YOGYAKARTA, Pena Katolik – Kolese St. Ignatius selama ini dikenal sebagai tempat pendidikan para imam Serikat Yesus (Yesuit). Tahun ini, Kolsani mensyukuri ulang tahun berdirinya ke-100. Rumah Pendidikan yang kini menjadi salah satu cagar budaya di Yogyakarta ini telah menjadi saksi sejarah. Kehadirannya membentang dari sebelum kelahiran Indonesia. Kolsani menjadi saksi perjuangan rakyat Yogyakarta dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Salah satu hari yang akan dikenang adalah 11 Agustus 1945. Saat itu, Jepang masih menjajah Indonesia. Namun, kekalahan Jepang pasca jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki telah mulai terdengar di Indonesia. Setelahnya pemerintah Jepang mulai membebaskan tahanan yang salah satunya berada di Kolsani. Beberapa imam Yesuit terutama yang berkebangsaan Belanda ikut juga dipenjara di Kolsani. Maka, setelah mereka dibebaskan dan Kolsani tidak lagi digunakan sebagai penjara, para imam dan frater Serikat Yesus menduduki lagi Kolsani.
Penjara dan Kementerian Pertahanan
Kolsani dialihfungsikan sebagai penjara pada masa pendudukan Jepang, atau sejak 1942. Beberapa ruangan di rumah pendidikan calon imam ini kemudian dijadikan penjara. Di ruangan yang saat ini sebagai ruang tamu, dulunya digunakan sebagai ruangan administrasi Pemerintahan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang banyak para biarawan, biarawati, dan pastur dimasukkan ke kamp – kamp Interniran.
Praktis, pada masa pendudukan Jepang ini, Kolsani menjadi tempat penampungan orang – orang interniran. Bagian yang merupakan Seminari Tinggi menjadi kantor tentara Jepang. Sementara itu Gereja St. Antonius digunakan sebagai gudang.
“Ini Kolsani masa Jepang di Jadikan Penjara, cewek-cewek itu di tahan di gedung sana, itu cowok-cowok itu ditahan sebelah sana ya,” ujar Romo Bernhard Keiser SJ.
Salah satu yang ikut “merebut” kembali Rumah Yesuit adalah Romo Adrianus Djajasepoetra Sj, yang kemudian hari terpilih menjadi Vikaris Apostolik Djakarta dan Uskup Agung Jakarta (1 Januari 1961). Sejak saat itu, Kolsani kembali menjadi tempat pendidikan bagi para calon imam Serikat Yesus.
Dengan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, semua bangunan yang diduduki Jepang diserahkan kembali kepada pemiliknya. Untuk itu, Kolsani dan Gereja St. Antonius Kotabaru kembali pada fungsinya. Umat yang sebelumnya memanfaatkan rumah joglo di daerah Kumetiran untuk beribadah mulai kembali ke Gereja Kotabaru. Meski begitu, gedung gereja sementara di Kemetiran ini tetap melanjutkan peran dan fungsinya secara permanen dan selanjutnya menjadi gereja dari Paroki Kemetiran.
Setelah Indonesia Merdeka, situasi masih belum stabil. Belanda masih berusaha merebut kekuasaannya di Indonesia. Pada tahun 1946 Ibu Kota Indonesia berpindah ke Yogyakarta setelah Belanda berhasil menduduki Jakarta. Alhasil, seluruh kementerian pun berpindah ke Kota Gudeg ini. Untuk itu, Kolsani sempat digunakan sebagai Kantor Kementrian Pertahanan pada periode 1946-1949.
Pada masa ini, Pemerintahan Indonesia saat itu Kementerian Pertahanan dipimpin Amir Sjarifuddin (12 Maret – 2 Oktober 1946). Pada masa awal kemerdekaan ini, Kolsani berjasa sebagai tempat penyusunan strategi pertahanan sebuah negeri yang baru saja lahir. Pada periode Kabinet Mohamad Hatta ke-1 periode 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949, saat Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI dalam keadaan darurat akibat tekanan tentara Belanda. Saat itu, Hatta merangkap sebagai Menteri Pertahanan ad interim. Namun pada 15 Juli 1949 jabatan Menhan dipegang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Demikian, Kolsani ikut menjadi bagian dalam sejarah masa-masa awal Indonesia. Ia juga berjasa menjadi tempat di mana Indonesia dijalankan.
Mula Pendidikan Yesuit
Kolsani mulai dibangun pada 18 Agustus 1922 dan selesai dibangun pada 18 Februari 1923. Romo J. Hoeberecht SJ memimpin Misa pemberkatan rumah pendidikan ini. Selanjutnya, Kolsani mulai digunakan untuk aktivitas pada 16 Juni 1923. Sebelum di Kolsani, Rumah Pendidikan Serikat Yesus menempati sebuah rumah milik Tuan Perquin, sekarang depan Masjid Syuhada, Kotabaru Yogyakarta.
Pemilihan lokasi rumah pendidikan di pusat Kota Yogyakarta ini memiliki makna tersendiri. Yogyakarta disadari memiliki posisi dekat dengan Muntilan, yang menjadi titik pijak awal misi Serikat Yesus di Jawa, di mana sudah ada Sekolah Guru pada saat itu, yang juga dikelola Serikat Yesus. Yogyakarta juga merupakan pusat kebudayaan Keraton Jawa (Ngayogyakarta Hadiningrat).
Namun, ada faktor lain yang melatarbelakangi pemilihan lokasi ini. Pada waktu itu, warga beragama Kristen berjumlah tidak kurang 25% dari seluruh penduduk Yogakarta. Dari jumlah itu, sebanyak 10% adalah umat Katolik. Ada obtimisme pada tahun 1923 itu di kalangan misionari Serikat Yesus, bahwa perkembangan umat akan semakin banyak.
Maka setelah Kolsani rampung, Kapel Kolsani mulai dibuka untuk umum. Seiring waktu, terlihat jumlah umat bertambah banyak, meskipun angka permandian (pembaptisan) selama masa-masa itu tidak lebih dari 360 orang.
Dengan perkembangan umat yang semakin meningkat, Romo F. Strater SJ memandang perlunya didirikan sebuah gereja. Provinsial Serikat Yesus Indonesia saat itu, Romo J. Hoeberechts, mendapatkan bantuan/ donatur dari Belanda untuk pembangunan gereja, namun dengan syarat bahwa gereja yang akan dibangun itu hendaknya diberi nama Santo Antonius van Padua. Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru selesai dibangun dan diberkati pada hari Minggu, tanggal 26 September 1926, oleh Mgr. A. van Velsen SJ, Uskup Jakarta. Sampai dengan tahun 1933, Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru masih terikat sebagai suatu stasi dari Paroki Kidul Loji. Baru kemudian pada tanggal 1 Januari 1934, Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru menjadi paroki yang berdiri sendiri.
Sumbangan untuk Pendidikan dan Teologi
Hingga kini berusia satu abad, Kolsani telah melahirkan banyak pemikir besar yang pengaruhnya mewearnai seluruh pejalanan bangsa. Nama-nama seperti: Tom Jacobs SJ, G. P. Sindhunata SJ, Magnis Suseno SJ, Bonowiratmo, Cyrilus Harinowo, dan masih banyak nama lain adalah bukti dari keberhasilan Kolsani menjadi tempat belajar. Apa yang dikembangkan di Kolsani, meski utamanya adalah bidang Teologi Katolik, namun dalam kelanjutannya, mereka yang pernah belajar di Kolsani, mampu memberi warna dalam kehidupan Indonesia di beragam bidang.
Salah satu sumbangan Kolsani adalah Teologi Proyek yang dirintis Tom Jacobs SJ. Teologi Proyek adalah satu metode berteologi di mana teologi tidak hanya sebatas dogma, tetapi harus benar-benar “membumi”. Karena itulah, mahasiswa teologi dikirim ke bagian-bagian dari kehidupan masyarakat untuk mengerti bagaimana orang menghayati relasi mereka dengan Allah. Misalnya saja, mahasiswa teologi yang nyaris semuanya suster dan frater, dikirim ke rumah sakit untuk merasakan secara langsung bagaimana orang-orang sakit berjuang membangun memaknai rasa sakitnya sebagai bagian dari perkembangan kehidupan, bagaimana orang sakit membangun harapan. Mahasiswa juga dikirim ke pabrik atau proyek-proyek Pembangunan untuk mengalami bagaimana para buruh bekerja keras demi keluarga.
Berangkat dari Seluruh pengalaman itu mahasiswa kemudian merefleksikannya secara teologis. Hasilnya, teologi teologi benar-benar membumi, tidak ngawur. Refleksi yang dibangun lahir dari pengalaman nyata manusia dalam relasi kesehariannya dengan Allah.
Dengan pengembangan-pengembangan semacam ini, Kolsani berperan besar dalam pengembangan teologi sebagai ilmu yang awalnya asing bagi orang Indonesia. Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo mengungkapkan, para dosen yang tinggal di Kolsani adalah perintis ilmu teologi di Indonesia.
“Para perintis ilmu teologi di Indonesia praktis sumbernya dari Kolsani, seperti Romo Tom Jacobs, Bernhard Kieser, dan banyak lainnya,” kata mantan Kitab Suci di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.
Kardinal Suharyo mengakui, Kolsani memiliki sumber ilmu yang luar. Sumber ini salah satunya karena koleksi perpustakaan Kolsani yang sangat terkenal dengan buku-buku bermutu bahkan langka. Diakui, perpustakaan Ini merupakan andalan untuk ilmu filsafat dan teologi di Indonesia.
Peran Kolsani diakui Kardinal Suharyo juga dalam bidang pelayanan imam, khususnya dalam pelayanan di sekitar Yogyakarta. Pada masa awal kekristenan di Jawa, para imam dari Kolsani melayani hingga ke pelosok, ke daerah Boro bahkan wonosari.
“Waktu itu, paroki-paroki belum seperti saat ini. Imam-imam dan frater harus pergi ke desa-desa, termasuk sampai ke pelosok Sedayu, tempat tinggal saya. Peranan mereka dalam mengajar besar sekali,” ucapnya.
Seperti kata Kardinal Suharyo, Perpustakaan Kolsani memang tidak dianggap enteng. Bisa dibilang, perpustakaan ini menjadi salah satu yang paling penting di Indonesia. Hal ini karena koleksi buku di perpustakaan ini ada yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Perpustakaan Kolsani sudah mulai mengumpulkan koleksinya sebelum selesainya Pembangunan Kolsani tahun 1923. Saat ini setidaknya ada sebanyak 161.890 eksemplar buku yang sebagian telah berusia lebih dari seabad.
Kebebasan “Mendengar” Kehendak Allah
Kebebasan menjadi sebuah “anugerah” lain dari Kolsani. Artinya, setiap frater Serikat Yesus yang tinggal di sini memiliki kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam hal belajar. Ini memungkinkan setiap orang mengembangkan potensinya hingga dapat menemukan nilai-nilai baru dan memperkaya.
Romo G.P. Sindhunata SJ mengakui, yang khas dari Kolsani ini adalah kebebasan. Dengan kebebasan, manusia menemukan dirinya, ia dapat memutuskan mana yang baik untuk dirinya.
“Yang khas dari Kolsani ini adalah kebebasan. Kebebasan itu yang saya kira paling membentuk dan hanya dengan kebebasan, manusia itu bisa menjadi dirinya. Karena dengan demikian, ia bisa memutuskan mana yang baik untuk dirinya,” ujar Romo Sindhu.
Romo Sindhu mengakui, kalau ia tidak tinggal di Kolsani dan mendalami teologi, ia tidak akan menjadi penulis produktif seperti saat ini. Romo Sindhu menikmati suasana tinggal di Kolsani hingga saat ini. Suasana hijau dan rimbun memungkinkannya untuk menggali inspirasi dan menemukan banyak hal yang kemudian ia tuangkan dalam karya tulis.
Suasana rimbun dan hening di Kolsani memang memberi rangsangan untuk membangkitkan inspirasi bagi siapa saja yang tinggal di dalamnya. Romo Sindhu berterima kasih apa adanya kepada Kolsani. Ia mengakui, kalau tidak hidup di Kolsani ini, ia mungkin tidak bisa menulis seperti yang sekarang terjadi. Ada banyak karya tulis yang sudah ia terbitkan yang kini mewarnai Indonesia. Ia telah menulis untuk majalah, untuk koran, untuk karya sastra, dan untuk laporan jurnalistik. Ia mengakui, hidupnya yang hanya untuk menulis dan rumah ini (Kolsani) sangat inspiratif dan cocok untuk menulis.
“Frater-frater atau romo-romo, yang dulu frater dan sekarang sudah romo, kalau melihat saya sedang berjalan, ‘itu pasti sedang mencari inspirasi’. Memang betul, kalau penat begitu suasana rimbun, hijau itu sangat-sangat mendukung untuk memberi inspirasi dan segar,” ujar salah satu penulis sastra terpenting Indonesia ini.
Di Kolsani, ada ritme yang menjadi kesepakatan bersama: rutinitas seperti Misa, makan siang, dan rapat adalah saat di mana setiap anggota komunitas melakukannya bersama. Selain itu, masing-masing mengatur waktu dan hidupnya. Ini menjadi salah satu kekhasan formasi dalam Serikat Yesus. Setiap orang mengolah dirinya dengan kebebasan yang ada. Dengan kebebasan ini, setiap calon imam tinggal menjadikannya sebagai sarana untuk berkembang dalam kehidupan spiritual, atau justru menjadi “godaan” dan “tantangan”.
Provinsial Serikat Yesus Indonesia, Romo Benedictus Hari Juliawan SJ mengutip perkataan St. Thomas Aquinas OP, bahwa “Teologi adalah ratunya ilmu pengetahuan”. Perkataan St. Thomas ini bisa dipahami karena teologi bersumber dari inspirasi dari Allah, sedangkan ilmu lain hanya berlandaskan pada pengalaman manusiawi. Di sini menjadi jelas, teologi ada di atas ilmu lain, meski ilmu lain tidak berarti juga “bawahan” teologi.
Romo Benny menyampaikan, ilmu teologi seharusnya membuat orang mampu menangkap tanda-tanda zaman, merefleksikannya, dan membuat diri tergerak. Karena itulah, di Kolsani, orang tidak sekadar belajar ilmu, tetapi juga terlibat di masyarakat.
“Dengan rahmat yang begitu banyak kita terima selama seratus tahun ini, marilah kita panjatkan puji Syukur,” pungkas Romo Benny.