“Sekali lagi dan dengan sangat sedih saya merasakan keadaan yang mendesak untuk mengingatkan kembali situasi dramatis di Myanmar. Di sana, begitu banyak orang, terutama orang muda, kehilangan nyawa untuk berharap kepada negara mereka,” kata Paus Fransiskus di akhir audiensi umum mingguan. “Saya juga berlutut di jalanan Myanmar dan berkata: hentikan kekerasan! Saya juga mengulurkan tangan dan berkata: biarkan dialog yang menang!” kata Bapa Suci.
Dengan jelas Paus membangkitkan identitas kuat dari biarawati Katolik Myanmar, Suster Ann Rosa Nu Tawng, yang baru-baru ini menghalangi pasukan keamanan yang akan membahayakan para pengunjuk rasa damai. Insiden itu terjadi 28 Februari di Myitkyina, ibu kota negara bagian Kachin, saat polisi bersiap untuk menindak para pengunjuk rasa di jalan.
Tidak terpengaruh oleh bahaya itu, biarawati Xaverian berusia 45 tahun itu mendekati polisi. Kemudian dengan berlutut di depan mereka, suster itu memohon dengan dua tangan terlipat seperti dalam suasana doa agar tidak menyakiti para demonstran yang tidak bersenjata itu.
Suster itu diperintahkan untuk segera pergi, tapi dia berdiri tegak, dan berkata, “Tembak saja aku jika kalian mau menembak. Para pengunjuk rasa tidak memiliki senjata dan mereka hanya menunjukkan keinginan mereka secara damai.”
Video aksinya yang berani menjadi viral di media sosial, dan berbagai jaringan media, termasuk BBC, meliput peristiwa itu.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta militer 1 Februari yang menggulingkan pemerintah terpilih dan menahan pemimpinnya, Aung San Suu Kyi. Protes-protes dan kampanye pembangkangan sipil menentang kudeta itu masih berlangsung, meskipun ada tindakan keras oleh pasukan keamanan. Lebih dari 180 pengunjuk rasa telah tewas, menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Takhta Suci dan Paus Fransiskus, serta beberapa pemimpin Gereja Katolik dan konferensi waligereja seluruh dunia, telah menyerukan dialog dan perdamaian sambil mengungkapkan solidaritas terhadap tuntutan sah rakyat untuk membebaskan pemimpin terpilih mereka dan memulihkan demokrasi.
Tanggal 7 Februari, Paus dalam doa ‘Angelus’ Minggu tengah hari, mendesak para pemimpin militer Myanmar untuk menunjukkan kesediaan tulus untuk melayani kebaikan bersama dan meningkatkan keadilan sosial dan stabilitas nasional.
Keesokan harinya, Paus dalam pidato kenegaraan dunia kepada para duta besar untuk Takhta Suci, mengungkapkan kedekatan dengan rakyat Myanmar dan menyesalkan bahwa jalan menuju demokrasi “diputus dengan kasar” oleh kudeta itu. Paus berharap para pemimpin yang dipenjarakan dibebaskan demi kebaikan negara itu.
Sekali lagi tanggal 3 Maret, Paus meminta junta militer untuk menghentikan kekerasan dan mendesak agar dialog menang atas penindasan dan kerukunan atas perselisihan.(PEN@ Katolik/paul c pati/Vatican News)