VATIKAN, Pena Katolik – Paus Fransiskus merayakan peringatan 10 tahun pemilihannya pada hari Senin 13 maret 2023. Saat wawancara dengan Argentina Infobae, pada peringatan 10 tahun kepausannya, Paus salah satunya menyinggung keinginannya “mudik” ke Argentina.
Paus Fransiskus sebenarnya direncanakan untuk mengunjungi negara asalnya Desember 2017. Hal ini ia katakana saat dalam penerbangan kembali dari Irak.
“Pertama-tama saya akan pergi ke Cile, lalu ke Argentina dan Uruguay. Itulah jadwalnya. Tapi apa yang terjadi? Saat itu ada pemilu, jadi saya harus ke Chile di bulan Desember lalu pergi ke Argentina dan Uruguay di bulan Januari tahun setelahnya. Kemudian, program berubah rencanan ke Argentina dan Uruguay akan direncanakan lagi kemudian,” ujar Paus Fransiskus.
Dengan ini tercatat bahwa Paus Fransiskus belum pernah lagi kembali ke Argentina sejak 10 tahun lalu. Tepatnya sejak ia berangkat untuk mengikuti konklave yang dimulai pada 12 Maret 2023 yang kemudian memilih Jose Mario Bergoglio sebagai Paus. Sejak itu, Paus Fransiskus tak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah kelahirannya.
“Tidak ada penolakan untuk pergi. Perjalanan itu direncanakan. Saya terbuka untuk kesempatan itu. Tentu, saya ingin pergi ke Argentina,” Ujarnya
Harapan untuk Venezuela dan Nikaragua
Wawancara ini dilakukan di momen 10 tahun kepausan Fransiskus. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke Venezuela. Ia menyatakan harapannya agar rezim tersebut dapat diubah.
“Saya kira begitu, karena keadaan sejarahlah yang akan memaksa mereka mengubah cara berdialog. Saya tidak pernah menutup pintu untuk kemungkinan solusi. Sebaliknya, saya mendorong mereka.”
Sementara itu, Paus lebih berhati-hati tentang solusi untuk perang di Ukraina. Dia mengatakan mereka semua bekerja untuk itu, sebelum menyebutkan bahwa ada beberapa kepala negara yang melakukan mobilisasi.
Terkait Nikaragua, Paus mengomentari kesulitan yang dialami umat dan Gereja di sana, di mana Nunsius pun telah diusir dan prosesi Pekan Suci telah dilarang. Hal ini sejalan dengan serangan terus-menerus terhadap para uskup dan imam di Nikaragua.
Dia mencela kurangnya keseimbangan dari mereka yang memimpin negara. Ia prihatin dengan apa yang menimpa Uskup Matagalpa, Mgr. Rolando Álvarez, yang dijatuhi hukuman 26 tahun penjara.
“Kami memiliki seorang uskup yang telah dipenjara. Dia sangat serius. dan orang yang cakap. Dia ingin memberikan kesaksiannya dan sehingga menolak pengasingan. Ini adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang kita alami, ini seperti membawa kediktatoran komunis tahun 1917 atau kediktatoran Hitler tahun 1935. Mereka adalah semacam kediktatoran kasar. Atau, untuk menggunakan definisi Argentina yang bagus, guarangas (kasar)”.