KAPUAS HULU, Pena Katolik – Usai pemberkatan dan peletakan batu pertama pembangunan Gereja Stasi St Yusuf Paroki Benua Martinus Putussibau, Sungai Utik, Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus juga turut serta meresmikan Rumah Budaya Sungai Utik, di desa Batu Lintang, kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, provinsi Kalimantan Barat, Rabu (19/1/2022). Mgr. Agustinus meresmikan rumah budaya ini bersama Bupati Kapuas Hulu, Fransiskus Diaan, dan Dirjen Kebudayaan, Kemendikbudristek.
Dalam sambutannya, Uskup Agustinus mengatakan dengan tegas bahwa budaya yang sudah ada dalam tradisi dayak Iban haruslah menjadi contoh untuk banyak lapisan masyarkat. Mgr. Agustinus menunjukkan contoh ini terutama dalam mempertahankan hutan dan mendapatkan hak resmi dari Negara tentang hutan Adat mereka.
Orang Dayak jangan dimiskinkan dulu baru dapat bantuan. Mgr. Agustinus menegaskan, mereka, masyarakat Dayak Iban, harus didukung karena selama ini menjadi cerminan dan mosaik dari semangat leluhur budaya asli dari Indonesia.
“Kita jangan mengajari orang Dayak Iban Sungai Utik lagi tentang budaya, justru kita harus belajar dari mereka karena dari dahulu sampai saat ini mereka sudah menjalankan dan mengamalkanya di Rumah Betang,” kata Uskup Agustinus dalam diskusi setelah acara peletakkan batu pertama.
Kesempatan itu pula, Uskup Agustinus Agus membeberkan nilai-nilai moral yang terkandung di Rumah Betang tersebut yakni mencangkup nilai hidup dalam bermasyarakat, pola pikir hidup sederhana dan DNA asli dari Suku Dayak sendiri.
“Rumah Betang mengajarkan nilai-nilai dan filosofi hidup, jika Tuhan mau bisa saja Tuhan menciptakan manusia seragam, tetapi hebatnya Tuhan menciptakan kita beraneka ragam,” tuturnya.
Menutup sambutannya, Mgr Agustinus berpesan untuk Rumah Budaya yang baru diresmikan oleh Bupati Kapuas Hulu dan Direktorat Jenderal (Ditjen), Hilmar Farid agar dapat digunakan dengan baik yang tidak hanya dijadikan sebagai tempat ngumpul dan pesta pora saja tetapi harus menjunjung nilai budaya.
“Saya bertugas di Kapuas Hulu ini dari 1996 -2017, kemudian 2018 merangkap ke Pontianak, bisa dikatakan semua suku Dayak di daerah Keuskupan Sintang termasuk dalamnya Kapuas Hulu Putussibau sudah saya jajaki,” kata Uskup Agustinus.
Sementara itu, Fransiskus mengungkapkan rasa haru dan terima kasihnya kepada masyarakat khususnya orang Dayak Iban Sungai Utik, karena selama ini berusaha mempertahankan ciri khas mereka sebagai identitas Dayak. Menurut Fransiskus, orang Dayak Sungai Utik selama ini berusaha dengan tumpah keringat dan fisik mereka membangun dan mempertahankan ciri khas yang didalamnya yakni lebih ke filosofi cara hidup orang dayak itu sendiri.
Sekolah Kehidupan
Sejalan dengan pesan Mgr. Agustinus, Hilmar Farid mengungkapkan rasa kagumnya untuk pertama kalinya ke Putussibau. Ia mengatakan, sekolah formal mengajarkan hal-hal yang bersifat formal dan tertulis. Bolehlah orang sekolah tinggi tapi apakah mereka ingat tradisi budaya mereka?
“Di Rumah Budaya ini adalah bukan hanya sekedar tempat semata, melainkan sebagai proses sekolah Kehidupan dan untuk saat ini, itulah yang paling penting,” kata Hilmar.
Hilmar Farid menangkap bahwa kunci keselamatan adalah porses yang diberikan secara terus-menerus dan terlatih. Untuk itu Rumah Budaya yang diresmikan itu juga merupakan tempat menimba Ilmu dari Kebudayaan itu sendiri.
“Peganglah nadi dan denyutnya, tidak ada cara lain selain merasakan denyut nadi kembali dan rumah betang yang didiami selama ini adalah upaya untuk merasakan denyut kebudayaan yang hidup dimasyarakat,” tambah Hilmar.
Hilmar mengajak para tamu untuk merasakan ritme dan denyut kebudayaan itu. Ia menjelaskan bahwa itu bukanlah tentang kognisi dan bukan tentang teori, maka dari itu haruslah tetap dilestarikan karena inilah budaya.
“Ajaran kebudayaan adalah jangan untuk membuka masa depan yang lebih baik,” katanya.
Rumah Budaya
Secuplik kisah tentang dibangunnya Rumah Budaya yang merupakan duplikat dari rumah Suku Dayak Iban di Sungai Utik ini kedepannya akan dioperasikan sebagai tempat pertemuan-pertemuan adat, sekolah budaya, menyelenggarakan kegiatan formal, pameran dan produksi produk khas Dayak Iban.
Rumah Budaya ini dikerjakan oleh masyarakat adat sendiri dengan cara tradisional dan warna sealami mungkin. Pembangunan dimulai pada tahun 2 Novemver 2019 lalu yang di dampingi Yayasan Rumah Asuh dan disponsori oleh Tirto Utomo Foundation.
Rumah Budaya itu terdiri dari 7 bilik dan satu dapur, kemudian setiap bilik kedepannya akan difungsikan sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan oleh pengurus adat tersebut.
Dalam sambutan kepala Desa Apay Remang mengatakan bahwa masyarakatnya berhasil mempertahankan wilayah atau hutan adat dan budaya wilayah adat 10.078,4 hektare dan hutan adat 9.480 hektare.
Apay Remang menyebutkan Desa Batu Lintang merupakan masyarakat adat pertama di Kapuas Hulu yang mendapat pengakuan masyarakat hukum adat dan kemudian mendapat pengakuan hutan adat untuk wilayah adat yang dikelola masyarakat.
Apay Remang juga menyapaikan bahwa pada Tahun 2019, mereka telah menerima penghargaan Equator Prize dari UNDP sebuah organisasi yang berada dibawah naungan PBB dan mendapat penghargaan Kalpataru atau penghargaan di bidang lingkungan tertinggi di Indonesia, malam 18 Januari 2022.