Senin, November 18, 2024
26.1 C
Jakarta

Mengapa Kita Menggunakan Daun Palma pada Saat Minggu Palma?

Lukisan “Masuknya Yesus Kristus ke Yerusalem” yang dibuat tahun 1320 oleh Pietro Lorenzetti yang ada di Basilika St. Fransiskus Asisi, Italia. IST

JAKARTA, Pena Katolik – Minggu Palma dimulai pada abad ke-4 di Yerusalem. Hal ini dijelaskan dalam buku perjalanan Peregrinasio Etheriae The Pilgrimage of Etheria. Di Dunia Barat, bukti paling awal dari upacara Minggu Palma tersebut ditemukan di Bobbio Sacramentary (abad ke-8).

Umat Kristen mula-mula mengenang masuknya Yesus ke Yerusalem dengan menggunakan daun palma. Namun tidak selalu ranting palem yang digunakan dalam liturgi ini. Di beberapa tempat, umat Katolik menggunakan ranting zaitun. Janur juga digunakan sebagai pengganti daun palma.

Pohon palem secara historis merupakan simbol kemenangan dan perdamaian dan banyak terdapat di Yerusalem pada masa hidup Yesus. Daun palma ini juga bisa dimaknai melambangkan kemenangan dan perdamaian, setelah sebelumnya umat menjalani Masa Prapaskah.

Injil Yohanes menceritakan bagaimana Yesus disambut di Yerusalem oleh orang banyak yang melambai-lambaikan daun palem: “Keesokan harinya ketika orang banyak yang datang merayakan pesta mendengar, bahwa Yesus sedang di tengah jalan menuju Yerusalem, mereka mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia sambil berseru-seru, “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel”. (Yoh 12:12-13).

Umat ​​Katolik menggunakan daun palma sebagai cara menyambut Yesus sebagai tindakan iman yang penuh kegembiraan. Dalam hal ini, daun palma bukan sekadar simbol. Sebelum prosesi Minggu Palma dimulai, seorang imam memberkati daun palem dengan air suci, mengingatkan akan kehadiran Kristus. Daun-daun itu menjadi benda sakramental, benda suci yang dirancang untuk mendekatkan setiap orang kepada Tuhan.

Menurut Kitab Hukum Kanonik, barang-barang yang diberkati harus diperlakukan dengan hormat (Kanon 1171). Jika ada keperluan untuk membuang benda-benda sakramental, benda-benda sakramental itu harus dikubur atau dibakar, bukan dibuang ke tempat sampah.

Daun palma yang diberkati dengan sendirinya menjadi benda sakramental. Umat Katolik biasa membawa pulang daun palem sakramental ini, dan kemudian meletakkannya di rumah, sering diselipkan di antara salib, hingga tahun liturgi berikutnya.

Menjelang masa Prapaskah berikutnya, setiap paroki meminta umat mengumpulkan daun-daun ini untuk dibakar menjadi abu yang digunakan dalam Misa Rabu Abu. Meskipun abunya berasal dari pohon palem yang diberkati, seorang imam atau uskup sekali lagi memberkatinya sebelum abunya ditempelkan di dahi umat beriman dalam bentuk salib. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini