Seorang imam Jesuit lanjut usia di India, yang kini dipenjarakan atas tuduhan terorisme karena memperjuangkan hak-hak Adivasis (masyarakat adat) dan orang terpinggirkan di negara bagian Jharkhand, mengatakan kebutuhan sehari-harinya dipenuhi oleh sesama tahanannya.
Dalam sepucuk surat kepada teman-temannya, Pastor Stan Swamy mengatakan, teman-teman satu selnya, yang berasal dari “keluarga-keluarga sangat miskin,” membantunya memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Saya minta kalian mengingat rekan-rekan dan kolega-kolega saya dalam doa kalian,” tulis Pastor Swamy.
Pejabat National Investigation Authority (NIA), badan federal untuk memerangi kegiatan-kegiatan teroris, menangkap Pastor Stan Swamy SJ, 8 Oktober, dari Bagaicha, pusat aksi sosial Jesuit di pinggiran ibu kota Jharkhand, Ranchi. Pusat aksi sosial itu melayani hak-hak masyarakat adat di Jharkhand. Imam itu dituduh terkait dengan pemberontak Maois yang dikatakan berada di balik kekerasan di desa Bhima Koregaon, negara bagian Maharashtra, Januari 2018. Imam itu ditahan di Penjara Pusat Taloja di Navi Mumbai, Maharashtra.
Para pengacara dari imam berusia 83 tahun yang sakit itu telah mengajukan jaminan atas dasar kemanusiaan berdasarkan ketentuan Mahkamah Agung untuk membebaskan para tahanan sehubungan dengan pandemi Covid-19. NIA menolak permohonan jaminan sementara itu, 23 Oktober, dengan mengatakan dia mengambil untung yang tidak semestinya dari pandemi.
Imam yang lemah itu menderita penyakit Parkinson dan gangguan pendengaran, dan telah menjalani dua operasi untuk hernia. Dia merasa sangat sulit mencuci atau makan sendiri. Teman-teman satu selnya membantunya untuk mandi, mencuci seprai dan makan. Bagi imam Jesuit itu, inilah tanda bahwa “terlepas dari segalanya, perikemanusiaan melimpah di penjara Taloja.”
Pastor Swamy mengatakan, penjara itu juga menampung para aktivis lain terkait kasus Bhima Koregaon, seperti Varavara Rao, Vernon Gonsalves dan Arun Ferreira. Dalam kasus itu, imam itu adalah orang ke-16 yang ditangkap oleh NIA, dan tertua. Imam itu bertemu dengan para aktivis itu dalam rekreasi di penjara.
Mempertimbangkan penyakit Parkinson yang dideritanya, Pastor Swamy menggunakan sedotan atau tempat minum yang ada sedotannya, karena ia tidak bisa memegang gelas di tangannya. Menurut The Hindu, NIA menolak mengembalikan alat-alat minum itu kepada pastor itu setelah dia diterbangkan ke Mumbai setelah penangkapannya dan otoritas penjara juga tidak memberinya barang-barang bantuan sederhana ini, kata Platform Nasional untuk Hak-hak Penyandang Cacat (NPRD).
Pastor Swamy meminta izin dari pengadilan NIA untuk menggunakan alat bantu ini, dan 6 November pengadilan meminta 20 hari untuk mengajukan balasan atas permohonan itu. Masalah itu sekarang akan disidangkan, 26 November, menurut The Hindu.
Sementara itu, NPRD meminta “intervensi segera” dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (NHRC) guna memastikan bahwa Pastor Swamy diberikan akomodasi yang sesuai dengan usia dan disabilitas; alat bantu, termasuk sedotan dan alat minum yang ada sedotan; serta bantuan perawatan manusia sesuai kebutuhan.
Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia mencatat, 20 Oktober “imam Katolik berusia 83 tahun Stan Swamy, aktivis lama yang terlibat dalam membela hak-hak kelompok terpinggirkan, didakwa dan dilaporkan tetap dalam tahanan, meskipun kesehatannya buruk.” Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, mendesak pemerintah “membebaskan orang yang dituduh berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kegiatan Yang Melanggar Hukum karena hanya menjalankan hak asasi manusia yang wajib dilindungi India.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)
Artikel Terkait:
Pengadilan menolak jamninan untuk imam Jesuit India yang lanjut usia
Gereja Katolik India memprotes penahanan imam Jesuit yang lanjut usia