Senin, Desember 23, 2024
29.1 C
Jakarta

Katolik di Tanah Santri: “Karya Seorang Santri yang Sempat “Nyantri” di Vatikan

Gambaran toleransi di Indonesia. IST

JAKARTA, Pena Katolik – Bedah Buku “Katolik di Tanah Santri” Karya Seorang “Santri” yang Sempat “Nyantri” di Vatikan Untuk Disiarkan Segera Jakarta, 2 Juli 2024. Toleransi yang rendah dan meningkatnya sikap intoleran berdampak pada bahaya radikalisme dan kekerasan ekstremisme sehingga berujung pada konflik destruktif yang memecah belah bangsa serta menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak kelompok-kelompok keyakinan/agama untuk dapat beribadah dan mempraktikkan nilai-nilai yang mereka yakini.

Beberapa contoh intoleransi yang terjadi adalah adanya pelarangan, penutupan, intimidasi dan ancaman, dan diskriminasi berdasarkan agama/keyakinan (Wahid Foundation, 2018).

Masalah intoleransi terjadi dan kebanyakan dilakukan oleh kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas di suatu lokasi. Salah satu masalah yang menyebabkan hal ini terjadi adalah rendahnya empati eksternal umat Islam serta ketidakmampuan untuk membayangkan diri sebagai kelompok minoritas (NU Online, 2023). Di samping itu, banyak guru atau tokoh agama juga memiliki pemahaman intoleran. Padahal guru memiliki peran strategis dalam pembangunan generasi muda untuk menjadi pemimpin bangsa. Tidak hanya itu, pandangan intoleran dan kekerasan juga timbul karena pemahaman yang keliru terhadap ajaran agamanya sendiri dan tidak siap menghadapi perbedaan yang ada (Kompas, 2023).

Kondisi-kondisi di atas menyebabkan upaya untuk mengembangkan semangat toleransi melalui berbagai cara akan selalu relevan dan signifikan dalam gerak langkah bersama kita dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia. Semangat toleransi di masyarakat hendaknya senantiasa harus dipupuk dalam perpaduan teori dan praktik. Proses yang perlu dilakukan untuk mampu memiliki nilai-nilai tersebut sangatlah panjang dan perlu adanya ruang pertemuan dengan keberagaman di sekitar mereka (Convey Indonesia, 2021). Di samping itu, tokoh agama juga dianggap memiliki peranan esensial untuk merawat dan merajut keberagaman sehingga mencegah terjadinya pemahaman intoleran, radikalisme, dan terorisme (Kompas, 2021).

Dalam konteks itulah, potret kehidupan umat Katolik di Labuan, Kabupaten Pandeglang, yang diangkat dalam buku “Katolik di Tanah Santri” berdasarkan riset dari sang penulis, Deni Iskandar, ketika menjadi mahasiswa di Prodi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi sebuah fakta menarik untuk didiskusikan dan didiseminasikan kepada publik dalam forum bedah buku Frans Seda Collection Discussion Series. “Kehadiran umat Katolik di Labuan sendiri cukup diterima oleh masyarakat pribumi Labuan. Hal itu ditandai oleh adanya sekolah Katolik milik Keuskupan Sufragan Bogor yang didirikan pada tahun 1959 bernama Yayasan Mardiyuana yang oleh masyarakat Labuan umumnya disebut sebagai sekolah MY…” papar Deni Iskandar yang sempat “nyantri” di Vatikan melalui program Nostra Aetate Foundation Disastery Interreligious Dialogue (NAF-DID) pada 2023.

Konteks yang diangkat dalam buku tersebut menunjukkan sebuah imaji nyata keberagaman yang hidup di bumi Indonesia dan secara khusus kehidupan antarumat beragama, khususnya warga Katolik dan Islam, di daerah yang dijuluki Kota Santri ini, dapat berjalan dengan sangat toleran dan penuh kedamaian. Lebih jauh lagi, buku ini juga dapat menunjukkan bahwa antara umat Katolik dan Islam di Labuan tidak hanya hidup dengan suasana toleran dan damai tetapi juga memperlihatkan bagaimana umat Katolik yang notabene jumlahnya paling sedikit di antara pemeluk agama yang ada di Labuan (berdasarkan data 2018: 108 orang yang terdiri dari 31 KK) turut aktif berkontribusi dalam konteks hidup bermasyarakat di Labuan, khususnya melalui sektor pendidikan.

Untuk memperkaya pembahasan, Frans Seda Foundation mengundang Prof. Drs. Ismatu Ropi, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Rm. Simon Petrus Lili Tjahjadi, Pr., Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta sebagai pembedah buku “Katolik di Tanah Santri” tersebut. Kehadiran kedua tokoh cendekiawan Islam dan Katolik sebagai pembedah ini memang didesain, agar proses diskusi dan bedah buku yang dimoderatori oleh Rm. Agustinus Heri Wibowo, Pr., seorang FSF Fellows TS 2018 yang juga adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan KWI dan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Jakarta dapat ditinjau dari dua sudut pandang, baik sudut pandang Islam maupun Katolik.

Bagi Frans Seda Foundation sendiri, diskusi dan bedah buku “Katolik di Tanah Santri” yang berlokasi di Frans Seda Collection, Perpustakaan Unika Atma Jaya lantai 3, Kampus Semanggi ini merupakan bagian dari ikhtiar untuk merawat nilai-nilai, gagasan, dan semangat almarhum Frans Seda.

“Penyelenggaraan bedah buku dwibulanan ini adalah salah satu bentuk implementasi cita-cita untuk menjadikan Frans Seda Collection untuk menjadi “A Living Collection”. Frans Seda Collection sejatinya adalah koleksi alm. Frans Seda yang dihibahkan bagi Unika Atma Jaya dan diresmikan oleh Kardinal Ignatius Suharyo pada 1 Desember 2021 lalu…”, demikian jelas Stefanus Ginting, Managing Director Frans Seda Foundation.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini