“Studi yang kalian lakukan di berbagai universitas Romawi mempersiapkan kalian untuk tugas masa depan Anda sebagai pastor dan memungkinkan kalian lebih menghargai kenyataan tempat kalian dipanggil untuk mewartakan Injil sukacita,” kata Paus Fransiskus kepada sekitar 19 imam dari ‘gereja nasional Prancis’ di ibukota Italia, dalam audiensi 7 Juni.
Paus mengatakan mereka tidak boleh terjun ke lapangan untuk menerapkan teori tanpa mempertimbangkan lingkungan tempat mereka akan bekerja atau orang-orang yang dipercayakan kepada perhatian mereka. “Saya berharap kalian menjadi gembala ‘berbau domba’,” kata Paus, mengulangi analogi yang dia gunakan dalam homili Misa Krisma 28 Maret 2013, dua minggu setelah pemilihannya.
Kepada para imam, yang tinggal di asrama Gereja Santo Louis Prancis di Roma itu, Paus mengatakan bahwa para pastor harus menjadi “orang yang mampu hidup, tertawa dan menangis dengan umat kalian, dengan kata lain, berkomunikasi dengan mereka.” Paus ungkapkan keprihatinan bahwa terkadang refleksi dan pemikiran tentang imamat adalah sampel laboratorium: imam ini, imam itu, dan sebagainya. Paus mengatakan imamat yang terisolasi dari umat Allah, bukanlah imamat Katolik atau Kristen.
“Lepaskan diri kalian dari ide-ide kalian yang sudah terbentuk sebelumnya, impian kalian akan kebesaran, penonjolan diri kalian, untuk menempatkan Allah dan umat di pusat perhatian kalian sehari-hari,” kata Paus seraya menekankan, seorang pastor adalah orang yang menempatkan umat beriman yang kudus dari Allah di tengah. Bagi para imam yang ingin menjadi intelektual, bukan pastor, kata Paus, lebih baik mereka menjadi umat awam. Seorang imam harus menjadi pastor di tengah-tengah umat Allah karena Allah telah memilih dia untuk itu.
Paus juga menasihati para imam Prancis mengenai kehidupan komunitas, dengan mengatakan individualisme, penonjolan diri, dan ketidakpedulian adalah beberapa tantangan hidup bersama. Paus memperingatkan mereka terhadap “godaan untuk membuat kelompok-kelompok kecil tertutup, untuk mengisolasi diri, untuk mengkritik dan berbicara buruk tentang orang lain, untuk yakin diri lebih unggul, lebih cerdas.”
Paus mengatakan bahwa gosip adalah kebiasaan kelompok-kelompok tertutup, tentang “imam yang tidak kawin yang berbicara dan memfitnah orang lain, merusak semua. “Kita perlu melepaskan kebiasaan ini dan melihat serta berpikir tentang kerahiman Allah.” Paus berharap mereka selalu saling menerima sebagai hadiah. “Dalam persaudaraan yang hidup dalam kebenaran, dalam ketulusan hubungan dan dalam hidup doa, kita dapat membentuk komunitas tempat kita bisa menghirup udara sukacita dan kelembutan.”
Bapa Suci mendorong terbentuknya kehidupan komunitas berbagi dan berdoa dengan sukacita. Paus mengatakan, “Imam adalah pria yang, dalam terang Injil, menyebarkan cita rasa Allah di sekelilingnya dan mengirimkan harapan ke hati-hati yang gelisah.” Kepada orang-orang yang mengunjungi komunitas mereka, mereka bisa mengkomunikasikan nilai-nilai Injil tentang “persaudaraan yang beragam dan mendukung,” dan membuat mereka merasakan kesetiaan kasih Allah dan kedekatan-Nya.
Dalam hal ini, Paus memberikan pada mereka teladan Santo Yosef, dan mengajak mereka “menemukan kembali wajah orang beriman ini, bapa yang lembut ini, teladan kesetiaan dan penyerahan penuh kepercayaan kepada rencana Allah.” Santo Yosef, kata Paus, mengajarkan kita bahwa iman kepada Allah termasuk percaya bahwa Dia bisa bekerja bahkan melalui ketakutan kita, kerapuhan kita dan kelemahan kita.
Kerapuhan kita adalah “tempat teologis perjumpaan dengan Tuhan”, kata Paus seraya menambahkan, “imam yang rapuh”, yang tahu kelemahannya dan membicarakannya dengan Tuhan, akan berhasil. Sebaliknya, para imam “superman” berakhir dengan buruk. “Bersama Yosef,” kata Paus, “kita dipanggil untuk kembali ke pengalaman aksi-aksi sederhana penerimaan dan kelembutan.”
Paus juga mendesak para imam muda Prancis untuk membangun Gereja yang sepenuhnya melayani dunia yang lebih bersaudara dan dalam solidaritas. Mereka tidak perlu takut untuk berani mengambil risiko dan maju, karena yakin bahwa bersama Kristus mereka bisa menjadi rasul sukacita dan bersyukur karena melayani saudara dan saudari mereka dan Gereja.
Kegembiraan ini harus dibarengi rasa humor, kata Paus seraya menambahkan, seorang imam yang tidak punya selera humor tidak disukai, ada yang salah. “Tirulah para imam besar yang menertawakan orang lain, menertawakan diri mereka sendiri dan bahkan menertawakan bayangan mereka sendiri,” kata Paus, seraya menambahkan, “rasa humor adalah salah satu ciri kekudusan,” seperti yang Paus tunjukkan dalam Seruan Apostoliknya, Gaudete et Exultate.
Mengenang penahbisan imamat mereka, Paus ingatkan mereka bahwa mereka telah diurapi dengan minyak sukacita dan harus mengurapi orang lain dengan minyak sukacita. Paus mengatakan hanya dengan tetap berakar di dalam Kristus mereka dapat mengalami sukacita yang menggerakkan mereka untuk memenangkan hati. “Sukacita imamat adalah sumber tindakan kalian seperti para misionaris di zaman kalian,” kata Paus.
Kebajikan lain yang didorong oleh Bapa Suci bagi para imam muda itu untuk ditanamkan adalah bersyukur kepada Allah atas keberadaan mereka satu sama lain. “Dengan keterbatasan kalian, kerapuhan kalian, kesulitan kalian,” Paus Fransiskus mengingatkan mereka, “selalu ada tatapan penuh kasih yang tertuju pada kalian dan memberi kalian kepercayaan diri.”
Syukur “selalu merupakan ‘senjata ampuh’,” kata Paus, yang “memungkinkan kita untuk menjaga api harapan tetap menyala di saat-saat putus asa, kesepian, dan pencobaan.”(PEN@ Katolik/paul c pati/Robin Gomes/Vatican News)