Minggu, Desember 22, 2024
28.6 C
Jakarta

Melihat Kembali Sejarah Kekatolikan di Tanah Papua

Pater Le Cocq d’Armandville SJ. IST

JAYAPURA, Pena Katolik – Umat Katolik dari lima keuskupan di Papua telah membuat satu tim bernama ‘Dapur Harapan’. Tim yang diketuai Yan Ukago dengan sekretaris Solemen Itlay ini diberi tugas khusus untuk menelusuri sejarah perkembangan misi Katolik di Tanah Papua.

Penyebaran agama Katolik di Tanah Papua dimulai dari Kampung Sekru, Distrik Pariwari, Fakfak, Papua Barat pada 22 Mei 1894, tepat 130 tahun silam, kemudian bergeser ke Pulau Bonyom.

Agama Katolik dibawa seorang misionaris bernama Pater Le Cocq d’Armandville SJ dengan menumpangi kapal milik seorang Arab. Ketika Pater Le Cocq tiba pertama kali di Kampung Sekru, ia disambut oleh warga setempat dari Biarpruga, Samain, dan Serkanasa.

‘Dapur Harapan’ akan secara konsisten bekerja untuk pelurusan sejarah perkembangan misi Katolik di Tanah Papua.

Yan Ukago mengatakan alasan pelurusan sejarah itu. Pertama, banyak generasi penerus Gereja Katolik di Tanah Papua tidak tahu sejarah perkembangan misi Katolik di Tanah.

“Kami lihat di sekolah-sekolah Katolik dan lainnya, belajar sejarah dari luar, tapi sejarah yang berkaitan dengan umat Katolik di Papua tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dan tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah Katolik,” ujarnya.

Misi Katolik di Papua

Tahun lalu, diadakan acara Syukuran 129 Tahun Katolik masuk di Tanah Papua pada 22 Mei 2023 di Pulau Bonyom, Fakfak. Waktu itu, perwakilan Departemen Agama Kabupaten Fakfak, Alex Iba menjelaskan tentang filosofi ‘Satu Tungku Tiga Batu’ yang merupakan pengejawatan dari filsafat hidup Etnis Mbaham Matta yang disebut ‘Ko, On, Kno, Mi Mbi Du Qpona’ artinya, ‘Kau, Saya, dan Dia Bersaudara’.

Dalam perkembangannya, penduduk Kabupaten Fakfak semakin beragam. Ada di antara mereka yang beragama Islam, Katolik, dan Kristen Protestan. Mereka hidup secara toleran dan harmonis. Kondisi ini bisa dilihat misalnya dalam acara keagamaan. Saat perayaan Idul Fitri dan Natal, semua umat dilibatkan.

Kini, Fakfak menjadi salah satu kabupaten tertua di Provinsi Papua Barat, bahkan di Tanah Papua. Filosofi ‘Satu Tungku Tiga Batu’ telah mengajarkan mereka bahwa perbedaan justru menjadi sarana untuk menyatukan. Warga Fakfak tidak pernah, bahkan tidak ada waktu untuk membeda-bedakan agama satu dengan agama yang lain.

Awal Kekatolikan

Pastor Le Cocq d’Armandville SJ lahir di kota Delf, Belanda pada 29 Maret 1846. Ia diberi nama Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville yang berarti Si Jago dari Armandville.

Tugas awal Pater Le Cocq dimulai sebagai rekan rohaniawan di Semarang. Di sana ia memperkenalkan dan melayani umat dengan gembira. Tak hanya mengenal dan melayani umat Katolik, Pater Le Cocq juga dekat dengan umat dari agama lain. Ia melayani umat di Semarang dengan ramah dan penuh cinta kasih. Sampai pada April 1881, Pater Le Cocq mendapat perutusan baru di Maumere.

Pada 1891 pimpinan Serikat Yesus mencari misionaris untuk dikirim ke Maluku. Pater Le Cocq dipandangnya sebagai misionaris yang handal, maka ia dikirim oleh pimpinan Serikat Yesus ke Maluku. Tempat tugas pater Le Cocq yang baru adalah pulau Seram, di Ambon.

Pulau Seram adalah pulau kecil dengan penduduk yang sedikit. Melihat hal ini, pater Le Cocq berusaha mencari tempat yang berpenduduk padat agar ia dapat menyebarkan kabar gembira dengan lebih baik. Maka, ia kemudian berkarya di pulau Watubela, Kasewu, Geser, dan pulau-pulau kecil lainnya.

Di Pulau Geser, Pater Le Cocq sudah mendengar tentang Pulau Papua. Pada 22 Mei 1894, untuk pertama kalinya, pater Le Cocq menginjakkan kakinya di Pulau Papua. Kapalnya mendarat di Kampung Sekru, di semenanjung Fakfak.

Pater Le Cocq mulai mengenal orang-orang di sekitarnya. Ia naik turun bukit untuk bertemu orang-orang yang tinggal di situ. Ia mulai menulis satu dua kata dalam bahasa lokal supaya bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat. Hari pertama saja ia sudah membaptis 8 anak menjadi Katolik. Sembilan hari kemudian ia membaptis 65 anak lagi.

Selanjutnya, melalui pembicaraan dengan pater Hellings, pater Le Cocq memutuskan untuk menetap di pantai Papua dan dari sana sewaktu-waktu melayani masyarakat di Pulau Seram, Bomfia.

Pada April 1895 pater Le Cocq, ditemani bruder Zinken dan bruder Boekhorst, memulai misi di Papua. Dalam perjalanan pater Le Cocq meminta kepada pengemudi kapal untuk menurunkannya di dekat Kapaur, daerah Fak-fak yang kira-kira lebih banyak penduduknya dibandingkan Sekeru.

Perjalanan ternyata sangat melelahkan. Pater Le Cocq jatuh sakit. Setibanya di daratan, kedua bruder dibantu beberapa penduduk berusaha menata papan sebagai gubuk sementara. Pater Le Cocq dibaringkan di papan seadanya.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini