JAKARTA, Pena katolik – Tahun 1988, Susi Susanti masih berusia 17 tahun. Saat itu, meski usianya masih junior, namun ia mulai diturunkan di level senior. Saat bermain di Perancis Open, susi menjadi satu-satunya wakil Indonesia yang masih tersisa di babak delapan besar. Wakil Indonesia yang lain, baik dari sektor ganda dan tunggal, semua sudah berguguran.
Pada babak delapan besar itu, Susi sudah berhasil menangdi set pertama. Pada set kedua, ia pun sudah unggul. Di tengah optimisme akan memenangi laga, terdengar seruan dari beberapa rekannya dari bangku penonton.
“Susi besok kita ke Lourdes. Kalau kamu menang, besok kamu ditinggal sendiri,” begitu rekan-rekannya berseru.
Meski sayup, Susi tetap mendengar seruan rekan-rekannya itu. Bagi banyak orang di arena, mereka mungkin tak mengerti arti seruan itu. Namun bagi Susi, kata-kata itu memiliki makna pribadi.
Mereka yang berseru “Lourdes” itu, adalah beberapa atlet Indonesia beragama Katolik. Mereka sudah berencana akan pergi ke Gua Maria Lourdes keesokan harinya. Perancis Open saat itu diadakan di Tolouse yang berjarak dua jam saja dari Lourdes.
Susi yang saat itu bertanding pun lalu berpikir. Kalau ia menang saat itu, maka ia tidak akan bisa bersama teman-temannya yang lain berziarah ke Lourdes, karena ia harus bertanding di babak semifinal. Alhasil, di sisa pertandingan itu, Susi sengaja kalah. Pada saat poin terakhir kekalahan itu, bukan kesedihan, namun gelak tawa dari teman-teman yang ia lihat.
“Dengan sengaja saya mengalahkan diri. Saya mau ke Lourdes aja (dari pada bertanding di semifinal-red),” ujar Susi mengenang kisah di masa-masa awal ia menjadi atlet.
Dua Hosti
Susi pun akhirnya pergi ke Lourdes. Baginya yang beragama Katolik, Lourdes adalah tempat yang sakral. Ia memilih bisa pergi ke Lourdes, dari pada menang dan bertanding di semifinal.
“Saat itu, saya bukanya kalah, tapi sengaja kalau agar bisa pergi ke Lourdes,” kenang Susi.
Kepuutusan untuk lebih memilih Lourdes nyatanya tepat. Ada pengalaman rohani sangat mendalam yang dialami Susi saat itu. Pada sebuah Perayaan Ekaristi yang ia ikuti, ia menerima Hosti dari dua imam yang berbeda. Pengalaman itu begitu membekas, dan dalam refleksinya, Susi merasa bahwa ia mendapat begitu banyak berkat.
Boleh jadi tidak sepenuhnya karena bakat yang ia miliki. Susi menyadari, bahwa kehidupan rohaninya begitu mempengaruhi perjalanan kariernya sebagai atlet bulutangkis. Sejak kunjungan ke Lourdes itu, prestasi Susi langsung “melesat”.
Setahun setelah peristiwa itu, Susi berlaga di Final Piala Sudirman melawan Korea Selatan. Susi berlaga di nomor ketiga. Di kejuaraan beregu itu, dua wakil Indonesia sudah “gugur” di laga pertama dan kedua. Susi menjadi penentu, kalau ia kalah saat itu, maka Indonesia gagal merebut Piala Sudirman.
Di set pertama, Susi sudah kalah. Pada set kedua, ia pun sudah tertinggal. Rasanya, ia tak mungkin mempersembahkan kemenangan bagi Indonesia. Orang-orang sudah mulai pulang dari ruangan Istora Senayan, Jakarta.
Namun, semangat Susi bangkit. Ia raih satu persatu poin. Situasi yang tadinya menempatkan Susi di jurang kekalahan, di akhir set kedua, Susi berhasil membalikkan keadaan dan menang. Di set ketiga, Susi semakin “kesetanan”. Ia bermain seperti tidak mengenal arti kalah. Ia memenangi laga set ketiga itu dengan poin 12-0.
Berkat kemenangan itu, Indonesia meraih satu poin. Semangat yang disulut Susi, rasanya mempengaruhi wakil Indonesia selanjutnya. Alhasil, dua wakil Indonesia selanjutnya berhasil menang dan menjadikan Piala Sudirman berhasil direbut. (Antonius E. Sugiyanto)