PONTIANAK, Pena Katolik – Ketika menjadi Provinsial Ordo Pewarta (Ordo Praedicatorum/OP) Filipina (2004-2008), Romo Edmund C. Nantes OP memiliki satu mimpi mulia. Ia merindukan dapat bermisi ke Indonesia. Keinginan ini sebenarnya sudah lama ada dalam dirinya. Bahkan sebelum ia ditunjuk menjadi ekonom Generalat Ordo Pewarta di Roma Italia tahun 1999.
“Saya ingin ke Indonesia, bahkan sebelum saya menjadi ekonom di Roma,” ujar Romo Nantes.
Namun, nyatanya baru tahun 2008, Romo Nantes benar-benar dapat bermisi ke Indonesia. Dua tahun awal, ia bertugas di Seminari Tinggi Interdiosesan Antonino Ventimiglia, Siantan, Kalimantan Barat. Pada tahun ketiga, ia ditunjuk menjadi rektor di seminari itu hingga saat ini.
“Tuhan begitu murah hati. Saya bersyukur dapat melalui waktu-waktu di Indonesia dengan begitu banyak berkat,” ujar Romo Nantes.
Jatuh Bangun Bahasa
Sesampainya di Indonesia, Romo Nantes mulai belajar bahasa Indonesia. Tinggal di seminari, ia belajar bersama para frater. Ia mengingat, di seminari dibuat jadwal agar para frater bergantian menemaninya di saat-saat luang, dan saat ia akan menyiapkan khutbah. Dalam kebersamaan ini, sehingga mereka dapat sekaligus membantu Romo Nantes belajar bahasa Indonesia, sedangkan mereka bisa belajar bahasa Inggris.
“Para frater bergantian menemani saya belajar Bahasa, sekarang mereka sudah menjadi imam di mana-mana,” kenang Romo Nantes.
Tata bahasa yang berbeda antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris juga Tagalog, tentu menjadi kesulitan bagi Romo Nantes untuk mulai belajar bahasa. Romo Nantes mengenang dirinya bagaikan seorang bayi. Sebagai seorang Filipina, ia sendirian di Seminari Antonino Ventimiglia.
“Saya seperti menjadi bayi lagi. Ketika saya datang saya satu-satunya dari Philippines. Waktu itu juga belum ada Google Translate,” kenang Romo Nantes.
Belajar bahasa Indonesia di usia yang sudah cukup senior, Romo Nantes merasa bersyukur, ia dapat melakukannya hingga ia dapat mengajar dan memimpin Misa. Setelah 13 tahun menjadi rektor di Seminari Antonino Ventimiglia, ia bersyukur karena banyak dari muridnya telah berhasil ditahbiskan dan menjadi tokoh-tokoh penting di dalam Gereja di Kalimantan.
Menjadi rektor dan dosen di Seminari Antonino Ventimiglia bukanlah pertama kali Romo Nantes ditugaskan untuk menjadi formator dalam pendidikan calon imam. Sebelumnya, ia selama Sembilan tahun menjadi Magister Novis Ordo Pewarta di Filipina. Ia mengenang, murid-muridnya kini telah dapat berkarya untuk Gereja dan juga ordo. Salah satunya, ia menyebutkan nama Romo Gerard Timoner III OP yang kini menjadi Master Jenderal Ordo Pewarta.
“Saya bersyukur banyak murid-murid saya sudah menjadi orang yang penting dan memiliki karya yang besar, seperti Jenderal Ordo Pewarta, Rektor di UST adalah murid-murid yang dulu saya dampingi saat mereka di masa novisiat,” kenang Romo Nantes.
Romo Nantes mensyukuri berkat Tuhan atas setiap karya yang pernah ia lalui. Termasuk selama tugas di Kalimantan Barat, telah banyak imam yang menjadi muridnya. Mereka juga telah menjadi tokoh-tokoh penting pada banyak komisi keuskupan-keuskupan di Kalimantan.
“Olah karena itu, saya sangat bersyukur, saya diberikan tugas untuk menjadi formator, untuk menjadi pendamping para calon pastor, yang sekarang sudah melayani gereja dengan sungguh-sungguh,” kata Romo Nantes.
Budaya di Indonesia dan Filipina meskipun berbeda, namun sebagai sesame negara di Asia, ada banyak hal yang menjadikan mudah untuk menyesuaikan diri. Romo Nantes menyadari, selama di Indonesia, ia merasa di rumah sendiri, tidak ada kesan yang menurutnya menjadi penolakan pada kehadirannya di Indonesia.
“Syukurlah orang Indonesia menerima saya, kalau tidak menerima saya mungkin saya sudah diprotes,” kelakar Romo Nantes.
Karya Pendidikan
Rasa syukur ini juga karena Romo Nantes merasa telah diterima menjadi bagian dari Gereja di Kalimantan dan di Indonesia. Ia dapat hidup bersama dan berkarya bersama dengan imam-imam lain di seminari. Ia bersyukur, karena ketika masuk di Kalimantan, Ordo pewarta diberikan tugas dalam lembaga pendidikan calon imam.
Awal mula masuk ke Indonesia, dimulai dari tawaran yang diterima Romo Nantes dari para uskup di Kalimantan. Saat itu, ketika masih menjadi Ordo Pewarta Filipina, ia telah mengutus imam untuk mulai menjajaki karya di Indonesia. Awalnya, ia mencari kemungkinan untuk dapat membuka karya di Jawa, namun, rencana ini sepertinya sulit mengingat sudah ada banyak kongregasi di Jawa.
Perjumpaan dengan Mgr. Agustinus Agus membawa angin segar, Ordo Pewarta ditawari untuk dapat berkarya di Kalimantan, untuk melayani di bidang pendidikan calon imam. Saat itu, para uskup di Kalimantan meminta Ordo Pewarta menjadi formator di Seminari Interdiosesan Antonino Ventimiglia.
“Mengapa tidak ke Kalimantan saja, kami akan menerima Dominikan,” ujar Romo Nantes mengenang.
Sebelum kehadiran Romo Nantes, sebelumnya Ordo Pewarta telah membuka satu biara di Pontianak pada tahun 2006. Saat itu, sudah ada dua orang Indonesia yang telah ditahbiskan menjadi Imam Dominikan. Dua imam ini dan satu Imam Dominikan berkebangsaan Filipina kemudian ditugaskan di Indonesia. Sehingga, kehadiran Romo Nantes di Indonesia sebenarnya menyusul ketiga saudaranya.
Selama pendidikan sebelum tahbisan, Romo Nantes menyelesaikan semuanya di Filipina. Selanjutnya, imam yang ketika muda bercita-cita menjadi dokter ini sempat menempuh pendidikan lanjut di bidang spiritualitas pendidikan di Roma, Italia hingga meraih gelar master.
Meski di Kalimantan, Ordo Pewarta tidak melayani di paroki, namun Romo Nantes mensyukuri, bahwa karya yang saat ini dipercayakan kepada para Imam Dominikan di Indonesia juga merupakan karya yang penting bagi Gereja.
“Kami mendapat dukungan sangat baik selama di Indonesia, khususnya di Keuskupan Agung Pontianak. Kami diminta membuat universitas, dan sekarang telah berhasil juga,” ujar Romo Nantes mensyukuri.
Perkembangan panggilan menjadi Imam Dominikan cukup baik di Indonesia. Tahun ini, aka nada tambahan lima Diakon Dominikan, selanjutnya masih ada beberapa frater yang masih menempuh pendidikan di filipina.
“Kami berharap di masa depan akan lebih banyak dominikan dari Indonesia,” ujar Romo Nantes.
Gereja di Kalimantan
Romo Nantes menjelaskan, Gereja di Filipina saat ini sudah merayakan kehadirannya ke-500 tahun. Sementara itu di Kalimantan, saat ini kristianitas masih berusia sekitar 120 tahun. Ia melihat, titik ini adalah masa transisi dari animisme ke Agama Katolik.
“Kalau saya memandang, umat Katolik di sini masih pada tahap transisi, dari animisme ke Agama Katolik,” ujarnya.
Sebagai tandanya, Romo Nantes melihat pengaruh animisme dalam kehidupan budaya dan spiritualitas masyarakat di Kalimantan. Meski perkembangan Gereja di Kalimantan cukup menggembirakan, namun dalam praktik keseharian, masih kuat pengaruh adat istiadat.
Romo Nantes misalnya menyoroti, ketika dalam Sakramen Pernikahan, ketika ada upacar di Gereja, pasangan yang mau menikah menggunakan pakaian jas untuk pria dan gaun untuk wanita. Sedangkan saat upacara adat, mereka menggunakan juga pakaian adat. Ia berpendapat, seharusnya dalam upacara di Gereja para calon pengantin itu dapat juga memakai pakaian adat Dayak.
Menurut Romo Nantes, para imam harus dapat menjadikan budaya dan agama untuk berjalan bersama, meskipun dua hal ini tidak sama. Menurutnya, seharusnya ekspresi katolisitas dapat diungkapkan lewat budaya, sehingga antara budaya dan agama tidak terpisah. Gereja mengenal teologi kontekstual dan teologi integratif, para imam dapat meenjadi motor dalam aplikasi teologi di dalam budaya.
“Ketika menjadi pastor, pastikanlah, iman katolik dapat menjadi iman yang bernuansa Dayak, yang menggunakan budaya sebagai ekspresi iman,” kata Romo Nantes mengenang pesannya kepada para calon imam.
Romo Nantes berpesan, meskipun budaya perlu semakin dimunculkan dalam iman Katolik, ia memberi catatan untuk tidak memberi urang pada berhala dalam iman kristiani. Cukup Tri Tunggal Maha Kudus, karena itu yang istimewa dalam iman Katolik.
“Semoga murid-murid saya mempersatukan budaya dalam upacara Katolik, dan buanglah yang tidak sesuai dengan Tri Tunggal Mahakudus,” kata Romo Nantes.
Arsitektur bangunan gereja menurut Romo Nantes dapat menjadi cara untuk menunjukkan relasi antara iman dan budaya. Gereja-gereja di Kalimantan dapat mengadopsi nilai-nilai budaya sebagai ungkapan iman lewat ornament atau simbol-simbol iman yang dibuat setiap akan membangun gereja. Ia memberi contoh, usaha untuk memasukkan unsur budaya ini seperti arsitektur kapel di kompleks Seminari Antonino Ventimiglia.
“Di kapel seminari kami sudah mulai,” ujar Romo Nantes.
Romo Nantes memberi catatan untuk beberapa gereja yang telah berusaha memasukkan unsur budaya Dayak menjadi ungkapan iman Katolik dalam arsitektur gereja, namun, di banyak kasus tidak cukup berhasil menyatukan keduanya. Romo Nantes berharap, ke depan unsur budaya ini akan menjadi ungkapan iman yang membantu umat untuk menjadi pengikut Kristus yang sejati.
Setelah 16 tahun di Kalimantan Barat, Romo Nantes mengatakan bahwa tahun ini, ia akan mengakhiri tugasnya di Indonesia. Selama perjalanan ini, ia mensyukuri atas berkat yang ia terima dan juga bagi Ordo Pewarta. Ia berharap, Gereja di Indonesia akan semakin berkembang. (AES)