“Di zaman ini, sangat penting bagi kita, baik sebagai pribadi maupun umat, untuk mencurahkan lebih banyak waktu untuk beribadah,” kata Paus Fransiskus dalam Misa Epifani atau Penampakan Tuhan 6 Januari, yang dirayakan oleh Gereja Indonesia 3 Januari.
“Kita perlu belajar lebih baik bagaimana merenungkan Tuhan,” dan mengikuti teladan orang-orang Bijak, orang-orang Majus, yang datang ke Betlehem untuk menyembah Bayi Yesus. “Seperti mereka,” kata Paus, “kita ingin sujud menyembah Tuhan.”
Berdasarkan bacaan liturgi hari itu, Paus Fransiskus, seperti dilaporkan Christopher Wells dari Vatican News, fokuskan tiga ungkapan “yang bisa membantu kita memahami lebih sepenuhnya arti menjadi penyembah Tuhan: angkatlah mata, berangkatlah, dan lihatlah.”
Ungkapan pertama diambil dari nabi Yesaya, yang mendorong orang-orang Israel, setelah mereka kembali dari pengasingan, untuk “mengangkat” mata mereka dan melihat sekeliling, terlepas dari masalah mereka.
Panggilan profetik untuk “melihat ke sekeliling” tidak berarti mengabaikan kesulitan dan masalah, apalagi menyangkal kenyataan. Sebaliknya, “ini persoalan melihat masalah dan kecemasan dengan cara baru, dan tahu bahwa Tuhan mengetahui masalah kita, perhatikan doa-doa kita, dan tidak acuh pada air mata yang kita tumpahkan.”
Ini adalah ajakan untuk terus percaya kepada Allah, yang pada gilirannya mengarah pada “rasa cinta dan hormat seorang anak,” kata Paus. “Ketika kita mengangkat mata kepada Allah, masalah-masalah kita tidak hilang, tetapi kita yakin bahwa Tuhan memberi kita kekuatan untuk menghadapinya.” Rasa cinta dan hormat seorang anak, serta kegembiraan yang didasarkan pada keyakinan akan Allah “membangkitkan dalam diri kita keinginan untuk menyembah Tuhan.”
Paus mencatat, sebelum orang Majus bisa menyembah Yesus di Betlehem, mereka harus melakukan perjalanan jauh. Sebuah perjalanan, katanya, selalu melibatkan perubahan. Perjalanan hidup kita pun melibatkan banyak perubahan, bahkan kesalahan dan kegagalan yang toh bisa menjadi pengalaman belajar. “Dengan berlalunya waktu,” kata Paus, “pencobaan dan kesulitan hidup, pengalaman dalam iman, membantu memurnikan hati kita, membuat kita lebih rendah hati dan dengan demikian lebih terbuka kepada Allah.”
Bukannya menjadi putus asa oleh kesulitan yang kita alami dalam hidup, lanjut Paus, “kita harus memberi mereka kesempatan untuk maju menuju Tuhan Yesus … Dengan menjaga pandangan tetap kepada Tuhan, kita akan menemukan kekuatan yang dibutuhkan untuk bertahan dengan sukacita baru.”
Ungkapan ketiga adalah “melihat”. Ketika orang Majus tiba di Betlehem dan menemukan Yesus bersama ibu-Nya, Maria, “mereka sujud menyembah Dia.”
Paus menyoroti betapa luar biasanya hal ini, “Menyembah adalah tindakan penghormatan yang diperuntukkan bagi penguasa dan pejabat tinggi.” Tetapi, meskipun orang Majus tahu bahwa Yesus adalah Raja orang Yahudi, mereka hanya melihat “Anak miskin bersama ibu-Nya.” Menurut Paus, “Mereka mampu ‘melihat’ di balik penampilan.”
Untuk menyembah Tuhan, jelas Paus, kita juga “perlu ‘melihat’ di balik tabir hal-hal yang terlihat, yang seringkali terbukti menipu.” Dalam Injil, Herodes dan orang-orang Yerusalem “melambangkan keduniawian yang diperbudak oleh penampilan, dan daya tarik langsung,” sehingga tidak bisa mengenali Yesus, Siapa sesungguhnya Dia.
Akan tetapi, orang Majus memandang hal-hal secara berbeda, dengan pendekatan yang Paus gambarkan sebagai “realisme teologis” atau “cara memahami realitas yang objektif dari berbagai hal … cara ‘melihat’ yang melampaui yang terlihat dan memungkinkan untuk menyembah Tuhan yang sering tersembunyi dalam situasi sehari-hari, dalam orang miskin, dan orang-orang di pinggiran… cara melihat hal-hal yang tidak dikagumi karena suara dan kedahsyatan, tetapi mencari dalam setiap situasi hal-hal yang benar-benar penting.”
Paus mengakhiri homili dengan doa agar Tuhan “menjadikan kita penyembah sejati, yang mampu menunjukkan melalui hidup kita rencana kasih-Nya bagi seluruh umat manusia.” (PEN@ Katolik/pcp//Vatican News)