Tidak mudah bagi Pastor Vinsensius Do Yen (Vietnam: Vinh Són Đô Yên) berkarya di bawah sebuah pemerintahan yang otoriter. Di bawah pemerintahan Kaisar Minh Mang, Dinasti Nguyễn di Vietnam dijalankan dengan tidak memberi kesempatan pada perkembangan Iman Katolik. Raja melarang aktivitas para imam Katolik dan menangkap mereka.
Dalam situasi inilah, Pastor Vinsensius berjuang untuk tetap menyebarkan nilai-nilai iman Katolik. Ia tetap mewartakan Injil di “bawah tanah” meski dibayangi pengejaran dan ancaman yang bisa sewaktu-waktu mengancam nyawanya.
Pada tanggal 8 Juni 1838, Pastor Vinsensius bertemu dengan Cai Phan. Ia memohon untuk diizinkan tinggal di rumahnya. Siapa sangka, dengan langkah ini, Pastor Vinsensius justru masuk perangkap. Ia dikhianati Cai Phan. Ia kemudian dikhianati, ditangkap, dan dikurung untuk diserahkan kepada pihak berwenang di Hai Duong. Cai Phan melakukan ini demi mendapatkan imbalan yang sudah dijanjikan pemerintah.
Berbagai upaya dilakukan umat untuk dapat membebaskan Pastor Vinsensius. Mereka bahkan rela untuk mengumpulkan uang demi membebaskan imam kesayangan mereka itu. Namun, Kaisar Minh Mang meruntuhkan semua usaha umat untuk mendapatkan Pastor Vinsensius kembali. Raja itu memerintahkan untuk menghukum mati Pastor Vinsensius.
Begitulah, Pastor Vinsensius yang dikenal sebagai imam yang penyayang harus rela meregang nyawa demi imannya. Usaha para prajurit untuk “membelokkan” iman Pastor Vinsensius tidak berhasil. Ia pun wafat sebagai martir di Vietnam.
Dari Projo ke Dominikan
Pastor Vinsensius lahir pada tahun 1764 (pada masa Dinasti Le), di Provinsi Tra, Phu Nhai, Nam Dinh. Wilayah ini dikenal “subur” dan telah melahirkan banyak orang kudus seperti: St. Vinsensius Liem, St. Tomas Du, dan St. Dam Dat. Vinsensius merasakan panggilan untuk menjalani kehidupan religius sejak kecil. Setelah menjalani Pendidikan di seminari, dia ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1798 oleh Beato Ignatius Delgado.
Di awal karya kerasulannya, ia langsung menghadapi tantangan. Ia ditangkap pemerintah, namun kemudian dibebaskan berkat bantuan umat beriman yang membayar uang tebusan baginya. Perjuangannya menjadi imam berlanjut, ada panggilan dalam diri Pastor Vinsensius untuk masuk biara. Alhasil, imam diosesan itu pun memilih untuk masuk Biara Dominikan.
Pada tanggal 22 Juli 1807, Pastor Vinsensius bergabung dengan biarawan Dominikan. Setahun kemudian, ia mengikrarkan kaul religius pertamanya. Dia biara ini, ia menjalani kehidupan religius yang lebih mendalam dengan penuh doa dan cinta kepada Tuhan. Dia sangat rendah hati, dia sering bermatiraga dan larut dalam doa kontemplatif. Dia pribadi yang penuh kasih, seorang misionaris yang penuh semangat dalam karya kerasulan, tidak kenal lelah, dan pemberani.
Ketika pemerintahan Kaisar Gia Long Long (1802-1820), ayah Kaisar Minh Mang, Pastor Vinsensius menjalankan karya kerasulannya dalam suasana damai. Pada awalnya, ia melayani di Paroki Ke Mot. Kemudian, ia pindah ke Paroki Ke Sat di provinsi Hai Duong. Ke mana pun ia pergi, ia selalu meneguhkan iman umat gembalaannya dan banyak juga penyembah berhala yang kemudian percaya kepada Tuhan. Ia terkenal sebagai seorang yang selalu ceria, tenang, lembut, dan murni hidupnya.
Setelah Kaisar Minh Mang berkuasa, pada tahun 1838, kebijakan kaisar dalam hal agama berubah drastis. Kaisar Minh Mang tidak menghendaki kekristenan berkembang di kerajaannya. Alhasil, ia mulai memerintahkan untuk menangkapi para imam Katolik. Ia mengirim para petugas untuk menegakkan larangan terhadap aktivitas umat Katolik di keuskupan di Dang Ngoai.
Pastoral Bawah Tanah
Pada masa ini, banyak uskup, imam, kaum religius, dan orang awam yang kemudian menjadi martir karena mempertahankan imannya. Banyak gereja, seminari, dan rumah biara yang dihancurkan. Pastor Vinsensius, yang saat itu menjadi pastor paroki Ke Sat, sangat sedih menyaksikan penderitaan umatnya, sementara ia juga harus meninggalkan gerejanya.
Namun, ia tetap tinggal di tengah-tengah mereka, ia berpindah-pindah dari rumah umat yang satu ke rumah umat yang lain untuk menghindari petugas kerajaan. Pada malam hari ia mempersembahkan Perayaan Ekaristi, dan di siang hari memberikan bimbingan dan sakramen kepada umat beriman. Semua itu harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, seperti pada masa-masa Gereja awal.
Tetapi akhirnya pihak kerajaan mengetahui bahwa Pastor Vinsensius masih bersembunyi di wilayah Ke Sat. Mereka segera melakukan pencarian, namun mereka tidak berhasil menangkapnya. Mereka kemudian mengancam akan menghancurkan desa itu jika masih ada yang melakukan praktik agama Kristen. Pastor Vinsensius diam-diam pergi dengan penuh kesedihan karena harus berpisah dengan umatnya, namun bagaimanapun juga ia harus mendahulukan keselamatan mereka, dan mempercayakan segala-galanya ke dalam penyelenggaraan Ilahi.
Pastor Vinsensius kemudian pergi ke rumah keluarga Thua, tetapi keberadaannya diketahui pihak berwenang sehingga memaksa ia pergi lagi ke Luc Dien (Hung Yen). Di tengah perjalanan yang melelahkan, ia berhenti untuk beristirahat di bawah naungan rumpun bambu. Seorang pejalan kaki menanyakan tujuannya, dan untuk merahasiakan jati dirinya Pastor Vinsensius berpura-pura menanyakan jalan ke Ke Bai. Pejalan kaki itu hanya memberi petunjuk dan kemudian pergi melanjutkan perjalanannya.
Tertangkap
Meski berusaha untuk menyembunyikan keberadaan dan aktivitasnya, akhirnya Pastor Vinsensius tertangkap karena pengkhianatan Cai Phan. Ia lalu di tahan oleh pasukan Kaisar Ming Mang. Selama tiga minggu penahanannya, atas kemurahan hati pejabat pemerintah yang baik itu, Pastor Vinsensius tidak dirantai dan diizinkan menerima kunjungan serta kiriman makanan yang cukup. Siang dan malam dia hanya bertekun dalam doa dan meditasi.
Pastor Vinsensius diadili di hadapan para pejabat pemerintah di Hai Duong. Pimpinan pejabat pemerintah itu seorang yang baik hati dan dia menolak untuk menjatuhkan hukuman mati. Dia menyarankan, Pastor Vinsensius untuk mengaku sebagai seorang tabib, agar ia bisa membebaskannya.
“Saya bukan seorang tabib, tugas saya adalah untuk mempersembahkan kurban bagi Tuhan dan mewartakan iman akan Yesus Kristus, dan demi Dia saya siap untuk mati. Saya tidak bisa menerima tawaran itu sebagai imbalan atas kesaksian palsu,” begitu jawaban Pastor Vinsensius.
Pada akhirnya para pejabat pengadilan menyadari bahwa membuat Pastor Vinsensius menyangkal imannya adalah mustahil, dan mereka segera membuat laporan mengenai hal itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak ingin menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah itu. Mereka mengusulkan kepada pihak kerajaan untuk membebaskan Pastor Vinsensius dan memulangkannya ke provinsi asalnya, Nam Dinh.
Setelah menerima laporan pengadilan Pastor Vinsensius, kaisar Minh Mang menolak usulan untuk membebaskannya. Kaisar sendiri lah yang lalu menjatuhkan hukuman mati pada tanggal 20 Juni. Kabar hukuman yang dijatuhkan untuk Pastor Vinsensius itu sampai di Hai Duong pada tanggal 30 Juni.
Pada tanggal 30 Juni 1838, Pastor Vinsensius berjalan menuju ke tempat eksekusinya di dekat Binh Lao, satu mil di sebelah barat Hai Duong. Wajahnya yang lembut memancarkan sukacita sehingga banyak orang yang tergerak hatinya. Sesampainya di tempat yang sudah ditentukan, Pastor Vinsensius berlutut dan berdoa dengan sepenuh hati, dan dengan tenang dia menyambut mahkota kemartirannya. Dengan satu ayunan pedang, kepala martir kudus ini terpisah dari badannya.
Si pejabat yang baik hati itu kemudian mengambil kepala sang martir dan menyatukannya dengan tubuhnya. Dia juga menyumbangkan sehelai kain untuk pemakaman orang kudus ini. Jenazah Pastor Vinsensius dimakamkan di bawah lantai Gereja di Tho Ninh yang telah dihancurkan. Delapan bulan kemudian, makam Pastor Vinsensius dibuka kembali dan jenazahnya didapati masih utuh.
Kepala keamanan yang bernama Dong, seorang penyembah berhala, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri dan dia mengatakan bahwa, “Jenazahnya seperti masih hidup meskipun telah dimakamkan selama delapan bulan, tidak rusak dan tidak berbau.”
Pastor Vinsensius dibeatifikasi pada tanggal 27 Mei 1900 oleh Paus Leo XIII, dan dikanonikasi pada tanggal 19 Juni 1988 oleh St. Paus Yohanes Paulus II. Pestanya diperingati setiap tanggal 30 Juni.
Antonius E. Sugiyanto