Oleh Paul Samasumo (Kota Vatikan)
Dengan hanya membawa ransel, alas tidur, berpakaian jubah hitam dengan kepala dicukur, Pastor Ludovic Lado SJ memulai perjalanan ziarah sepanjang 250 km dari Douala ke Yaoundé di Kamerun, Senin, 12 Oktober 2020. Imam itu ingin menarik perhatian pada penderitaan yang ditimbulkan oleh perang di Kamerun, yang sekarang memasuki tahun keempat.
Pastor Lado mengatakan kepada Fidespost bahwa perjalanannya adalah ziarah untuk berdoa bagi dialog, keadilan, perdamaian, dan rekonsiliasi di Wilayah Barat Laut dan Barat Daya Kamerun.
“Berdoa, di satu sisi, untuk dialog, keadilan, perdamaian dan rekonsiliasi di Wilayah Barat Laut dan Barat Daya Kamerun dan, di sisi lain, untuk melakukan penitensi atau laku tobat untuk menebus kesalahan berupa kejahatan terhadap martabat manusia yang dilakukan di wilayah ini. Saya mengacu pada nilai-nilai Kristen, yang manusiawi semata, yakni persaudaraan, dialog, keadilan, rekonsiliasi dan perdamaian,” tulis Pastor Lado baru-baru ini dalam sebuah surat terbuka.
Selasa, 13 Oktober, perjalanan Lado tiba-tiba terputus saat polisi menahannya di Edéa, sebuah kota di sepanjang Sungai Sanaga di Wilayah Littoral. Imam itu lalu dibebaskan dan melanjutkan perjalanannya. Setelah dibebaskan, Pastor Lado berkata dia bersemangat. “Saya jelaskan kepada mereka (polisi) bahwa saya melakukan ziarah yang memiliki tradisi religius yang panjang … tapi mereka melanggar hak sipil saya,” kata imam itu.
Tema ziarah yang dilakukan Pastor Lado diambil dari Kejadian 4:9, “Di mana adikmu?” “Jika Gereja, otoritas (Kamerun) dan Ambazonia (orang Kamerun Selatan) tidak duduk satu meja untuk menemukan solusi untuk krisis ini, saya akan lakukan bagian saya,” kata Pastor Lado saat pertama kali dia mengumumkan keputusannya untuk aksi jalan.
Pastor Lado juga mengatakan ingin melakukan laku tobat untuk menebus kejahatan terhadap martabat manusia yang telah dilakukan dalam konflik. “Perjalanan ini,” lanjut Pastor Lado, “adalah seruan solidaritas untuk mendukung pendidikan anak-anak Pengungsi Internal atau pengungsi yang menjalani kehidupan yang sulit.”
Alasan lain dia berjalan, jelas imam itu, adalah “agar darah manusia berhenti mengalir di negara kami. Saya berjalan agar hak konstitusional untuk berdemonstrasi secara damai di Kamerun dihormati. Saya berjalan dalam solidaritas dengan para pengungsi internal dan pengungsi dari krisis Anglophone. Saya berjalan untuk mengusir setan ketidakpedulian dalam diri saya dan dalam diri kita. Berjalan bukan hanya hak asasi manusia, tetapi hak ilahi. Saya berjalan untuk berhasil,” jelas Pastor Lado.
Pastor Lado mengatakan, perjalanannya juga merupakan solidaritas dengan ratusan orang yang ditahan, di Kamerun, 22 September, setelah demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh partai oposisi, Gerakan Renaisans Kamerun (MRC). Para demonstran menginginkan dialog nasional, reformasi elektoral dan kembalinya perdamaian ke wilayah Anglophone di negara itu. Pemerintah Kamerun menganggap demonstrasi-demonstrasi di beberapa daerah sebagai tindakan ilegal.
Pemerintah dituduh menggunakan kekuatan berlebihan dan mengerahkan pasukan keamanan bersenjata berat untuk mencegah demonstrasi damai. Minggu ini, para pakar hak asasi manusia PBB menuntut pihak berwenang membebaskan pemimpin oposisi terkemuka dan orang lain yang ditangkap dalam protes damai di seluruh negeri. Mereka mendesak pemerintah berhenti mengintimidasi aktivis politik.
Para ahli selanjutnya menginginkan agar semua pelanggaran hak asasi manusia diselidiki tanpa memihak, termasuk tuduhan penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang dan perlakuan buruk terhadap pengunjuk rasa, dan agar para pelaku dibawa ke pengadilan.
“Kami sangat khawatir tentang penangkapan massal terhadap pengunjuk rasa damai dan aktivis politik yang menyatakan perbedaan pendapat,” kata para ahli. Lebih dari 500 orang dilaporkan ditangkap setelah protes yang dipimpin oposisi, 22 September. Sekitar 200 dari mereka masih ditahan. Mereka, kata para pakar hak asasi PBB, bisa hadapi dakwaan terorisme atau keamanan nasional dan diadili di pengadilan militer hanya karena menjalankan kebebasan fundamental mereka.
Konflik separatis empat tahun menyebabkan perpindahan setengah juta orang. Lebih dari 3.000 orang tewas. Anak-anak di zona konflik tidak bisa bersekolah selama hampir empat tahun. Awal bulan ini, beberapa orang tua dan guru di zona konflik melawan ancaman kelompok bersenjata dan membuka kembali beberapa sekolah.
Puncak krisis itu, tahun 2016, adalah pemogokan oleh para guru dan pengacara, di wilayah berbahasa Inggris di Kamerun. Para profesional, yang didukung oleh warga di daerah mereka, memprotes penggunaan bahasa Prancis yang tidak wajar dan pengangkatan-pengangkatan orang-orang berbahasa Prancis yang tidak adil di wilayah mereka. Kamerun adalah negara bilingual. Tahun 2017, situasinya telah lepas kendali dan berkembang menjadi perang separatis. Baik pasukan pemerintah maupun kaum separatis kini terjebak dalam konflik, yang menurut para pengamat, hanya bisa diselesaikan melalui dialog.
Pastor Lado yang blak-blakan dan kontroversial bukan orang asing bagi pemerintah Kamerun. Dia telah bersuara sejak tahun 2007 saat menjadi wakil dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Manajemen di Universitas Katolik Afrika Tengah, di Yaoundé. Dia juga menjadi kritikus bagi Paul Biya yang telah menjadi Presiden Kamerun selama 38 tahun.
Pastor Lado meraih gelar doktor bidang antropologi sosial dan budaya dari Universitas Oxford. Dia telah menulis dan berbicara tentang masalah Antropologi, Pentakostalisme Katolik, tren Katolik Afrika, dan tentang perubahan sosial di sub-Sahara Afrika.
Diterjemahkan dari Vatican News oleh PEN@ Katolik/paul c pati