Pena Katolik – Tepuk tangan meriah kemarin, Kamis, 5 Januari 2023 di Lapangan Santo Petrus Vaitkan, ketika ke-12 Gentiluomini yang saban hari mendampingi aktivitas publik Paus Fransiskus di Vatikan mengangkat peti jenazah Paus Emeritus dan membawanya ke dalam Basilika Santo Petrus, dan selanjutnya ke dalam Katakombe, tempat beliau disemayamkan. Sebagian dari Gentiluomini juga dulu melayani Paus Emeritus Benediktus XVI.
Mendengar dan melihat itu, banyak orang kaget dan bertanya-tanya, mengapa di dalam perayaan kedukaan besar seperti itu, orang bertepuk tangan? Biasanya aksi tepuk tangan diasosiasikan dengan sebuah kesempatan biasa, atau bahkan ramai dan jauh dari suasana duka. Apalagi tepuk tangan dinilai sebagai sebuah aksi kebahagiaan. Oleh karena itu, banyak orang melihatnya sebagai sebuah yang tidak etis, tidak masuk akal, bahkan sebuah skandal.
Tepuk tangan di kenal di berbagai kalangan budaya sebagai sebuah gestikulasi manusia yang mewakili bahasa oral manusia. Entah sejak kapan gestikulasi tepuk tangan lahir di dalam kehidupan manusia, kita tidak tahu. Bisa dibayangkan, dulu kala, ketika bahasa-bahasa belum terbentuk, tepuk tangan merupakan sebuah bahasa yang kerap digunakan, kadang dengan arti yang berbeda dari sekarang. Tepuk tangan dinilai memiliki kekuatan psikologis besar yang bisa membahasakan kedalaman perayaan manusia. Oleh karena itu, gestikulasi ini sanat kerap digunakan di dalam kehidupan sehari-sehari, karena manusia selalu berbicara setiap hari.
Apa itu tepuk tangan sebenarnya? Kebanyakan bahasa besar dunia dari rumpun Indo-Eropa mengadopis kata bahasa Latin „applausus“. Bahasa Jerman menggunakan kata Applaus. Bahasa Inggris menggunakan kata „applause“. Bahasa Italia mamakai kata „applauso“. Bahasa Spanyol „aplausos“. Bahasa Portugis „aplausos“. Bahasa Belanda „applaus“. Bahasa „applaudissement“, dan seterusnya. Kata „applausus“ dari bahasa Latin itu berarti „setuju“, „sepakat“, „pengakuan“, „persetujuan“. Bahasa-bahasa lain yang mengadopsi kata bahasa Latin ini juga umumnya setia pada makna asli di atas. Umumnya tepuk tangan adalah sebuah aksi setuju, sepakat, dukungan, pengkuan. Jadi artinya luas dan bervariasi. Bahasa Jerman malah meletakan „Applaus“ dalam pemahaman yang lebih luas, yakni „aklamasi, selamat, penghormatan, eulogi atau pujian.
Lalu apa relevansinya dengan tepuk tangan di Lapangan Santo Petrus Vatikan kemarin mengiringi kepergian Paus Emeritus Benediktus XVI? Ini bukan hal baru. Delapanbelas tahun lalu pada waktu Misa Requiem pemakaman Paus Johannes Paulus II juga sudah terjadi hal yang sama. Jumlah umat waktu itu jutaan. Tepuk tangan mereka lebih meriah lagi, apalagi disertai dengan teriakan-teriakan yel „Giovani Paolo“ atau Johannes Paulus. Rasanya aneh tetapi butuh sedikit upaya berpikir dan menghubungan makna asli kata „applausus“ yang diadopsi ke dalam berbagai bahasa ini untuk bisa memahaminya.
Mereka yang bertepuk tangan ingin mengungkapkan ucapan selamat jalan kepada Paus Emeritus Benediktus XVI yang mereka cintai dan mereka kagumi, atau mengirim kata-kata syukur dan pujian dalam bahasa getikulatip, pengakuan dalam suasana respek akan kebesaran dan kedalaman diri beliau. Secara singkat, tepuk tangan adalah sebuah „laudatio“ yang tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah ungkapan terima kasih, pujian dan pengakuan yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan bahasa lain. Keterbatasan bahasa mereka menghantar mereka kepada aksi unik ini.
Lingkaran budaya tertentu mungkin melihatnya aneh dan tidak pada tempatnya, kurang lebih seperti orang Afrika menari-nari sekeliling mayat, tetapi manusia memiliki banyak kemungkinan untuk mengungkapkan perasaan. Tepuk tangan bukan saja di Parlemen, acara ulang tahun, pesta nikah, pemilihan pemimpin baru, dll. Dia juga punya tempat dalam acara duka. Jarang, tetapi ada. Asal diketahui konteks dan maknanya.
Padre Marco SVD dari Vatikan