini dan dijaga ketat. Namun pertemuan Pemimpin Soviet itu tampaknya menunjukkan adanya kegelisahan di Kremlin.
Setelah serangan tersebut, arsip-arsip menunjukkan bahwa kalangan internal kekuasaan bereaksi dengan cara yang berbeda. Komentar ini di antaranya beasal dari Menteri Dalam Negeri Polandia ketika itu, Jenderal Czesław Kiszczak, yang dikenal sebagai seorang ateis. Ia menyampaikan sebuah pernyataan yang sangat ironis, yang sayangnya keluar dari seorang eksekutif rezim yang menganjurkan ateisme.
“Saya hanya bisa bermimpi bahwa Tuhan akan memanggilnya (red-Yohanes Paulus II) kembali kepada diri-Nya sesegera mungkin,” kata Kiszczak. Yohanes Paulus II sendiri “tidak tertarik” untuk mengetahui lebih banyak.
Setelah penembakan itu, Paus Yohanes Paulus II mengaitkan keselamatannya pada perlindungan Bunda Maria Fatima. Ia tidak pernah berusaha untuk memberatkan siapa pun. Selama kunjungannya ke Bulgaria pada tahun 2002, ia mengisyaratkan bahwa ia tidak pernah percaya akan adanya “jaringan Bulgaria” yang melakukan serangan ini.
Pada tahun 1980-an, dalam percakapan Kardinal Andrzej Maria Deskur, yang terkejut dengan kurangnya minatnya Paus Yohanes II terhadap perkembangan persidangan Ali Agca. Paus Polandia itu menyampaikan jawaban yang pedas.
“Mereka tidak membuatku tertarik, karena si Jahatlah yang melakukan tindakan ini. Si Jahat bisa bertindak dengan ribuan cara. Saya tidak tertarik pada satupun dari mereka.”
Melalui penderitaannya dan pengampunannya terhadap Ali Agca, Paus terutama ingin memutus rantai kebencian dan balas dendam. Ia menunjukkan kepada dunia radikalitas mengikuti Kristus dalam kemartiran, kepercayaan mutlak kepada Tuhan, dan pantang kekerasan.