ATAMBUA, Pena Katolik – Uskup Atambua, Mgr Dominikus Saku menerbitkan surat melarang upacara “Hel Keta” yang biasa diadakan menjelang upacara pernikahan dalam Budaya Dawan. Upacara ini berdampak pada upacara perkawinan dengan orang berbudaya lain di wilayah Keuskupan Atambua.
Mgr. Dominikus menerbitkan surat bernomor 14/2022 di Lalian Tolu, 05 Februari 2022. Mgr. Dominikus menegaskan, bahwa pelarangan ini berlandaskan karena beberapa alasan. Pertama, bertentangan degan iman Katolik (praktik supertisi dan mistis magis). Kedua, tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kulutral. Ketiga, memecah-belah hubungan kekerabatan dan hubungan antara manusia. Keempat, menambah berat beban ekonomi keluarga dan masyarakat.
Mgr. Dominikus menambahkan dalam suratnya, konsekuensi setiap keluarga yang masih “nekat” melaksanakan Hal Keta yaitu pemberkatan pernikahannya dibatalkan.
Dalam suratnya, Mgr. Dominikus meminta agar Pastor Paroki/Administrator/Pembantu dan seluruh agen pastoral memperhatikan keputusan ini. Kebijakan ini perlu penjelasan di komunitas paroki dan stasi.
Sekilas Ritual Hel Keta
Hel Keta dikenal dalam masyarakat Atoin Meto (Suku Dawan) yang meliputi hampir sebagian penduduk Timor Barat. “Hel Keta” yaitu suatu ritual adat yang dilakukan di antara dua suku Atoin Meto (Dawan) dengan suku lain misalnya Tetun, Marae atau Kemak di Timor yang menurut tutur adat pernah terjadi perang suku di antara kedua suku tersebut.
Apabila terjadi perkawinan di antara kedua suku ini, yang pernah terjadi perang sehingga ada permusuhan, maka harus dilakukan ‘Hel Keta’ terlebih dahulu. Pernikahan kedua mempelai tidak dapat dilangsungkan sebelum upacara ini.
Praktik atau ritual adat ini biasanya dilakukan di tempat pertemuan kedua suku, yaitu di kali atau sungai yang ada airnya, supaya setelah pelaksanaan ritual adat, terjadi pelepasan “kutukan” yang disimbolkan dengan lidi atau “keta”. Tujuan acara atau ritual ini adalah untuk meluruskan kembali atau menyambung kembali persahabatan kedua suku, yang pernah terputus akibat perang. Air mengalir membawa semua sumpah atau kutukan yang pernah ada. Dan dengan demikian kedua suku membangun kembali persahabatannya sehingga tidak ada lagi permusuhan.
Diceritakan bahwa dahulu antara dua suku itu pernah terjadi perang atau saling serang. Karena saling serang atau perang menyebabkan korban. Karena terjadi korban dari salah satu suku maka menyebabkan sumpah serapah yang dalam bahasa Atoin Meto atau Dawan disebut “Lasi’ Bata'”. Sumbah ini berarti sumpah yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun atau abad silam.
“Lof talan tea au sufa kauf kanabe mnao atau matsao mok atoni nako (misalnya Belu atau Marae atau Kemak)” artinya ‘nanti sampai saya punya keturunan tidak boleh pergi atau kawin dengan mereka’ (dari suku yang pernah menyebabkan kematian itu)”.
Untuk itu, kalau akan dilangsungkan perkawinan antara dua suku yang pernah berperang ini maka harus ada ‘hel keta’. Namun, dalam kenyataannya tidak semua suku di pulau Timor pernah bermusuhan. Ada suku-suku di Timor yang sejak dulu sudah membangun persahabatan yang biasa disebut “Masoba”.
Konon, apabila ritual adat itu tidak dilakukan, maka akan berdampak atau berakibat pada kedua anak yang akan menikah, entah tidak memiliki keturunan, atau terjadi kecelakaan yang menimpa kedua suku.