JAKARTA, Pena Katolik – Orang Katolik memiliki sejarah khusus dalam penyatuan dirinya dengan negara Indonesia. Meski dicap sebagai agama asing, pelan namun pasti, umat Katolik mengintegrasikan dirinya secara penuh ke Republik Indonesia. Satu tokoh kunci yang memudahkan proses itu adalah Romo Josepus van Lith SJ.
Romo Van Lith menularkan wawasan kebangsaan Indonesia bahkan sebelum kelahiran republik ini. Hal ini tercermin dari pandangan murid-muridnya seperti I. J. Kasimo dan Mgr. A. Soegijapranoto SJ; dan secara tidak langsung, atau murid rohaninya, yaitu Romo N. Driyarkara SJ.
Arti penting umat Katolik dalam sejarah bangsa ini disampaikan Dosen Filsafat di STF Driyarkara, Romo A. Setyo Wibowo SJ saat berbicara dalam Pendidikan Kader Kebangsaan Angkatan 1 Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA) di Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, Minggu 30 juli 2023. Agama bagi Mgr. Soegijapranoto menyentuh jiwa manusia, sehingga urusannya adalah soal hal-hal yang pribadi (moral kejujuran, kesetiaan, sikap adil, kasih, hormat pada sesama, setia pada atasan dan jabatan) dan bersifat kekal (soal surga).
Selanjutnya tugas Negara berkaitan dengan hal yang sifatnya fisik (merawat persatuan, mengerjakan tugas mensejahterakan rakyat lewat kebijakan-kebijakannya), bersifat sementara dan berubah-ubah (seperti galibnya kekuasaan politik yang berubah-ubah). Untuk itu, tugas pokok Negara adalah menciptakan suasana eksternal agar orang-orang beragama bisa menjalankan sikap religiusnya dengan baik dan tepat. Sedangkan bagaimana Agama mesti dijalankan, itu adalah tugas masing-masing agama.
Romo Setyo ini mengharapkan perlu adanya sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dalam kemajemukan di masyarakat. Perbedaan ini menjadi keunikan yang perlu dipelihara, dipertahankan keseimbangannya dalam hidup bernegara dan berbangsa.
Sementara itu, Guru Besar STF Driyarkara, Romo Franz Magnis Suseno SJ menilai Indonesia kerap mengalami krisis toleransi dalam beberapa tahun terakhir. Situasi ini mengherankan karena hidup dan beraktivitas dalam lingkungan majemuk dengan sejuta keberagaman bukan hal baru di Tanah Air.
Romo Magnis ini mengatakan, tantangan hari ini dan masa depan Indonesia adalah radikalisme dan polarisasi yang masif di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai nilai, cita-cita, dan etika harus menjadi pedoman dalam berbagai aktivitas.
“Karena Pancasila tidak sekadar dilafalkan tetapi harus diperjuangkan,” kata Romo Magnis.
Di sisi lain, agar masyarakat yakin bahwa Indonesia bukan milik mereka yang di atas (politisi). Ia melanjutkan, negara harus menunjukkan bahwa segenap manusia dari Sabang sampai Merauke dapat hidup secara terhormat, sejahtera, adil, bebas dari kemiskinan dan kelaparan.
“Pancasila mengajarkan kita untuk hormat terhadap kebebasan beragama dengan harapan kita harus menolak ideologi-ideologi yang menyangkal nilai bangsa, harus kebal terhadap hasutan-hasutan populistik,” kata Romo Magnis.
Pendidikan Kader Kebangsaan ini menghadirkan pemateri lain yakni Presidium Dialog Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan PP ISKA M. M. Restu Hapsari; dan Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi, Moh. Aan Anshori. Ketua Presidium PP ISKA, Luky A Yusgiantoro menjelaskan, agenda tersebut dilaksanakan guna merawat dan menjaga nilai-nilai keberagaman agama dan kepercayaan, suku, ras, adat istiadat dan golongan.
“Kami berharap agar para peserta mampu berjejaring lintas agama dan kepercayaan tanpa membedakan suku, ras, adat istiadat dan golongan dari komunitas terdekat masing-masing peserta seperti sekolah, universitas, RT, RW, dan sekitarnya,” kata Luky.