ATAMBUA, Pena Katolik – Tahun 2015, bersama Teman Saya Frater Yogar Fallo, kami menjalankan masa praktek sebagai Frater TOP (Tahun Orientasi Pastoral) di SMK Katolik Santo Pius X Insana atau yang lazim dikenal dengan nama SMK Bitauni.
Masih ingat persis, tanggal 9 juli 2015 tiba di Bitauni. Saat makan malam, kami semeja makan dengan Mgr. Anton Pain Ratu, SVD. Ia duduk pada bagian meja yang biasa disebut kepala meja. Sejak saat itu, Saya kenal lebih dekat Mgr. Anton Pain Ratu.
Dua tahun hidup di Komunitas Pastoran Bitauni bersama Mgr. Anton. Banyak hal, kami belajar dari Mgr. Anton. Kami biasa menyapanya Bai atau Bai Uskup . Walaupun mula-mula ia tidak mau disapa Bai, karena menurutnya, Dirinya memang tua usia namun tetap jiwa muda. Itulah komitmennya.
Ia murah senyum dengan siapa saja. Daya ingatnya kuat. Kebiasaan membaca, menulis terus dilakukan. Agenda harian dan khotbah-khotbahnya tertulis dan tersusun rapi dari tahun 1958 sampai dengan saat ini.
Satu kebiasaan menarik yang selalu dilakukan ialah ia selalu menghadiahkan kembali khotbah tahbisan imam bagi para imam yang merayakan 25 tahun hidup imamat.
Tiap kali saat makan, ia selalu dipanggil. Panggilan itu khas…..Bai…..mari kita makan. Menurut Bai Uskup , tanda panggil ini penting karena hidup komunitas harus dirawat pula dalam situasi makan bersama di kamar makan. Dan memang benar, ia sangat menjunjung tinggi hidup komunitas.
Selama dua tahun hidup dekat, Saya menyaksikan, Mgr. Anton adalah Sosok yang disiplin, rajin berdoa, komitmen, tekun, sederhana, prinsipiil. Untuk mengetahui pada bagian mana, iaberada, cukup kita lihat dari nyala lampu ruangan. Di ruangan mana lampu menyala, pasti ia ada di situ. Ia tidak biasa membiarkan pemborosan terjadi.
Ia disiplin, saat bangun, tidur, makan, olahraga, baca, tulis dan doa. Misa harian selalu dilakukan. Situasi tentu berbeda kalau misa harian dipimpin Mgr. Anton di Kapela pribadinya. Beberapa kali ikut misa bersama Bai Uskup , dan memang situasi kudusnya sungguh tercipta.
Kesederhanaannya juga sangat menginspirasi. Ia apa adanya. Jubah yang selalu dipakai, didapatinya dari Filipina sejak tahun 1982. Sepatu dan sendal yang digunakannya tidak banyak yang baru. Barang-barang lama dirawatnya. Selama masih kuat, dan masih layak pakai, tidak harus selalu butuhkan yang baru.
Semangatnya merayakan Ekaristi menginspirasi para imam untuk menjadikan Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup imamat. Khotbah-khotbahnya selalu ditulis. Selalu ada waktu untuk siap khotbah. Khotbah-khotbahnya menarik. Sederhana namun padat makna.
Pada umumnya, umat Keuskupan Atambua mengenalnya dengan sebutan Topi Merah atau Peci Merah. Mgr. Anton memang memilih mengenakan topi yang berlainan dengan uskup-uskup lain. lain. Menurutnya, hal itu dilakukannya untuk menunjukkan semangat inkulturasi.
Ada begitu banyak julukan. Beberapa diantaranya ialah :
Uskup Topi Merah atau Peci Merah
Ada sebuah peci merah yang selalu dipakainya. Begitu akrabnya ia dengan umat Keuskupan Atambua yang selalu mengenakan peci merah ketika melakukan kunjungan-kunjungan kegembalaan, akhirnya ia dijuluki sebagai Uskup Topi Merah. Terdapat beberapa kasus kericuhan yang serius di Keuskupan Atambua, dalam waktu singkat, segala persoalan itu menjadi tenang karena “Topi Merah turun tangan”.
Uskup Rakyat Kecil
Sebagai uskup dalam menjalankan khalwat 3-BER, ia mendekatkan diri dengan rakyat kecil, membantu mereka untuk menyadari persoalan mereka dan kemudian membantu mereka untuk menemukan solusi sendiri. Selama Khalwat 3-BER, ia duduk bersama rakyat kecil bahkan di tanah. Mungkin karena di tanah lebih banyak “orang kecil” daripada di atas panggung lebih sedikit “orang kecil.”
Uskup Sendal Jepit
Menunjukkan kesederhanaan ia. Kesederhanaan dihayati dengan sungguh-sungguh agar dengan itu hanya memliki Kristus sebagai satu-satunya kekayaan istimewa.
Uskup Pengungsi
Memberi perhatian dengan semangat solidaritas Kristus serta dengan rasa empati kemanusiaan memperjuangkan nasib para pengungsi entah secara ekonomis maupun secara sosial. Mgr. Anton juga dikenal sebagai sosok Pejuang Keadilan. Banyak kali ia perjuangkan nasib orang-orang kecil. Bencana tahun 2000 an di Malaka menjadi saksi, betapa Mgr. Anton, pada saat itu menunjukkan semangat kepeduliannya terhadap orang-orang yang terdampak bencana.
Makanan kesukaan yang khas baginya ialah jagung titi dan blelang (dendeng ikan (paus). Kami juga ikut makan, dan biasanya habis.
Tahun 2017, Saya dibawa Mgr. Anton ke kampung halamannya, di Adonara – Lamawolo. Saat itu kami rayakan tahun baru dan ulang tahun ke-88 di sana, pada 02 Januari 2017. Menariknya ialah, saat itu, rumah orang tuanya yang didirikan sejak tahun 1965, masih saja berdiri kokoh dan sungguh sederhana. Dari situasi itu, muncul bahwa ternyata Sosok Mgr. Anton merupakan Sosok yang amat mencintai kesederhanaan.
Banyak kisah
Pada ulang tahunnya yang ke-90, Saya bersama beberapa rekan menulis sebuah buku berjudul Gerak Langkah Sang Gembala dalam rangka HUT ke-90 Mgr. Anton. Buku itu mengisahkan banyak pengalaman bersama Mgr. Anton dan banyak kesan dari Mgr. Anton dan tentang Mgr. Anton, serta banyak pula refleksi yang dihasilkan dari pengalaman hidup harian dan hidup rohani Mgr. Anton. Selamat jalan Bai Uskup. Selamat jalan Bapak Uskup Terima kasih banyak atas segala nasehat dan kesaksian hidupmu. (Romo Yudel Neno/Imam Keuskupan Atambua)