Pena Katolik- Banyak polemik dan lika-liku hidup yang kadang menggelapkan mata. Ada banyak pula keterangan yang salah dibenak orang tentang kontemplasi. Pertama-tama kontemplasi bukanlah latihan relaksasi, tetapi itu hanyalah buah sampingan. Kontemplasi terutama merupakan hubungan, oleh sebab itu juga merupakan intensionalitas. Thomas Keating menuliskan kontemplasi bukanlah sebuah teknik, melainkan doa. Ia menjelaskan ketika manusia mengatakan “Marilah kita berdoa,” maksudnya ialah mau mengatakan, “Marilah kita memasuki hubungan dengan Allah,” atau “Marilah kita memperdalam hubungan kita,” atau “Marilah kita melakukan hubungan dengan Allah.”
Konisistensi hidup rohani yang layaknya menjadi kebiasaan untuk membawa setiap orang melampaui kedangkalan akal hanya bisa dicapai saat manusia sadar akan dirinya yang ‘rapuh’-(tanpa orang lain, manusia tidak akan bisa hidup sendiri) kemudian mereka yang mampu mengubah paradigma rasional menjadi irasional dan sebaliknya.
Contoh sederhana, saat kita difitnah, mungkin bagi kita irasional namun karena kita sadar bahwa ia tidak mengerti dengan tuduhan itu apalagi ‘demi kedamaian’, tidak apa-apalah sesekali ‘meng-irasionalkan’ pikiran demi dia. “Pelan-pelan kebenaran akan terungkap, kok,” begitulah kira-kira pepatah yang bicara tentang kebenaran.
Kembali lagi jika mau ditinjau lebih dalam maka semakin jelas tindakan manusia atas kehendaknya untuk berdoa dan berkontemplasi secara sadar adalah ungkapan penyerahan diri sepenuhnya dalam cara-cara yang tak semua orang pahami. Bahasa lain dikatakan; “Allah mengizinkan gejala prapsikologis terjadi atau tidak terjadi tergantung kehendak Allah.”
Pada abad ke-14, Vincent Ferrer adalah salah satu pembuat mukjizat terbesar di zamannya. Ia mengatakan; bahwa akhir zaman sudah dekat.
Dalam suatu kesempatan, seorang laki-laki yang sedang diusung ke pemakaman dibawa kepadanya. Seperti biasanya Vincent mengajarkan pesan akhir zamannya. Maka ia menggunakan kesempatan itu untuk mengingatkan para pendengarnya bahwa dunia akan segera berakhir, dan membuktikan peringatannya dengan cara ia akan membangkitkan laki-laki itu dari kematian. Secara ajaib, laki-laki itu bangkit dan berdiri.
Dari cerita mukjizat diatas pembaca-pun dapat penyimpulkan bahwa menjadi pendoa secara konsisten dan berserah dengan Allah; kejadian yang irasional-pun menjadi rasional; jika dibahasakan menjadi bahasa Teologi maka apapun bisa dilakukan oleh Allah dengan perantaraan-Nya.
Sebagai orang beriman, kita tidak lagi diajak melainkan menjadi pelaku untuk mewartakan ajaran ‘damai’ yaitu mengedepankan tindakan kemanusiaan tanpa dibumbui kepalsuan. Spritualitas dari keyakinan itu hendaknya menjadi roll-model dalam menghadapi situasi yang tak pasti, . Spritualitas menurut pandangan antropologis mengatakan bahwa hal itu seperti “personalitas”, demikian juga “spritualitas” satu kualitas pribadi yang memampukan orang untuk keluar dari dirinya sendiri dan berelasi dengan yang lain lewat pengetahuan dan cinta kasih. Namun secara khusus istilah spritualitas dipakai untuk suatu yang khas dan unik yang secara rasional berkembang yakni relasi manusia dengan diri sendiri maupun dengan dunia dan Allah. Dengan sendirinya manusia akan mengalami secara personalnya bahwa relasi privat dengan “Yang Maha Besar” itu dengan tegas mengingatkan bahwa kekuatan keyakinan melampaui akal dan menguatkan mental.
Mengutip Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma 12:2-3 berbunyi: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” “Doa melampaui kedangkalan akal”. (Samuel/Pena Katolik)