YERUSALEM, Pena Katolik – Pada 17 September 2023, dua saudara perempuan, Madeleine dan Marie-Liesse, meninggalkan Paris, Prancis untuk berjalan kaki selama kurang lebih delapan bulan menuju Yerusalem. Madeleine dan Marie-Liesse (19 dan 22 tahun) tumbuh dalam keluarga Katolik. Mereka memutuskan untuk menjadi peziarah, untuk bertumbuh dalam iman mereka.
“Kami perlu menjadikan iman kami sebagai milik kami,” kata keduanya seperti mereka sampaikan kepada CNA.
“Ziarah ini adalah untuk menemukan Tuhan, untuk benar-benar mencari Dia dan memperdalam iman kami.”
Dua bulan kemudian, pada pertengahan November 2023, Louis Antona, yang berusia 24 tahun, juga meninggalkan Paris dengan berjalan kaki menuju Yerusalem. Ketiga pemuda tersebut bertemu, yang kemudian mereka yakini sebagai secara “takdir” di Albania.
Dari situ, mereka berjalan bersama melalui Turki, kemudian berpisah dan bersatu kembali di Yerusalem.
“Saya berjalan sejauh 4.500 kilometer untuk memahami, bahwa Yesus tidak hanya ada di Yerusalem, tetapi juga berada di sisi saya di setiap langkah,” kata Antona kepada CNA.
Antona berjalan selama 189 hari untuk bisa tiba di Yerusalem pada 18 Mei 2024.
Nyaris tanpa Bekal
Madeleine dan Marie-Liesse, yang meminta agar nama belakang mereka tidak disebutkan, berangkat dari Basilika Hati Kudus Montmartre di pusat kota Paris dengan restu orang tua dan seorang imam.
“Itu adalah panggilan dari Tuhan,” kata Madeleine.
Madeleine mengatakan, tidak perlu ada alasan ketika Tuhan memanggil. Ia dan saudarinya hanya perlu mengikuti apa yang Dia perintahkan. Selama perjalanan ini, kekdua bersaudari ini membuat blog sederhana untuk terus memberi informasi terbaru kepada teman dan keluarga, tentang ziarah mereka. Foto-foto dan cerita singkat selama perjalanan mengungkap segala likaliku perjalanan, tanpa menyembunyikan momen keraguan dan kesulitan.
Dalam perjalanan ini, Madeleine dan Marie-Liesse hanya membawa beberapa baju. Mereka berangkat nyaris tanpa uang saku. Selama di perjalanan, mereka mengetuk setiap pintu rumah ketika waktunya tiba untuk beristirahat. Mereka menyerahkan perjalanan mereka dalam penyelenggaraan Ilahi. Nyatanya, Tuhan benar-benar menyediakan apa yang mereka butuhkan.
“Kami memilih memulai perjalanan ini sebagai pengemis. Kami pergi hanya dengan sedikit pakaian dan tidak ada yang lain. Tidak ada makanan, tidak ada uang. Kami ingin menyerahkan diri kami ke tangan takdir. Setiap malam, kami mengetuk pintu rumah orang-orang untuk meminta perlindungan, tempat tidur, dan makanan. Tuhan selalu menyediakan.”
Hari-hari mereka ditandai dengan berjalan kaki dan berdoa. Madeleine dan Marie-Liesse tidak memiliki aturan ketat, hal ini karena merka harus beradaptasi setiap hari dengan orang yang menerima mereka, memberi tempat berteduh dan memberi mereka makan.
“Tetapi kami mempunyai kerangka kerja: Kami tahu kami harus berdoa di pagi hari, di siang hari, di malam hari. Penting bagi kami untuk setia kepada Tuhan. Setiap hari, kami juga mendaraskan rosario, mendoakan niat yang dipercayakan kepada kami.”
Pecah Perang
Momen paling menantang dalam perjalanan mereka adalah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan, setelah mendengar pecah perang di Tanah Suci. Berangkat sejak September tahun lalu, praktis mereka tidak mengira bahwa akan terjadi perang di Palestina.
“Saat itu kami sudah berada di Jerman dan penuh keraguan apakah kami akan melanjutkannya.”
Namun, akhirnya mereka berani ke depan. Perjalanan mereka membawa mereka melintasi Swiss, Jerman, Austria, Slovenia, dan Kroasia. Di Kroasia, Madeleine dan Marie-Liesse terkejut melihat iman orang-orang di sana. Mereka melihat antusias umat di Kroasia yang setia beribadah di gereja.
“Masa Adven, tradisi mengharuskan Misa dihadiri setiap pagi pukul 6 pagi, dan setiap kali kami pergi, gereja dipenuhi orang,” tulis mereka di blog.
Mereka singgah selama sebulan di Medjugorje (Bosnia dan Herzegovina), tempat keluarga mereka berkumpul untuk merayakan Natal.
“Itu adalah masa yang sulit. Sekali lagi, kami tidak tahu harus berbuat apa. Namun setelah beberapa saat berpikir dan berefleksi, kami menyadari bahwa Kristus memanggil kami kembali ke jalan yang sama,” kata Madeleine.
Bertemu Antona
Madeleine dan Marie-Liesse melintasi Montenegro dan tiba di Albania, di mana mereka bertemu Antona.
Antona ternyata baru saja lulus dari universitas dan ingin mempersembahkan sesuatu sebagai ungkapan syukur.
“Saya baru saja menyelesaikan studi saya dan ingin mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan,” kata Antona kepada CNA.
“Saya tidak yakin apa, tapi saya pikir hal terbaik yang saya miliki saat itu adalah waktu itu sendiri. Jadi, saya memutuskan untuk mempersembahkan satu tahun hidup saya kepada Tuhan dengan memulai sebuah perjalanan. Itu adalah sebuah tantangan; Saya tidak yakin apakah saya akan menikmati berjalan-jalan dan sendirian.”
Antona memutuskan untuk pergi, meski terjadi perang. Ia yakin, bagian tersulit dari ziarah seperti ini adalah memutuskan untuk memulainya.
“Saya tahu jika saya menyerah karena perang, saya tidak akan melakukannya lagi. Bagaimanapun, saya pikir ketika saya tiba, perang sudah berakhir.”
Madeleine dan Marie-Liesse dipenuhi dengan keheranan atas mukjizat Tuhan dalam setiap detail ziarah mereka. Dalam cuaca yang indah dan dalam hujan, dalam setiap pertemuan kecil, ada banyak pintu yang terbuka dan membiarkan mereka beristirahat sejenak dalam perjalanan itu. Mereka berjumpa banyak orang yang menjamu mereka, setelah melihat mereka di halte bus. Ada juga orang baik yang mengajar mereka cara membuat roti. Bahkan seorang pria yang membuka pintu rumahnya, tepat sebelum turun hujan lebat.
“Jika kami tiba satu menit kemudian, kami tidak akan bertemu dengannya,” kata mereka.
Pertemuan yang Ditunjukkan Tuhan
Pertemuan dengan Antona juga bukan suatu kebetulan. Kedua saudara perempuan itu berdoa kepada Tuhan untuk memberi mereka teman perjalanan.
“Kami berencana untuk tidak melewati Turki karena kami berdua perempuan saja, tapi kami ingin melalui jalan itu. Jadi kami memohon kepada Tuhan untuk bertemu dengan seorang peziarah, dan kami bertemu dengannya,” jelas para suster.
Ketiganya melintasi Makedonia dan Yunani, tiba di Turki pada Minggu Palma. Di negara berpenduduk mayoritas Muslim ini, mereka merayakan Paskah. Mereka disambut hangat oleh komunitas kecil berbahasa Perancis di sana.
“Setiap hari ziarah ini adalah sebuah keajaiban,” kata Antona.
“Setiap hari kami bertemu orang-orang yang tersenyum atau bersikap baik kepada kami. Saya harus mengatakan bahwa di Turki, kami menemukan orang-orang yang paling ramah.”
Madeleine dan Marie-Liesse menulis dalam blog mereka, tidak jarang orang Turki secara spontan membantu tiga pemuda itu. Di Turki, masyarakat sangat menghormati orang asing yang lewat.
Setelah meninggalkan Turki, jalur ketiga pemuda itu kembali terbelah. Rute kakak beradik ini melewati Siprus tetapi mereka tidak dapat menemukan jalan dari sana ke Yerusalem melalui laut karena terhentinya transportasi akibat perang. Untungnya, mereka bertemu seseorang di Siprus yang menawarkan untuk membayar tiket pesawat, dan mereka tiba di Tel Aviv pada tanggal 6 Mei. Tiga hari kemudian, pada Hari Raya Kenaikan, mereka berada di Yerusalem.
“Sering kali, kami berpikir kami tidak dapat mencapai Yerusalem,” kata Madeleine.
“Kami belajar bahwa perjalanan jauh lebih penting daripada mencapai tujuan. Berada di sini adalah anugerah yang luar biasa, berada di sini.”
“Kami membongkar tas kami, berlutut di depan Tanah Suci ini, dan berdoa. Sungguh kedamaian, momen yang penuh rahmat! Saat kami mengagumi matahari terbit dan cahaya keemasan yang memberi warna pada atap kota tua, kami dapat membaca kembali keajaiban Tuhan dan merenungkan Injil. Cintanya yang tak terbatas membuat kami kewalahan,” tulis kedua saudari itu di blog mereka.
Madeleine yakin doalah yang membawa mereka. Saat mereka menjadi kuat karena saat itulah Tuhan bertindak. Percaya kepada Tuhan bisa menjadi sebuah tantangan, namun ketika mereka memahami bahwa Tuhan hanya ingin setiap orang bahagia, Ia akan memberikan semua dibutuhkan.
“Maka Anda menyadari bahwa Anda memiliki segalanya untuk bahagia saat ini; kamu bisa mempercayainya.”
Sepuluh hari kemudian, menjelang Pentakosta, Antona juga tiba di Yerusalem. Ia berkata, bahkan jika saya harus berhenti di tempat lain, setidaknya saya bertujuan untuk mencapai Yerusalem. Ini adalah kota yang sangat penting bagi umat Kristiani, namun perjalanan yang ia lakukan juga sangat penting.
Ketiga pemura tersebut masih berada di Tanah Suci. Mereka mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai perayaan dan mengunjungi tempat-tempat suci serta banyak situs lain di daerah tersebut.
“Hadiah terbesar adalah berada di sini dan memahami apa yang terjadi di sini, melihat dengan mata kepala sendiri, menyaksikan tempat sebenarnya,” kata Madeleine.
Perjalanan seperti ini bukan untuk semua orang, namun ketiga peziarah muda itu sepakat bahwa jika Tuhan memanggil, pergilah dengan damai. Jika Tuhan membantu, segalanya menjadi mungkin. (AES)