DENPASAR, Pena Katolik – Ada yang istimewa dilihat di Katedral Roh Kudus Denpasar. Di beberapa tiang besar di dalam katedral mata setiap orang akan menangkap beberapa patung malaikat berwarna putih yang diletakkan di tiang-tiang itu.
Tidak saja di tiang besar, patung-patung malaikat beraneka ragam dan ukuran masih dapat dijumpai di bagian-bagian lain Katedral. Empat yang mencolok adalah patung malaikat yang dipahat di kedua pintu gerbang masuk katedral.
Patung-patung malaikat ini dibuat dengan karakter seni Bali yang kental. Gambarannya seperti sesosok dewa/dewi dengan mahkota dan sayap pada tubuhnya. Keseluruhan detail patung ini dibuat dengan karakter seni pahat Bali yang indah.
Karena begitu banyaknya patung malaikat ini, setiap orang yang memasuki gereja ini seakan masuk ke dalam sebuah “gereja malaikat”. Dalam iman Katolik, malaikat adalah bagian dari keyakinan mendasar ,bahwa kasih Tuhan melimpah ke dalam ciptaan-Nya, penebusan, dan penyempurnaan dunia. Malaikat merupakan manifestasi signifikan dari keberlimpahan Tuhan, mentransformasikan dan menyempurnakan cinta terhadap seluruh ciptaan-Nya.
Malaikat adalah pembawa kabar utusan Allah. Seperti dalam kilahiran Yesus, ketika itu Malaikat Gabriel menjadi utusan untuk menyampaikan Kabar Gembira akan kelahiran Sang Penebus kepada Maria di Nazaret. Dinamai Katedral Roh Kudus Denpasar, dengan banyak malaikat di dalamnya, seakan menjadi pralambang inilah “Kerajaan Allah” tempat di mana Tuhan meraja dan melimpahkan berkatnya untuk setiap orang yang datang.
Awal Pembangunan
Katedral Roh Kudus Denpasar direncanakan sejak masa kegembalaan Mgr. Paulus Sani Kleden, SVD. Peletakan batu pertama pembangunan katedral ini dilakukan pada 15 Agustus 1993 pada Hari Raya Maria Diangkat ke Surga.
Pembangunan katedral ini memakan waktu yang tidak singkat. Pembangunan katedral ini melalui masa kepemimpinan empat uskup dari Mgr. Paulus, kemudian dilanjutkan pada masa Mgr. Antonius Thijssen, SVD, Mgr. Vitalis Djebarus, SVD, dan Mgr. Benyamin Bria.
Penahbisan Katedral Roh Kudus Denpasar baru dilakukan pada 4 Juni 2017 oleh Uskup Denpasar saat ini, Mgr. Dr. Silvester Tung Kiem San.
Setelah Konsili Vatikan II (1963-1966), Gereja Katolik merumuskan beberapa panduan berkaitan dengan arsitektur gereja di seluruh dunia. Saat itu, Vatikan menghimbau, sebuah gereja disarankan dibangun menggunakan pola arsitektur setempat. Dengan cara ini dimaksudkan, bahwa pembangunan sebuah dapat menyelaraskan diri dengan lingkungannya.
Katedral Roh Kudus Denpasar nampaknya menjadi salah satu gereja di Indonesia yang begitu dekat dengan budaya lokal di mana Gereja Umat Allah berkembang di Pulau Bali. Sekilas saja melihat, setiap orang akan mengerti arsitektur apa yang dipakai untuk bangunan berwarna merah itu.
Nyaris keseluruhan tembok luar katedral ini dibuat dengan batu merah bahkan hingga ke atab-atabnya. Ukiran bali menghias semua suduh bangunan termasuk pintu gerbang.
Satu kali, Wayan Eka Jaya Putra, I Nyoman Artayasa, dan I Gede Mugi Raharja dari mengulas arsitektur Katedral Roh Kudus Bali dalam jurnal Akademi ISI Denpasar Prabangkara Vol 21, 2 Desember 2017, berjudul “Kesatuan dan Warna pada Elemen Interior Gaya Gotik dan Arsitektur Bali pada Gereja Katolik Roh Kudus Katedral Denpasar”.
Dikatakan, arsitektur katedral ini berbasis pada vertikalisme. Di mana bangunan ini dibuat dari susunan dan keseimbangan yang sempurna, elegan, dan mewah. Namun, pembangunan katedrla ini masih tetap bernapaskan arsitektur lokal Bali.
Tidak hanya itu, masih ada ornament gotik yang diselipkan dalam banyak bagian. Salah satunya pemilihan warna yang juga menggunakan warna cerah (putih, krem, emas). Sementara itu, gaya arsitektur Bali yang digunakan ditunjukan dengan warna alam (cokelat, merah tanah, abu-abu). Katedral Roh Kudus Denpasar mengkombinasikan kedua gaya ini menjadi satu kesatuan yang indah di seluruh bagian bangunan.
Di masa pembangunan, awalnya dibentuk kepanitiaan yang diketuai Frans Bambang Siswanto yang juga pengusaha dan kontraktor. Selama perencanaan, tim ini dibantu Sulistyawati, seorang Guru Besar Arsitektur Universitas Udayana yang berperan sebagai konsultan perencana.
Gabungan Timur dan Barat
Katedral Roh Kudus Denpasar seperti menjadi oasis dari keringnya minat arsitek Bali pada waktu itu yang mulai enggan menggunakan kerifan Bali dalam bangunan-bangunan yang dibuat. Alhasil, Sulistyawati mengusulkan untuk memperkuat gaya arsitektur Bali dalam pembangunan gereja ini.
Dalam kajian Wayan, dkk kesatuan pada arsitektur Bali dapat dilihat pada penggunaan bahan alam (bata merah dan padas/paras), ornamen Bali, serta simbol dari Bhuwana Agung dengan Trilokanya. Triloka terdiri dari pondasi dan lantai sebagai kaki (Bhur Loka); konstruksi vertikal (tiang dan dinding) sebagai badan (Bwah Loka); dan atap sebagai kepala (Swah Loka).
Perpaduan ini dapat dilihat pada ruang utama katedral. Meskipun tetap bergaya gotik, pad ainterior ini dilengkapi dinding batu palimanan putih dengan ornamen Bali. Lagi, pad abagian altar dihias dengan pahatan bergaya paduan Bali. Masih ada beberapa patung di dalam gereja yang dibuat dengan memadukan gaya Bali.
Tentu, dalam seni Bali tidak mengenal adanya malaukat. Di sinilah jelas terlihat perpaduan antara nilai-nilai ajaran Kristiani dengan Seni Bali. Namun bisa menjadi catatan, kombinasi ini masih belum bisa dikatakan sebagai sepenuhnya akulturasi budaya Bali ke dalam iman Katolik. Hal ini tentu dapat dipahami, mengingat ada ungkapan-ungkapan iman Kristiani yang tidak dapat begitu saja diganti dengan ungkapan lain yang bernuansa budaya Bali.
Gaya gotik juga ditemukan pada bagian belakang altar dengan dinding berbentuk Candi Kurung dengan hiasan ornamen gaya gotik, seperti bidadari, malaikat, kepala domba, dan burung merpati. Dalam budaya Bali, Candi Kurung adalah tiang yang kedua ujungnya bertemu kerucut. Bentuk kerucut ini dalam Hindu dipahami sebagai simbol sebuah puncak gunung, tempat yang suci dalam agama Hindu.
Seperti sudah dijelaskan di awal, di seluruh eksterior bangunan didominasi bata merah. Pemilihan materi ini langsung menampilkan unsur lokal yang estetis. Secara kesluruhan, bentuk bangunan Katedral Roh Kudus Denpasar mencerminkan karakteristik arsitektur tradisional Bali. Ada unsur Tri Angga pada bentuk dan sosok bagian-bagian bangunan (unsur kepala/atap, unsur badan/ruang/dinding, dan unsur kaki/pondasi). Ternyata, penggunaan gaya ini tercakup dalam Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 25 tahun 2010. Pemerintah menginstruksikan seluruh bangunan umum di Bali menggunakan gaya arsitektur Bali dalam pembangunannya.
Pusat Keuskupan Denpasar
Sebagai sebuah katedral, gereja ini menjadi pusat kehidupan iman umat Katolik Keuskupan Denpasar. Sesuai Namanya, “katedral” di sinilah diletakkan takhta Keuskupan Denpasar.
Katedral ini juga menjadi gereja bagi umat Paroki Katedral Roh Kudus. Buku permandian paroki ini dimulai sejak tahun 1998. Sebelumnya, Katedral Keuskupan Denpasar berada di Gereja St. Yoseph, yang sekarang menjadi Paroki Santo Yoseph, Denpasar.