JAKARTA, Pena Katolik – Tanggal 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII mengeluarkan sebuah dekrit Quod Christus Adorandus yang menjadi tanda resmi berdirinya hirarki di Indonesia. Surat ini ditujukan untuk para Waligereja se-Indonesia.
Dalam suratnya tertanggal 20 Maret 1961, Paus Yohanes XXIII menekankan pentingnya peristiwa bersejarah yang besar ini ditulis dengan huruf-huruf emas dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Paus mengajak umat Katolik Indonesia meneladan Fransiskus Xaverius. Juga diingatkan bahwa sekalipun hirarki sudah berdiri, hal itu tidak berarti bahwa misionaris-misionaris asing tidak diperlukan lagi. Para misionaris asing tetap harus menyumbangkan pengabdiannya kepada Gereja Indonesia di pelbagai bidang.
Rapat di Sela Konsili
Saat itu, sidang para waligereja selanjutnya terlaksana di sela-sela penyelenggaraan Konsili Vatikan II (1962-1965). Selama berada di Roma, para Waligereja Indonesia menyelenggarakan rapat tersendiri. Pokok bahasan menyangkut hal-hal penting yang menjadi bahan bahasan dalam Konsili. Rapat-rapat para Waligereja Indonesia selama di Roma dilaksanakan di Feyor Unitas.
Awalnya rapat-rapat para Uskup Indonesia di Roma pada tahun 1962 diketuai oleh Mgr. A. Soegijapranata SJ. Namun sekenario ini berubah, ketika pada tanggal 22 Juli 1963 Mgr. Soegijapranata meninggal dunia di Steyl, Belanda. Saat itu, ia sedang dalam perjalanannya menuju lokasi sidang kedua Konsili Vatikan.
Selanjutnya, rapat-rapat para Uskup Indonesia di Roma tahun 1963 diketuai oleh Mgr. A. Djajasepoetra yang saat itu Uskup Agung Jakarta. Kemudian rapat para waligereja tahun 1964 dan 1965 diketuai oleh Mgr. Y. Darmojuwana, Uskup Agung Semarang yang baru.
Selain membahas masalah-masalah yang memang menjadi fokus pembicaraan dalam Konsili Vatikan II, para uskup Indonesia berbicara masalah penting lain misalnya masalah pendidikan Katolik dan pendirian universitas Katolik. Di samping rapat-rapat di Roma di sela-sela Konsili, MAWI juga menyelenggarakan sidangnya di Indonesia. Tanggal 25-30 Mei 1964 sidang MAWI dilaksanakan di Girisonta dan 20-28 Agustus 1965 juga di tempat yang sama.
Perhatian pad Masalah Sosial
Sidang MAWI tahun 1966 diselenggarakan di Girisonta tanggal 15-26 Oktober. Pada sidangnya kali ini, para Uskup memberikan resolusi (seruan) kepada kaum awam, organisasi-organisasi Katolik, dan para rohaniwan. Kepada kaum awam sidang mendorong agar awam Katolik terlibat dalam karya kemasyarakatan sehingga dapat membangun masyarakat sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Gereja, sehingga kerasulan awam semakin nyata dan dirasakan terutama di bidang politik, sosial, ekonomi, dsb.
Para awam dalam keterlibatannya di bidang-bidang itu tidak atas nama Gereja, tetapi atas nama organisasi atau atas nama perseorangan. Organisasi Katolik, khususnya Wanita Katolik dan Pemuda Katolik diharapkan bekerjasama dengan baik dan pertama-tama berjuang untuk kepentingan umum menurut norma-norma ajaran Gereja. Sedangkan kepada para rohaniwan diserukan agar memerankan diri sebagai moderator bagi organisasi-organisasi Katolik dengan tugas utamanya mendorong, menasehati, dan membantu, tidak sebaliknya menguasai, memimpin dan mengambil alih fungsi pengurus.
Sidang MAWI 1968 dilaksanakan di Klaten pada tanggal 14-24 Oktober. Dalam sidang ini fokus pembicaraan adalah menanggapi Ensiklik Humanae Vitae yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI. Terhadap hasil pembicaraan ini, MAWI mengirim tiga buah surat yang masing-masing tertuju kepada Sri Paus, kepada para imam, dan umat Katolik.
Sidang MAWI tahun 1970, 1971, 1972, dan 1973 semua terselenggara di Jakarta di Gedung MAWI. Ada pun tepatnya, sidang-sidang itu terselenggara pada 19 November-3 Desember 1970, 22 November-3 Desember 1971, 13-23 November 1972, dan 12-22 November 1973.
Sejak sidangnya pada tahun 1970 terjadi suatu perubahan dalam penyelenggaraan kelembagaan. Dari semula Utusan Misi sampai kepada Sekretariat Jenderal dengan Missie afgevaardigde (1924-1931) menjadi Centraal Missie Bureau (1931-1942), masa peralihan (1942-1949), Kantor Misi Pusat (1949-1955), ke Kantor Waligereja Indonesia dan Panitia-panitia Waligereja Indonesia (1955-1961), perkembangan ke arah Sekretariat Jenderal (1962-1969), dan akhirnya Sekretariat Jenderal sejak 1970 hingga sekarang.
Dari MAWI ke KWI
Peristiwa penting yang terjadi pada periode ini adalah perubahan nama dari Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yaitu pada sidang para Uskup bulan November 1986 di Wisma Samadi Klender, Jakarta Timur. Penggantian nama dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Pada periode ini, KWI pernah mengeluarkan Surat Gembala Prapaskah berjudul “Keprihatinan dan Harapan” (1997) yang memberikan penegasan untuk beberapa hal penting. Namun dalam kaitannya dengan kondisi bangsa yang seakan menjadikan politik seakan-seakan segalanya. Dalam surat ini, KWI mengingatkan hal mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Dalam kaitan ini, perkenankanlah kami menegaskan makna kehidupan politik. Berpolitik seharusnya merupakan usaha yang luhur. Berpolitik berarti mengusahakan kese-lamatan dan kesejahteraan masyarakat umum, demi kemajuan hidup bangsa sesuai dengan harkat kemanusiaannya dan demi persahabatan dan perdamaian antar bangsa.
Sekali lagi, berpolitik berarti mencurahkan seluruh tenaga demi kebaikan dan kema-juan bangsa. Maka adalah salah besar siapa pun yang menggunakan jabatan dan kekuasaan politik semata-mata demi pamrih pribadi, demi keuntungannya sendiri, sanak saudara atau kelompoknya, suatu kecenderungan yang semakin berkembang belakangan ini.
Berpolitik berarti melayani masyarakat, bukan main kuasa. Maka orang Katolik yang berpolitik harus bermoral, tidak perlu berbohong, melakukan tindak korupsi, me-makai intimidasi dan kekerasan, atau mencapai sasaran-sasarannya dengan mengorbankan kepentingan dan kesejahteraan umum, hak dan kebahagiaan orang lain, apalagi orang-orang kecil. Politik harus dilaksanakan dengan tolok ukur kemanusiaan yang adil dan beradab.
KWI merasa perlu untuk memberi masukan dan refleksi terkait perpolitikan di Indonesia. Dalam kehidupan politik justru dibutuhkan orang-orang yang bercita-cita luhur. Maka kami mendorong umat Katolik, terutama generasi muda, agar terbuka terhadap bidang politik, untuk bersama dengan saudara-saudara dari semua golongan, aliran dan aga-ma yang menjunjung tinggi cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan, mencurahkan tenaga mereka demi kemajuan Nusa dan Bangsa kita.”
Gereja Indonesia dan Kritik untuk Pemerintah
Surat Gembala menjelang Pemilu 1997 dibaca oleh sebagian orang seakan ada kesan, bahwa KWI seakan mendukung “golput”. Kesan itu tidak benar, KWI tidak pernah mendukung golput. Yang ingin ditegakkan oleh pernyataan para Gembala (Waligereja) adalah pentingnya setiap umat Katolik memberikan hak suaranya dalam kebebasan dan bukan dalam tekanan. Pemilu harus Luber dan Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).
Sidang KWI pada periode ini dijalankan setiap tahun pada awal bulan November 1997. Saat itu, bangsa Indonesia mengalami suatu pembaruan hidup dalam hubungannya dengan berbangsa dan bernegara dengan peristiwa gerakan massa yang disebut Gerakan Reformasi. Kelahiran Reformasi ini menandai berakhirnya masa yang disebut Orde Baru yang berjalan sekitar 32 tahun. Tanggal 20 Mei 1998 menjadi puncak gerakan massa dan sekaligus awal bagi lahirnya Reformasi itu.
Terhadap pembaruan hidup berbangsa dan bernegara ini Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mewujudkan dukungannya dengan memberikan sumbangan pemikiran melalui berbagai kebijakan pastoral yang diputuskannya.
Beberapa hal penting yang dikeluarkan KWI dalam periode ini antara lain: Pesan Natal Bersama (penerusan tradisi kerjasama dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia/PGI sejak tahun 1980-an), penerbitan Nota Pastoral yang menyediakan bahan pembelajaran bagi umat Katolik Indonesia guna mendukung kehadiran dan keterlibatannya dalam hidup bermasyarakat, penerbitan Surat Gembala Pemilu dan Seruan Pastoral lainnya. Pesan Natal bersama KWI-PGI secara konsisten berisi ajakan kepada umat kristiani untuk hadir di tengah masyarakat bangsa. Surat Gembala tentang Pemilu yang terbit tahun 1999, 2004, 2009, dan 2014 menegaskan pentingnya umat Katolik untuk ambil bagian dalam proses pesta demokrasi.
Nota Pastoral yang dikeluarkan oleh KWI selama ini adalah “Keadilan Sosial Bagi Semua” (2003) dengan fokus pada keadilan dalam aspek sosial politik; “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa” – Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya (2004); “Habitus Baru: Ekonomi Yang Berkeadilan” – Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi (2006); tentang pendidikan berjudul Lembaga Pendidikan Katolik: “Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan Lebih Berpihak Kepada Yang Miskin” (2008); Nota Pastoral tentang Lingkungan Hidup berjudul “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan” (2013) dan tentang Narkoba berjudul “Dari Keputusasaan Menuju Pengharapan” (2014).
Penutup
Peringatan seabad KWI memiliki arti penting bagi Gereja Katolik di Indonesia. Peringatan ini diadakan tiga bulan sebelum kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.
Pada uskup adalah gebala umat, kehadirannya menjadi penuntun bagi umat untuk menentukan sikap dalam kehidupan bermasyarkat.