Senin, November 18, 2024
25.6 C
Jakarta

AI dan Kemanusiaan: Merajut Etika di Era Transformasi Teknologi

William Chang

Guru Besar Etika Sosial Universitas Widya Dharma Pontianak, Imam Kapusin Pontianak

Pena Katolik- Etika (artificial intelligence/AI) yang bermuara kepada etika algoritma pada dasarnya menyoroti rangkaian nilai dan norma moral yang seharusnya ditegakkan dalam pusaran AI. Nilai dan prinsip etis humaniora dalam hidup sehari-hari harus dijunjung.

Suhu diskusi tentang kecerdasan buatan AI masih hangat walaupun jantung diskursus ini bukan barang baru. Edisi khusus Kompas pernah mengulas tema tentang AI.

Kini, Kementerian Komunikasi dan Informatika akan menyiapkan kebijakan etika AI dalam proses pengembangan kecerdasan buatan (Kompas, 11/8/2023). Tentu, selain mengacu kepada rekomendasi internasional tentang AI (UNESCO), kekayaan bangsa berupa kebijaksanaan lokal perlu dipertimbangkan dalam merajut etika AI ini.

AI mentransformasi hidup

Sejarah mencatat, kala sekelompok ilmuwan komputer berlokakarya di Dartmouth College, Amerika Serikat, pada 1956, AI mulai mengubah pola pikir, hidup, dan kerja manusia. Bahkan, para pakar bermimpi bahwa perpaduan antara kemajuan-kemajuan bioteknologi dan rentetan perkembangan AI akan sanggup mengurai masalah-masalah manusia modern.

Temuan-temuan mutakhir lewat AI telah mentransformasi dinamika hidup, kegiatan, dan interaksi sosial. Dunia ilmiah dewasa ini sangat dipengaruhi oleh AI (Bdk Holzinger dkk, 2023).

AI menyumbangkan sebuah sistem baru yang memungkinkan manusia untuk menafsir data eksternal dengan tepat, benar, dan cermat guna mencapai tujuan dan tugas khusus lewat adaptasi yang luwes (Kaplan dan Haenlein, 2019).

Mesin-mesin berbasis AI dirancang sedemikian rupa sehingga sanggupan ”bernalar”, ”bertingkah laku”, dan bahkan menunaikan tugas-tugas seperti manusia.

Robot-robot berkecerdasan ilmiah mulai mengurus dapur, kantor, dunia pendidikan, bioteknologi, kebun, media komunikasi sosial, keamanan, keagamaan, dan bahkan perjalanan. Bayangkan, sekarang ini tugas utama untuk memeriksa struktur tanah, menyemai benih tanaman, memanen, menjaga keamanan, dan menyiar berita pun sudah ditangani robot (China).

Penerapan AI lewat teknologi modern mendongkrak perkembangan hidup manusia dalam bidang teknologi, kimia, fisika, dan ilmu-ilmu modern.

Peran AI dalam hidup manusia kian menonjol. Robot-robot tidak hanya mengambil alih tugas manusia, tetapi mulai ikut menempuh sejumlah langkah konkret terkait dengan dunia perekonomian, gim daring (game online), tindak kriminal, dan kegiatan-kegiatan militer dalam zona pertempuran.

Sebenarnya, perangkat komputer telah menjadi agen artifisial pertama yang menyedot perhatian para ilmuwan sosial kendati gejala ini acap kali belum disadari banyak orang. Dari satu sisi, hidup dan kerja manusia dipermudah, tetapi dari sisi lain AI menimbulkan dilema dalam bidang kemanusiaan dan etika.

Pastor William Chang OFMCap

Tantangan kemanusiaan

Pengaruh sosial kecerdasan buatan tak terhindarkan. Sebuah penelitian mengenai industri pengelasan produk-produk berbasis AI dan skenario masa depan dalam menghadapi perubahan teknologi, ekonomi, pendidikan, sosial, misalnya, Emmanuel Afrane Gyasi dkk (2019) mengingatkan pentingnya kebijakan baru dalam bidang teknologi, ekonomi, dan sosial demi kelangsungan dan perbaikan mutu hidup.

Penelitian-penelitian baru dan arah pengembangan sistem AI akan bermunculan di masa depan.

Dalam kenyataan, pengaruh robotisasi AI mengandung dampak positif dan negatif pada industri pengelasan di Finlandia.

Perubahan-perubahan akibat AI yang memengaruhi produksi industri seharusnya didekati dengan kurikulum pelatihan teknologi, pendidikan yang baru, dan kesadaran sosial untuk mengurangi dampak negatif atau kerugian yang harus ditanggung oleh pihak masyarakat.

Pengaruh sosial penerapan AI ini telah menjadi tantangan bagi kemanusiaan. Sampai pada batas apa robot-robot boleh menggantikan peran manusia dalam hidup sehari-hari?

Pada waktu yang sama, pengaruh sosial penerapan AI ini telah menjadi tantangan bagi kemanusiaan. Sampai pada batas apa robot-robot boleh menggantikan peran manusia dalam hidup sehari-hari? Sejak satu dekade yang lampau (2010), Kaplan dan Haenlein (2019) telah menyerukan supaya para penguasa dunia bersatu padu menghadapi peluang-peluang dan tantangan AI.

Dalam semangat persaudaraan, bagaimanakah dunia sebaiknya menghadapi robot-robot yang tidak selalu berdampak positif, pengaruh Artificial Superintelligence, dan perang dingin teknologi?

Kebijakan dan aturan yang menjunjung kedamaian antara kemanusiaan dan AI menjadi suatu kebutuhan mendesak.

AI Serigala berbulu domba

Apakah AI itu dapat diibaratkan dengan serigala berbulu domba? Menurut Future of Humanity Institute di Universitas Oxford, yang khusus mengidentifikasi risiko-risiko yang dapat mengancam kemanusiaan, mungkin saja AI ibarat serigala berbulu domba.

Sampai sekarang, kecil kemungkinan bahwa risiko-risiko yang umumnya ditakuti manusia, seperti benturan meteor, pandemi, dan perang nuklir, akan memusnahkan manusia.

Jika AI berubah menjadi buruk dan sangat buruk, maka risiko tersebut dapat menjadi kepunahan total dengan 0 persen kelangsungan hidup.

Perkembangan hidup manusia dapat berubah dalam tempo singkat. Pada 1933, misalnya, fisikawan Ernest Rutherford pernah bertutur bahwa energi nuklir adalah omong kosong. Namun, hanya dalam kurun 24 jam, reaksi berantai nuklir ditemukan oleh Leo Szilard.

Sekitar 78 tahun kemudian baru terjadi ledakan reaktor Fukushima di Jepang (2011).

Bagaimanakah kalau AI salah dalam beroperasi sehingga menimbulkan dampak fatal bagi hidup dan keselamatan lingkungan hidup dan semua makhluk ciptaan, termasuk manusia?

Analisis ini menunjukkan adanya dilema utama yang harus dihadapi AI dengan domain-domain utama, di mana kebaikan dan kejahatan sering kali berjalan bersama.

Cepat atau lambat perkembangan AI akan mentransformasi hampir semua aspek hidup manusia dan menimbulkan tantangan kemanusiaan di masa depan.

Kebijaksanaan lokal

Peran dan keterlibatan AI dalam kegiatan sehari-hari tak tersangkalkan. Mereka yang berada di daerah-daerah pinggiran dan terpencil pun sudah merasakan pengaruh AI. Pola, gaya hidup, dan kerja masyarakat terus berubah.

Hanya, sampai sekarang ilmu pengetahuan manusia masih terbatas tentang bagaimanakah masyarakat menimbang perilaku moral AI, secara khusus ketika menghadapi dilema moral yang bisa saja melibatkan konflik moral.

Dalam keadaan dilematis, AI cenderung menjatuhkan pilihan utilitarian daripada yang dikehendaki manusia.

Masalah etis segera muncul ketika robot-robot yang diisi dengan kecerdasan buatan harus berhadapan dengan pilihan-pilihan riil, seperti keselamatan siapa yang didahulukan, kesejahteraan individual atau umum, dan kepentingan bersama.

Dalam keadaan dilematis, AI cenderung menjatuhkan pilihan utilitarian daripada yang dikehendaki manusia.

Etika AI, yang dicetuskan dalam dokumen ”Panggilan Roma untuk Etika AI” (28/2/2020) dalam kerja sama dengan Microsoft, IBM, dan FAO ini, terasa kian mendesak terutama dalam pemetaan teknologi berbasis AI, yang dapat meningkatkan efektivitas personel militer dalam ajang pertempuran.

Apakah semua robot yang digunakan selama perang antara Rusia dan Ukraina sungguh memperhatikan dan menjunjung nilai kemanusiaan?

Ketentuan etika apakah yang harus diikuti oleh setiap personel militer yang menggunakan alat-alat perang berbasis AI di medan perang?

Dalam konteks ini aturan dan rekomendasi etis tentang penggunaan sarana AI sangat penting.

Etika AI yang bermuara kepada etika algoritma pada dasarnya menyoroti rangkaian nilai dan norma moral yang seharusnya ditegakkan dalam pusaran AI. Bagaimanakah seharusnya perancang, trainer, dan pengguna mesin AI berpikir dan bersikap?

Peran manusia dan fungsi sarana berbasis AI harus menjamin dan mendukung kebaikan atau kesejahteraan umum (bonum commune).

Perancang, trainer, dan pengguna AI seharusnya menjunjung (1) kejujuran yang transparan dalam pengadaan dan penerapan AI, (2) kesetaraan harkat dan martabat manusia tanpa pilih kasih, (3) tindakan yang bertanggung jawab; (4) sikap yang tidak berprasangka negatif, dan (5) keamanan dan privasi setiap manusia.

Pakar AI perlu menyadari Indonesia sebagai sebuah negara Pancasila yang majemuk mewarisi kekayaan budaya yang seharusnya membangun persaudaraan, kesatuan, dan persatuan bangsa.

Kekayaan dalam setiap budaya anak bangsa memiliki rentetan nilai perenial sosial yang dapat menjadi perekat kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti saling pengertian, saling menghormati, relasi persaudaraan, komunikasi sosial, kerukunan, gotong royong, kerja sama, dan saling memaafkan.

Pisau bermata ganda

Masukan-masukan ke dalam AI hendaknya mempertimbangkan sejumlah komentar atau pendapat yang dapat memecah belah atau meretakkan kesatuan dan persatuan bangsa. Pergeseran nilai dalam era digital tetap berusaha menghindari pelbagai bentuk pergesekan dan perbenturan sosial dalam masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, jika perancang, peng-input data, trainer mesin-mesin AI, dan pengguna AI tidak menjunjung nilai dan prinsip etis humaniora dalam hidup sehari-hari, maka AI sebagai pisau bermata ganda akan melukai bangsa Indonesia yang kaya akan kebijaksanaan lokal yang menyejukkan hidup bersama sebagai sebuah bangsa.

Bahkan, perjalanan sejarah anak manusia akan berakhir dalam tangan AI yang berada di luar kendali manusia-manusia yang berhati nurani jernih, baik, dan benar. Akankah panorama distopia Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (Manusia Tuhan) menjadi sebuah kenyataan?

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini