Minggu, November 17, 2024
26.9 C
Jakarta

Meminjam Kata Santo Fransiskus: Jadikanlah Kita Pembawa Damai

Pena Katolik- Dalam kasus yang terjadi baru-baru ini, tidak terlepas dari isu tentang pengaruh radikalisme yang dikumandangkan layaknya sebuah asupan bagi publik. Kemudian terjadilah bermacam-macam respon dari publik. Celakanya anak-anak yang belum tahu membedakan antara ‘kejahatan paham radikalisme’ dengan ‘senjata debat logika’ yang dipakai oleh kaum-kaum tertentu kemudian yang ditafsir salah oleh kaum muda.

Contoh dari kasus tersebut adalah kasus Bang Ade Armando. Ade Armando yang akarab disapa Bang Ade, memang acap kali bersuara lantang bahkan keras dalam memerangi paham radikalisme di Indonesia. Terlebih paham ini berkembang dalam era Presiden Jokowi. Bisa dilihat pikiran-pikiran ‘kristis’ Bang Ade dalam channel Youtube Cokro TV.  Perperangan logika yang ia utarakan di Youtube ternyata dan memang sejak dari dulu tidak disenangi oleh lawan politiknya kita sebut saja dalam hal ini kaum-kaum ‘radikalisme’.

Belum lama ini kita dihebohkan dengan terjadinya pembantaian yang dialami oleh Bang Ade soal pengeroyokan yang dialami Ade Armando saat aksi demo di gedung DPR RI, Senin (11/4/2022). Memang faktanya Bang Ade di lokasi pendemo saat itu bertujuan untuk mendukung gerakan pendemo yaitu mahasiswa dalam mengaspirasikan penolakan penundaan pemilu.

Berbagai spekulasi muncul, misalnya Rocky Gerung yang menyatakan bahwa pembantaian yang dilakukan itu bukan sekedar fisik secara biologis semata. Menurut Rocky Gerung, pembantain yang terjadi di sini adalah pembantaian dalam konteks sosial lebih tepatnya pembantaian yang terjadi pada Bang Ade Armando adalah pembantaian pada tubuh politiknya artinya dibalik tubuh biologis ada tubuh politiknya.  Sejauh ini, statmen Rocky Gerung bisa kita tafsirkan demikian.

Faktanya Dosen Universitas Indonesia itu dianiaya dengan paham (yang kita katakan kelompok radikalisme itu) dengan motif dan tujuan yang jelas yakni sentimen atas pernyataan Ade Armando tentang isu agama yang sering disinggung oleh Bang Ade Armando di channel Cokro TV.

Pengakuan-pengakuan tersangka saat ditanggap oleh kepolisian, tidak lain adalah motif sakit hati dengan pernyataan dari Bang Ade. Sekarang pertanyaannya ada apa yang sedang terjadi di Indoensia? Mengapa begitu banyak bermunculan krisis-krisis paham semacam ini? 

Apakah kita krisis moral?

Pengertian tentang krisis moral akan lebih mudah dipahami apabila terlebih dahulu diberikan pemaparan singkat tentang moralitas atau sistem moral. Setidaknya moralitas dijelaskan sebagai suatu sistem terdiri dari seperangkat nilai, keyakinan dan norma yang dimiliki suatu masyarakat secara kolektif ang membatasi pikiran dan tindakan setiap individu yang mejadi warganya. Moralitas atau sistem moral itu harus memiliki otoritas – artinya setiap orang merasa harus mengindahkannya, dan mereka mau diikat oleh aturan-aturan itu.

Selain itu, aturan-aturan moral merupakan produk dari deliberasi yang berlangsung dalam kelompok, yang begitu menjadi kesepakatan akan mengikat orang-orang ke dalam kelompok bersangkutan dan membuat mereka sebagai bagian dari jaringan hubungan atau network of relations yang berada di atas eksistensi individunya masing-masing.

Moralitas memberi semangat disiplin kepada setiap anggota guna melakukan penegndalian dan pengikatan diri kepada kelompok. Jacques Ellul (1969) menggolongkan moralitas ke dalam tiga kategori, yakni: moralitas hidup (lived Morality), kebiasaan moral (moral custom), dan moralitas teoritis (theoritical morality). Moralitas hidup adalah seperangkat sikap-sikap moral yang efektif dalam suatu masyarakat pada masa tertentu. Sikap-sikap moral ini tidak sepenuhnya konsisten sepanjang waktu, dan sebagian besar juga tidak diciptakan secara sadar.

Moralitas hidup lebih merupakan pencerminan keadaan saat ini tentang apa yang dianggap penting dan baik untuk keberlangsungan hidup masyarakat dan tentang citra yang ideal dari masyarakat mengenai dirinya sendiri. Kebiasaan moral adalah moralitas hidup pada masa lalu yang masih diteruskan hingga waktu ini. Moralitas semacam ini hanya bisa tetap bertahan sejauh tidak bertentangan dengan moralitas hidup yang berlaku pada saat ini.

Sementara itu, moralitas teoritis adalah seperangkat etika normatif dari para filosof atau rohaniwan yang seringkali diwujudkan dalam bentuk sistem filsafat. Untuk dapat mengatakan suatu sikap atau tindakan sesuai dengan moral atau tidak, perlu pemahaman akan adanya tatanan yang wajar tentang segala sesuatu (naural order of things), dan pemahaman bahwa semua fenomena yang ada di jagad raya ini diikat oleh tata aturan yang diperlukan ,yang disebut hukum (Durkheim, 1965).

Masalah moral yang terpenting menurut Durkheim adalah keperluan akan adanya keseimbangan yang dapat diterima antara kebutuhan dan kehendak individu dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat keseluruhan dan bagaimana keseimbangan ini bisa dicapai (dalam Marske, 1996).

Bila kebutuhan dan kehendak masyarakat keseluruhan yang merupakan kesadaran kolektif terlalu kuasa, penyimpangan yang betapapun kecilnya diharamkan, kebebasan, inisiatif dan kreativitas individu menjadi terpasung. Akibatnya, bahkan perubahan sosial yang sebenarnya diperlukan juga tak dapat berlangsung. Dalam suasana semacam itu, masyarakat yang diwakili keyakinan, nilai dan norma bersama atau kolektif, mendominasi kesadaran individu dengan otoritas yang begitu mutlak, sehingga perubahan moral tidak mungkin terjadi (Durkheim, dalam Lukes, 1972: 191-225).

Durkheim (dalam Turner et al, 1985) mengukur tingkat moralitas yang ada pada setiap kelompok masyarakat dengan menggunakan empat variabel: (1) volume, (2) intensitas, (3) kejelasan atau determinatenessi dan (4) muatan. Volume menunjukkan sejauh mana nilai-nilai, norma-norma dan keyakinan-keyakinan yeng merupakan bagian dari moralitas dimiliki secara bersama oleh setiap anggota suatu masyarakat. Intensitas menunjukkan sejauh mana moralitas atau kesadaran kolektif itu memiliki kekuatan untuk mengarahkan pikiran, sikap dan tindakan seseorang atau kelompok.

Determinateness menunjukkan tingkat kejelasan setiap komponen yang merupakan bagian moralitas. Muatan berkaitan dengan perbandingan jumlah antara simbol-simbol yang bersumber pada religi atau agama dan pemikiran sekuler yang menjai bagian dari moralitas.

Bila sistem moral tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya, artinya bila keseimbangan antara kebutuhan dan kehendak individu dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat keseluruhan bisa tetap terjaga, maka suatu kelompok masyarakat tidak akan mengalami permasalahan moral.

Krisis moral baru mulai timbul apabila (1) berbagai unsur moralitas mulai mengalami erosi, (2) sebagian penting anggota masyarakat tidak lagi merasa terikat dengan aturan-aturan moral yang telah menjadi kesepakatan bersama, (3) moralitas mengalami pelemahan sehingga tidak lagi memiliki otoritas atau kekuasaa untuk tidak mengendalikan sikap dan perilaku anggota masyarakat, (4) tidak terjadi lagi kemarahan moral atau moral outrage dari sebagian besar anggota masyarakat terhadap seseorang yang melanggar aturan moral (Durkheim, dalam Lukes, 1972).

Bagaimana sikap kita sebagai orang muda Katolik?

Pilihan yang paling logis untuk menyingkapi berbagai isue politik sebagai orang muda Katolik adalah berpedoman pada ajaran magisterium gereja. Paling sederhana yaitu mendengarkan apa kata Paus, Uskup dan Imam tentang moral hidup dalam setiap homili.

Hal ini dimungkinkan untuk diikuti, sebab doktrin dari Ajaran Gereja Katolik sendiri banyak mengajarkan untuk bersikap damai.

Kalau kita meminjam bahasa Santo Fransiskus Assisi, Bila terjadi kebencian, semoga kita dapat menjadi pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan di Negeri tercinta kita Indonesia, semoga kita menjadi pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan antara umat beragama, semoga kita menjadi pembawa kerukunan.

Bila terjadi kebimbangan dalam hidup, semoga kita menjadi pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan di tengah masyarakat, semoga kita menjadi pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, semoga kita menjadi pembawa harapan.

Bila terjadi kesedihan, semoga kita menjadi sumber kegembiraan dan bahkan bila terjadi kegelapan, semoga kita menjadi pembawa terang.

Ajaran Santo Fransiskus Assisi ini, saya pikir masih sangat relevan dengan krisis moral yang terjadi di masyarakat saat ini. Pengetahuan dan penghayatan akan iman, memungkinkan manusia untuk tidak ikut arus dalam fenomena politik yang semakin banyak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik yang tak berujung.

Samuel – Pena Katolik

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini