Kamis, Desember 19, 2024
26.4 C
Jakarta

Seorang Romo yang Membantu Membangun Mushola, Hidup Dialog Romo Fadjar

Romo Damianus Fadjar Tedjo Soekarno dalam sebuah tradisi Ider Deso. www.mepnews.id

BANYUWANGI, Pena Katolik – Menjelang Idul Adha 1440 Hijriah, 11 Agustus 2019 Romo Damianus Fadjar Tedjo Soekarno berjumpa dengan seorang lansia yang tinggal tak jauh dari Gereja St. Paulus Jajag, Banyuwangi Jawa Timur. Saat itu, Romo Fadjar menanyakan kabar lansia itu, yang akan menyambut Idul Adha 1440.

“Saya senang saat Idul Adha, karena akan mendapat daging, namun juga sedih karena saya tak pernah mampu berkurban,” kenang Romo Fadjar mengingat peristiwa perjumpaan itu.

Kesedihan simbah tadi lama mengiang di kepala Romo Fadjar. Spontan muncul keinginan dalam hati Romo Fadjar untuk membuat simbah itu.

Romo Fadjar yang saat itu adalah Pastor Kepala, Paroki St Paulus Jajag Banyuwangi, mengajak umatnya untuk membantu seorang lansia miskin yang tinggal di sekitar gereja agar bisa berkurban. Ia lalu berinisiatif mengajak umat untuk berdonasi, mengupulkan uang untuk seorang simbah agar bisa berkorban. Alhasil, Romo Fadjar berhasil mengumpulkan uang sebanyak 3 juta. Ia lalu membeli seekor kambing beberapa hari sebelum Hari Raya Kurban. Tepat sehari sebelum Idul Adha, Romo Fadjar dan perwakilan umat menyerahkan kambing itu kepada simbah tadi.

Membangun Mushola

Kisah tentang kambing kurban itu hanya satu dari banyak kisah dialog antar iman dalam keseharian imam kelahiran Malang, 26 September 1970 itu. Saat bertugas di Jajag, hubungan Romo Fadjar dengan lingkungan masyarakat terjalin baik.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang imam, Romo Fadjar mengunakan pendekatan dengan turun langsung dan terlibat dalam kehidupan umat lintas iman. Dengan car aini, ia mengajak umat untuk melihat kebutuhan sesama tanpa membedakan latar belakang agama. Baginya, persaudaraan lintas iman perlu dibangun dengan terlibat langsung dalam kehidupan nyata masyarakat.

Saat sudah bertugas di Paroki Jajag ini juga, Romo Fadjar melihat sebuah mushola di di Dusun Jatisari, Desa Wringinagung, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, yang masih dalam proses Pembangunan. Mushola itu hanya berjarak tak lebih dari 100 meter dari gereja paroki. Melihat masyarakat yang berjuang untuk membangun masjid ini, ia lalu berinisiatif menggerakkan umat Paroki Jajag untuk terlibat membantu Pembangunan.

“Saya mengajak umat untuk ikut serta dalam proses pembangunan mushola. Lokasinya tak lebih dari 100 meter dari bangunan gereja, maka kita harus membantu membangunnya,” ujar Romo Fadjar.

Umat tak hanya membantu dari sisi pendanaan pembanunan, umat Katolik di sekitar gereja lalu bergerak untuk terlibat dalam Pembangunan. Setiap orang yang memiliki waktu dan tenaga, bersama umat muslim bahu-membahu menyelesaikan Pembangunan mushola ini. Umat Katolik laki-laki maupun Perempuan ikut bahu membahu bersama masyarakat membangun masjid ini, yang laki-laki membantu pekerjaan bangunan, yang perempuan membantu menyiapkan konsumsi.

“Saat ini mushola ini sudah selesai dibangun,” ujar Romo Fadjar.

Saat Bulan Ramadhan, ketika banyak komunitas mengadakan buka puasa bersama, tidak dengan Romo Fadjar. Ia lebih senang melayani umat Muslim di waktu sahur. Romo Fadjar menggerakkan umat Paroki Jajag mengadakanlah sahur bersama umat Muslim.

Romo Fadjar juga membangun jalinan persahabatan dengan sesama pemuka agama. Dalam suatu kesempatan, Dalam suatu kesempatan, Fadjar mengunjungi seorang kiai sahabatnya yang sedang sakit parah. Kiai itu meminta Fadjar untuk mendoakannya. Menyaradi bahwa keduanya adalah tokoh agama, Romo Fadjar mengajak kiai itu berdoa bersama. Romo Fadjar mengakui, hubungan keduanya tak hanya sekedar hubungan pertemanan biasa, mereka saling menguatkan iman kepercayaan kendati berbeda agama.

“Pak Kiai doa Al Fatihah. Bagian ‘iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin’ didoakan berulang dengan penuh keyakinan. Saya lalu berdoa dengan cara saya,” tutur Romo Fadjar.

Hingga kini, kiai tersebut sehat dan terus bersahabat dengan Romo Fadjar, bahkan semakin erat. Persaudaraan ini semakin diperkuat dengan saling mengunjugi pada momen-momen hari keagamaan. Romo Fadjar selalu datang saat Idul Fitri bersama umat dan para biarawan/i yang bertugas di Paroki Jajag. Sebaliknya, sahabat-sahabat Romo Fadjar dari kalangan lintas agama akan datang saat Natal.

Romo Damianus Fadjar Tedjo Soekarno. IST

Imam Budayawan Osing

Pada 2006 hingga 2012, Romo Fadjar bertugas di Paroki Maria Ratu Damai Bayuwangi. Di tempat ini, Romo Fadjar diterima dengan tangan terbuka oleh komunitas Osing, di Desa Kemiren. Karena kedekatan ini, ia bahkan mendapatkan status khusus sebagai pemimpin adat Osing.

Suku Osing merupakan penduduk asli Bayuwangi, Jawa Timur. Mereka sering disebut sebagai Laros (Lare Osing). Sebutan lain, mereka juga dikenal sebagai wong Blambangan, mengacu pada wilayah keajaan zaman dulu. Semula, Suku Osing memeluk agama Hindu-Buddha, seiring waktu, dan karena pengaruh penyebaran Islam, mayoritas masyarakat Osing saat ini memeluk agama Islam.

Awalnya, Romo Fadjar terusik saat melihat budaya Osing yang mulai tergeser. Ia mulai menjalin relasi dengan para ketua RT, RW, Kepala Desa dan para sesepuh di Desa Kemiren. Ia mulai menghimpun semua informasi tentang budaya Osing. Dari sinilah, kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan budaya Osing kembali muncul. Seiring waktu, beberapa elemen masyarakat melestarikan kembali budaya Osing.

Satu tradisi turun-temurun Suku Osing adalah Mocoan Lontar Yusup. Romo Fadjar tak pernah absen mengikuti tradisi ini. Ia bahkan bisa membaca naskah-naskah kuno dalam Lontar Yusup. Dalam acara-acara khusus, Romo Fadjar dipercaya membacakan naskah ini sebagai bagian dari acara adat Osing.

Dalam masyarakat Osing sendiri, tradisi Mocoan Lontar yusup ini biasanya digelar sebagai bagian dari acara tradisi Suku Osing di Banyuwangi. Seperti acara ruwatan, bersih desa, atau petik laut serta pada acara ritual peralihan (tujuh bulanan, kelahiran, khitanan, pernikahan). Mocoan Lontar Yusuf berlangsung selepas isya dan baru berakhir menjelang subuh hingga lontar Yusuf itu khatam.

Sebagai pemimpin adat Osing, Romo Fadjar juga dipercaya ikut serta dalam ritual bersih Desa Barong yang disebut “Ider Bumi”. Tradisi ini dilakukan setiap tanggal 2 syawal. Romo Fadjar bahkan didapuk sebagai petugas “sembur uthik-uthik”. Ia dipercaya untuk menebar campuran beras kuning bunga dan uang koin di sepanjang jalan desa. Tugas ini biasa diemban oleh tokoh adat atau pemuka agama.

Setiap kali tradisi ini akan dijalankan, Romo Fadjar akan mengumpulkan uang koin, termasuk dari kalangan umat Katolik, tak tanggung-tanggung, ia selalu membawa uang koin yang nilainya minimal 3 juta.

“Uang itu bukan uang dari saya. Saya hanya mengumpulkan sumbangan dari umat. Ini cara kami untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Saya mengajak umat Katolik untuk ikut ‘ngalap berkah’ dari tradisi masyarakat Osing ini.”

Berkat kedekatannya dengan komunitas Osing, Uskup Emeritus Malang waktu itu, Mgr. Herman Joseph Sahadat Pandoyoputro, OCarm bahkan diangkat sebagai sesepuh adat Osing. Hal ini sebagai penghormatan karena salah satu imam Keuskupan Malang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan Suku Osing di Banyuwangi.

Romo Damianus Fadjar Tedjo Soekarno saat mengunjungi salah satu kiai di Banyuwangi pada momen Idul Fitri. Dok. Romo Damianus Fadjar Tedjo Soekarno

Mewartakan Kasih Allah

Pada 28 Juni 2016, Paus Fransiskus menunjuk Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm sebagai Uskup Malang. Teolog itu lalu memilih moto tahbisan “Fideliter Praedicare Evangelium Christi” ‘Dengan Setia Mewartakan Injil Kristus’. Beberapa saat kemudian, beberapa rekan imam di Keuskupan Malang mengatakan, bahwa apa yang dilakukan Romo Fadjar dengan seluruh kegiatan dialognya tidak sesuai dengan mogo penggembalaan Uskup Malang ini. Romo Fadjar pun galau. Ia risau, dan bertanya-tanya apa benar ada yang salah dengan gaya pastoral dan pewartaannya.

“Mereka bilang, ‘yang saya lakukan justru bukan mewartakan Injil’,” ujar Romo Fadjar, meniru cibiran sejumlah rekan imam.

Segera, Romo Fadjar menemui “atasan” barunya itu. Ia berjumpa dengan Mgr. Pid dan meminta maaf, karena karya pastoralnya selama ini tidak sesuai dengan moto uskup. Tapi bukanya mendapat teguran, Mgr. Pid justru berterima kasih kepada Romo Fadjar. Sang uskup mengatakan, Injil itu sama dengan Kabar Sukacita, jadi apa yang dilakukan Romo Fadjar, sebenarnya sama halnya dengan mewartakan Kabar Sukacita itu. Romo Fadjar pun kaget mendengar penjelasan Mgr. Pid, kegalauannya sirna, ia menjadi semakin bersemangat menjalankan karyanya.  

“(Jadi) Romo sebetulnya juga telah mewartakan Kabar Sukacita kepada umat dan masyarakat,” ungkap Romo Fadjar menirukan perkataan uskupnya.

Kecintaan Romo Fadjar pada kerja-karya dialog tak didapat tiba-tiba. Semua berawal pada Kamis, 10 Oktober 1996, saat Gereja St. Maria Bintang Samudera Situbondo, Jawa Timur dilalap si jago merah. Peristiwa itu menjadi satu bagian dari sejarah kelam kerusuhan Banyuwangi yang bernuansa sektarian. Selain gereja, massa juga membakar satu biara dan beberapa lembaga pendidikan Katolik. Beberapa bangunan agama lain juga menjadi korban kekerasan itu. Saat itu, Romo Fadjar yang masih Frater sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki St. Maria Ratu Damai Lumajang, sekitar 130 kilometer dari Situbondo.

“Selama beberapa hari, saya harus keliling ke-18 stasi. Perjalanan dimulai dari pukul sepuluh pagi, dan kembali ke pastoran sekitar pukul dua atau tiga dini hari. Kami berjuang menguatkan dan meneguhkan umat,” kenangnya.

Dari tragedy ini, Romo Fadjar melihat perlunya Gereja keluar dan mendekati kerifan masyarakat dan budaya. Di sini, peristiwa Situbondo meneguhkan panggilan serta misinya untuk memperkenalkan Gereja kepada masyarakat sekitar.

“Tentu banyak faktor gereja dibakar. Tapi bagi saya, Gereja perlu keluar, mendekatkan diri pada kearifan dan budaya lokal, agama dan kepercayaan lain, manusia dan alam semesta, dan mewujudkan budaya damai,” ujarnya saat menjadi pembicara pada Hari Studi Konferensi Waligereja Indonesia, di Bumi Silih Asih, Bandung, Jawa Barat, Selasa, 5 November 2019.

Dari pengalaman-pengalaman ini, Romo Fadjar menghidupi prinsip sederhana yaitu cinta kasih (muncul secara) alami, sedangkan perbedaan itu diajarkan.

“Semenjak kecil kita terlahir dengan tangis yang sama. Namun setelah bisa berpikir, seorang anak mulai bertanya dan membeda-bedakan. Kalau orang tua salah mendidik bisa menghasilkan pribadi yang suka membeda-bedakan,” tutur Romo Fadjar yang aktif sebagai Fasilitator Nasional Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia.

Untuk itu, persaudaraan atau dialog perlu dibangun berdasar cinta kasih yang alami. Cinta kasih ini, menurut Romo Fadjar, perlu dihidupi dengan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

“Kalau membangun persaudaraan yang didasari cinta kasih itu alami mengapa kita tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Romo Fadjar.

Romo Damianus Fadjar Tedjo Soekarno saat membaca Lontar Yusup. IST

Toleran dari Kecil

Melalui segala aktifitas bersama masyarakat, Romo Fadjar ingin menggaungkan toleransi agar tidak hanya berhenti pada taraf pemahaman tetapi sampai pada taraf pengalaman.

Romo Fadjar lahir dan besar dari keluarga yang majemuk. Situasi ini turut membentuk Fadjar Tedjo Soekarno menjadi pribadi yang mau dan mampu menghargai iman orang lain.

Ia adalah anak keenam dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Lilo Soedarmo dan Anna Marsiti Jumaiyah yang menganut kepercayaan Kejawen dan Kristen. Sebagian besar saudara kandung Fadjar beragama Islam. Romo Fadjar terus mengingat pesan sang ayah, untuk tetap menjaga kerukunan. Ia ditahbiskan menjadi imam Keuskupan Malang pada 26 Agustus 1999.

Sebagai seorang imam, ia menyadari tugas sebagai pelayanan Gereja yaitu menjadi gembala bagi umat. Namun seperti pesan mantan rektornya di Seminari Menengah Garum yang kemudian menjadi Uskup Surabaya, Mgr. Vincetius Sutikno Wisaksono, menjadi seorang imam bukan hanya untuk umat Katolik, namun untuk seluruh anggota masyarakat. Ia sadar, yang ia lakukan saat ini tak hanya untuk upaya pemeliharaan hidup dan iman umat Katolik di Gereja yang ia gembalakan.

“Saya juga harus memastikan, kehidupan yang baik bagi seluruh elemen masyarakat dan alam semesta yang ada di wilayah Gereja Paroki Jajag. Tugas ini tidak hanya bagi saya tetapi juga bagi seluruh umat Katolik dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Bersahabat dengan siapa saja termasuk dengan alam yang ada di sekitar kita,” ujarnya.

Perayaan Ekaristi merupakan kekuatan utama karya dan panggilan Romo Fadjar. Ia menyadari, setiap kali merayakan Misa, kesulitan yang dialami tak sebanding dengan pengorbanan Yesus.

“Dia (Yesus) rela dicaci maki, disiksa, bahkan wafat di kayu salib,” ujarnya Romo Fadjar.

Agama harus peduli dan mengabdi kepada kemanusiaan. Karena itu, ia mendorong umat beragama untuk membangun persaudaraan dan kepedulian antarsesama, salah satunya dengan umat yang berbeda agama dan budaya.

Profil:

Nama                               : Damianus Fadjar Tedjo Soekarno

Tempat tanggal lahir   : Malang, 26 September 1970

Tahbisan Imam             : Malang, 26 Agustus 1999

Pendidikan:

TK Katolik Sang Timur, Batu

SD Katolik Sang Timur, Batu

SMP Katolik Widya Tama, Batu

SMA Katolik St Albertus, Dempo, Malang

Seminari Menengah Marianum

Seminari Tinggi Interdiocessan Beato Giovanni XXI, Malang

Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Riwayat Tugas:

Paroki Bondowoso 1999-2006

Paroki Banyuwangi 2006-2012

Paroki Lumajang 2012-2015

Paroki Pamekasan 2015-2018

Paroki Jajag 2018-sekarang

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini