NORMANDIA, Pena Katolik – Puluhan ribu pasukan Sekutu menyerbu pantai Normandia pada tanggal 6 Juni 1944. Hari itu, 80 tahun yang lalu – D-Day – menandai titik balik dalam Perang Dunia II.
Karena lebih dari 156.000 tentara ambil bagian dalam pendaratan di Normandia. Di antara mereka ada beberapa imam yang juga ikut mendarat atau terjun payung bersama mereka. Berikut tiga orang yang menunjukkan keberanian heroik:
Pastor Francis Sampson
Pastor Francis Sampson dikenal juga sebagai “Bapak Parasut”. Ia bertugas di Resimen Parasut 501, termasuk di antara 15.500 tentara yang melompat ke belakang garis musuh pada tanggal 6 Juni yang menentukan itu.
Mungkin tidak ada imam Katolik atau lainnya, yang melihat lebih banyak kengerian selain Pastor Sampson. Demikian dikatakan oleh Pastor Donald Crosby SJ dalam bukunya Battlefield Chaplains: Catholic Priests in World War II (University Press of Kansas, 1994) .
Pastor Sampson segera mulai merawat yang terluka dan sekarat, baik secara rohani maupun fisik. Namun, pasukan SS Jerman menangkapnya dan menggiringnya ke jalan dan berencana menembaknya.
Pastor Sampson mengatakan, bahwa ia sangat gugup sehingga dia terus berdoa. Selanjutnya, tentara Jerman mendudukkannya di dinding dan mengangkat senjata untuk menembaknya. Namun, seorang perwira Jerman melihat lambang imam di bajunya. Perwira itu lalu menghentikan pasukan penembak itu.
Pastor Sampson mengatakan kepada tentara itu sebagai seorang imam Katolik. Selanjutnya, perwira itu memberi hormat, membungkuk sedikit dan menunjukkan kepadanya sebuah medali Katolik yang ditempel di dalam seragamnya. Perwira itu juga memperlihatkan kepada Pastor Sampson foto seorang bayi, anak dari perwira.
“Perwira Jerman itu telah menyelamatkan nyawa Pastor Sampson, lalu berjanji kepada imam itu, bahwa seorang dokter Jerman akan datang dalam satu atau dua hari dan merawat luka-luka tentara Amerika,” kata Crosby.
Sementara itu, Pastor Sampson tidak hanya menyelamatkan tentara Amerika tetapi juga memberikan darahnya sendiri kepada seorang tentara yang terluka dan terus bekerja tanpa istirahat. Dia dianugerahi Distinguished Service Cross (DSC) atas kepahlawanannya di Normandia.
Setelah D-Day, Pastor Sampson ditangkap kembali oleh pasukan Jerman selama Pertempuran Bulge. Ia ditahan di Stalag hingga akhir perang. Selama di tahan, ia tetap berkomitmen untuk membantu orang sakit dan merayakan Misa.
Ia kemudian menjadi imam di Angkatan Darat Amerika Serikat dari tahun 1967-1971. Salah satu tindakan kepahlawanannya akhirnya menjadi inspirasi untuk film “Saving Private Ryan” produksi tahun 1998 yang disutradai Steven Spielberg. Film ini didasarkan pada salah satu misi Pastor Sampson selama bertugas dalam D-Day.
Alkisah, empat bersaudara Edward Niland, Preston Niland , Robert Niland, dan Frederick Niland adalah empat bersaudara keturunan Irlandia yang tinggal di Tonawanda, NY, sebuah kota di utara Buffalo. Edward bertugas di Korps Udara Angkatan Darat di Pasifik, Preston adalah Letnan di Resimen Infantri ke-22. Dua saudara yang lain Robert dan Fredrick (dijuluki “Fritz”) keduanya adalah pasukan terjun payung selama penyerangan di Normandia.
Singkat cerita, selama invasi D-Day di Normandia, Preston dan Robert gugur di medan tempur. Sementara itu, Edward juga gugur berama dengan jatuhnya pesawat B-25 yang dinaikinya di Burma pada tanggal 16 Mei 1945.
Setelah mendengar tragedi tiga bersaudara Niland, Angkatan Darat Ameria Serikat memutuskan bahwa Fritz, satu dari empat bersaudara yang masih hidup, akan dipulangkan. Angkatan Darat Amerika Serikat merasa sudah cukup pengorbanan keluarga Niland.
Selanjutnya, misi untuk menemukan Fritz, satu-satunya yang tersisa, dari empat bersaudara Niland diserahkan kepada Pastor Sampson. Perjalanan Pastor Sampson untuk menemukan Fritz sebenarnya tidak sedramatis perjalanan Tom Hank dalam “Saving Private Ryan”, namun memiliki tantangan tersendiri.
Setelah pencarian selama beberapa waktu, Pastor Sampson berhasil menemukan Fritz. Pastor Simson memberitahunya, bahwa ia akan dipulangkan ke Amerika.
Sama seperti di dalam film, Fritz pun awalnya menolak dipulangkan. Ia bersikeras akan tinggal dan berjuang bersama teman tentara yang lain.
“Saya tinggal di sini bersama yang lain,” kata Fritz,
Pastor Sampson memaksa dengan berkata, “Anda bisa membahas hal ini dengan Jenderal Eisenhower atau presiden, tapi Anda harus pulang.”
Fritz kembali ke New York, di mana dia menjalani sisa perang sebagai polisi militer. Di akhir perang, keluarga Niland menerima kabar bahwa Edward, ternyata ditemukan hampir mati kelaparan tetapi masih hidup di kamp tawanan perang Jepang. Saat itu berat Edward hanya 80 pon dari aslinya 170 pon.
“Korps Imam adalah kesatuan yang paling dihormati di antara semua cabang angkatan bersenjata,” kata Lyle Dorsett, penulis Serving God and Country: United States Military Chaplains in World War II (Berkley Books, 2012).
Pangkat terakhir Pastor Simson dalam Kesatuan Angkatan Darat Amerika Serikat adalah Mayor Jenderal.
Pastor Joseph Lacy
Pastor Joseph Lacy termasuk di antara 34.250 Tentara AS yang mendarat di Pantai Omaha pada tanggal 6 Juni itu. Hanya seminggu sebelumnya ia bergabung dengan Batalyon Ranger ke-5.
Ketika Pastor Lacy melapor kepada Pasukan Rangers beberapa hari sebelum D-Day, komandan Rangers memandangnya dan berkata, “Pastor, Anda tua dan gemuk. Kamu tidak akan pernah bisa mengimbangi kami.” Pastor Lacy memandangnya dan menjawab, “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Saya akan melakukan pekerjaan saya.”
Selanjutnya, itu yang dilakukan Pastor Lacy. Ia berada di kapal pendarat pertama di bagian Rangers di Pantai Omaha.
Dia adalah orang terakhir yang keluar dari kapal pendarat, sebelum sebuah peluru menghantamnya. Dia mulai menarik orang-orang keluar dari air ke pantai, membantu yang terluka.
Pastor Lacy dianugerahi atas tindakannya yang menggambarkan apa yang dilakukan imam itu. Ini menggambarkan aksi kepahlawanan yang luar biasa dari Letnan Satu Lacy pada tanggal 6 Juni 1944.
Imam itu mendarat di pantai, dengan salah satu unit penyerangan terkemuka. Banyak korban jiwa yang diakibatkan oleh tembakan senapan berat, mortir, artileri dan roket musuh. Dengan mengabaikan keselamatan dirinya sendiri, Pastor Lacy bergerak di sekitar pantai, terus-menerus terkena tembakan musuh, dan membantu orang-orang yang terluka.
Hampir separuh Rangers yang mendarat bersama Pastor Lacy terbunuh atau terluka, tetapi merekalah yang pertama kali menembus garis musuh. Setelah D-Day, Pastor Lacy melanjutkan perjalanan bersama mereka ke Prancis.
Pada tahun 1960-an, dia diangkat menjadi sebagai Vikaris Yudisial di Keuskupan Agung Hartford, Connecticut.
Pastor Ignatius Maternowski
Di antara pembantaian besar-besaran D-Day, satu-satunya imam Katolik yang terbunuh adalah, Pastor Ignatius Maternowski OFM. Biarawan berusia 32 tahun itu terjun payung bersama Divisi Lintas Udara ke-82.
Pastor Maternowski adalah orang Polandia yang tangguh, energik, dan sangat disukai oleh orang-orang di resimennya. Sebagai imam di tengah perang, Pastor Maternowski sebenarnya tidak harus maju ke garis depan ketika terjadi pertempuran, tetapi ia menolak untuk mundur.
Pastor Maternowski kadang marah ketika ada tentara yang melontarkan lelucon kotor, berbicara kasar, atau menyebut nama Tuhan dengan sembarangan.
Pastor Maternowski adalah Kapten Angkatan Darat, seorang penerjun payung di Resimen Infantri Parasut ke-508 Lintas Udara ke-82. Pasukan terjun payung itu mendarat di dekat desa kecil Picauville, di mana satu-satunya toko, sebuah toko kelontong, diubah menjadi tempat perawatan tentara terluka.
Melihat tempat itu dengan cepat penuh sesak, dan lebih banyak lagi yang terluka dalam perjalanan masuk, Pastor Maternowski mengambil langkah berisiko untuk bertemu dengan kepala medis Jerman.
Ia bernegosiasi untuk menggabungkan semua korban luka, baik dari tentara Jerman maupun Sekutu, bersama di ruang yang luas. Dengan lambang imam di jaketnya dan mengenakan ban lengan Palang Merah, dia melepas helmnya dan berjalan tanpa rasa takut menuju garis pertahanan Jerman.
Anehnya, dia kembali ke pos pertolongan darurat bersama petugas medis Jerman yang sama. Dia pasti kemudian kembali ke barisan Jerman bersama perwira Jerman itu. Ketika ia berjalan kembali ke barisan Tentara Amerika sendirian, seorang penembak jitu Nazi menembaknya dari belakang.
Dia terjatuh ke jalan, di mana tubuhnya terbaring selama tiga hari di pemukiman Gueutteville, bagian dari Picauville. Jerman tidak akan membiarkan siapa pun memulihkannya.
Sebelas tentara dari Divisi Infanteri ke-90 muncul, mereka berhasil menemukan jenazahnya. Ada sebuah tugu peringatan yang didirikan di Gueutteville yang menceritakan tentang tindakan berani imam tersebut. Pada tahun 1948, jenazah Pastor Maternowski dikembalikan ke Amerika Serikat dan dimakamkan di bagian Pemakaman Fransiskan di South Hadley, Massachusetts. Di nisannya terdapat tulisan: “Tidak Ada Cinta yang Lebih Besar.”
Uskup Agung Militer, AS, Mgr. Timothy Broglio menyebut Pastor Maternowski sebagai panutan bagi para imam militer di mana pun.
“Pengorbanan heroik Pastor Maternowski adalah contoh luar biasa dari bukti nyata kasih Kristiani, bahkan dalam menghadapi kejahatan dan kesulitan besar.” (AES)