Senin, November 18, 2024
26.1 C
Jakarta

Delusi Smartphone

PERNAHKAH anda ditabok? Maksud saya kena ‘tempeleng’ alias gampar oleh orang yang lebih tua, atau sebaya anda? Jika pernah, selamat bahwa kita senasib. Maksud saya, kita pernah mengalami pengalaman yang serupa.

Tapi pernahkah kita sadar setiap hari bahwa otak, mata, dan perilaku manusia saat ini “ditabok” oleh hal-hal yang sebenarnya bagian dari apa yang kita butuhkan? Maksud saya adalah gamparan karena efek dan pengaruh dari media sosial yang semakin mempengaruhi perilaku manusia.

Saya mengambil sebuah contoh nyata dari seorang anak (kita anggap saja anak dari SD hingga SMA) terutama di tahun 2022 ini. Masih hangat dalam ingatan, bagi mereka kelahiran tahun 1990 hingga awal 2000-an, pastinya tidak asing dengan permainan-permainan seperti “petak umpet”, lempar kayu, bola gasti, pistol-pistolan dari bambu dan masih banyak lagi mainan populer yang mengasah kepemimpinan, kreativitas dan kecerdasan sosial.

Syukurnya dahulu, “termasuk saya” masih boleh merasakan asiknya permainan-permainan seperti itu. Kemudian bandingkan dengan saat ini, (terlebih di 2022) ini, anak-anak lebih memilih menghabiskan waktu bersama Smartphone dengan sajian permainan-permainan digital ketimbang bermain dengan panas, hujan, kering dan basah di lapangan.

Memang dilain sisi, kemajuan digital ini memudahkan mereka untuk belajar dan cepat berkomunikasi dengan orang-orang yang ‘nun’ jauh disana. Disisi lain patut menjadi keprihatinan bersama bahwa tanpa sadar fenomena itu adalah delusi yang harus mereka alami setiap harinya. Sebab itu, kebiasaan seperti ini berpotensi mematikan fungsi kreatifitas kerja otak rasional manusia.

Delusi dan Halusinasi? 

Delusi adalah jenis gangguan mental di mana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga ia meyakini dan bersikap sesuai dengan hal yang ia pikirkan. Sedangkan halusinasi merupakan gejala yang ditandai dengan adanya sensasi yang diproses oleh otak dan dapat mempengaruhi kerja indra seseorang.

Berdasarkan pengertian tersebut, baik delusi dan halusinasi adalah kondisi dimana seseorang mengalami hal yang tidak nyata. Delusi adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang meyakini sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi sedangkan halusinasi merupakan gejala saat indra seseorang mengalami hal yang tidak nyata.

Disini mulai jelas bahwa gamparan tidak hanya diartikan dan dimaksudkan karena tindakan fisik semata, tetapi gamparan yang lebih keras yakni gamparan yang menyerang mental. Pepatah tua Tiongkok ada mengatakan, “sakit secara fisik masa sembuhnya dapat diukur dan diprediksi, tapi kalau sakit mental sulit diobati sebab mental bertalian erat dengan kesadaran”. 

Kena mental

Pengaruh smartphone seolah tidak menjadi sebuah masalah yang serius, karena itu banyak alasan membela diri dengan argumentasi dangkal seperti kalimat berikut ini. Ada juga yang mengatakan demikian, “Sekarang adalah zamannya teknologi, perkembangan teknologi ini justru mempermudah komunikasi manusia dan mempercepat arus informasi dari satu orang ke orang yang lain. Untuk itu pandai-pandailah menggunakan smartphone,” kata orang yang lebih sedikit berumur dari orang yang diwawancarai sebelumnya.

Sekilas argumentasi itu tampaknya masuk akal, tapi coba lihat kenyataannya. Contoh dua orang yang saya wawancarai adalah remaja dan orang dewasa dan mereka adalah orang yang paling sering menghabiskan waktu dengan smartphone-nya.

Akibat kebanyakan informasi yang dicerna, berdampak pula pada perilaku emosi yang berlebihan, bahkan mereka sering mengeluh karena kepala mumet. Ada juga teropsesi dengan tokoh-tokoh fiksi yang baru mereka tonton. Kemudian tidak sedikit pula yang mengikuti trend pakaian dari Korea, gaya jalan, bahkan berperilaku ‘seolah-olah’ mereka adalah orang Korea (akibat K-Pop dan drakor).

Itulah yang penulis sebutkan dengan istilah kena mental. Dalam konteks ini, banyak diantara orang yang pandai bersilat lidah untuk membela diri, tapi ternyata tak seindah apa yang dikatakan. ‘Niatnya mau berargumen dengan logika, tetapi argumentasi logika seketika dapat dibantahkan dengan argumentasi fakta’. 

Delusi Smartphone

Setiap manusia umumnya memiliki potensi mengalami gejala delusi. Delusi adalah salah satu dari bagian penyakit mental yang dapat mempengaruhi kondisi pada seseorang. Diantaranya ada sisi genetik, biologis dan lingkungan psikologis.

Dalam diri manusia sendiri sudah nampak dari sisi genetik. Istilah kedokteran, sama halnya dengan skizofrenia, gangguan delusi lebih mungkin terjadi pada manusia, contohnya jika ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama. Hal ini sangat mungkin diturunkan dari orangtua ke anaknya.

Ditinjau pula dari sisi biologis, bahwa gangguan delusi kemungkinan terbentuk jika bagian otak untuk proses berpikir (lobus frontal) dan persepsi (lobus parietal) mengalami gangguan seperti pertumbuhan tumor otak.

Bebaskan Diri

Kecemasan, informasi dan kecenderungan pada penggunaan smartphone yang berlebihan bisa berpotensi membuat manusia stres. Karena itu, penting untuk mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri ketika sedang cemas.

Paling tidak, saya menemukan beberapa cara sederhana untuk melatih diri lebih rileks dan tenang untuk menghadapi rutinitas. Hal pertama yaitu memiliki sikap refleksi diri. Kemampuan seseorang menyadari diri secara penuh bahwa mereka membutuhkan alam, manusia dan lingkungan sosial untuk hidup.

Masuklah didalamnya ada sifat Self Compassion, merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari emosi yang ada dalam diri sendiri. Emosi ini bisa muncul ketika dihadapkan pada kegagalan.

Selanjutnya adalah melatih komunikasi antar sesama. Dengan seringnya diskusi akan memungkinkan manusia berkembang secara sosial, emosional, pengetahuan dan mengasah kecerdasan interpersonal. (Samuel– Pena Katolik)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini