(Renungan berdasarkan Bacaan Injil Minggu ke-13 dalam Masa Biasa, 28 Juni 2020: Matius 10: 37-42)
Dalam banyak budaya seperti di Indonesia, Filipina dan Cina, menghormati orang tua kita adalah hal yang sangat penting. Di Indonesia, untuk mendidik nilai ini, cerita rakyat “Malin Kudang” diajarkan bahkan di sekolah dasar. Intinya, Malin tidak hanya gagal menghormati orang tuanya, tetapi juga sengaja mengabaikan ibunya yang sudah tua. Karena itu, dia dikutuk menjadi batu. Adalah sesuatu yang tidak termaafkan untuk tidak menghormati seseorang yang telah memberikan hidup kita dan mendidik kita untuk hidup.
Menghargai orang tua juga merupakan salah satu nilai tertinggi bagi bangsa Yahudi. Yang luar biasa adalah bahwa mereka tidak menghormati orang tua mereka karena itu adalah sesuatu yang wajar untuk dilakukan, tetapi karena itu adalah perintah Ilahi. Kembali ke Sepuluh Perintah Allah, untuk menghormati ibu dan ayah kita sebenarnya adalah perintah keempat, tertinggi di antara perintah-perintah yang mengatur komunitas manusia. Bahkan kata Ibrani yang digunakan adalah “kabad“, yang dapat berarti “untuk menghormati” tetapi bisa juga berarti “memuliakan”. Karena itu, Tuhan memerintahkan baik orang Israel dan maupun umat Kristiani untuk tidak hanya menghormati tetapi juga untuk memuliakan orang tua kita.
Namun, Injil hari ini mengatakan bahwa Yesus menuntut bahkan sesuatu yang tidak terpikirkan, bahwa jika kita mengasihi orang tua kita lebih daripada Yesus, kita tidak layak bagi-Nya. Petrus, Andreas, dan Yohanes serta murid-murid lainnya telah meninggalkan pekerjaan mereka yang stabil dan kenyamanan rumah mereka untuk mengikuti Yesus, tetapi Yesus bahkan menetapkan persyaratan yang lebih radikal. Untuk mengikuti-Nya tidak hanya secara fisik hadir bersama-Nya, tetapi para murid harus memberikan kasih total mereka kepada Yesus di atas semua orang. Siapakah Yesus ini sehingga Dia patut menerima kasih para pengikut-Nya lebih dari orang tua kita?
Jawabannya tidak terlalu rumit. Yesus pantas mendapatkan semua cinta dan kesetiaan yang kita miliki hanya karena Dia adalah Allah. Dalam Kitab Ulangan [6:4-5], Musa menginstruksikan orang Israel cara untuk mengasihi dan menghormati Allah, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Hanya Allah yang layak menerima segalanya dari kita.
Dan bagaimana Yesus tahu bahwa murid-murid-Nya mengasihi Dia lebih dari yang lain, dan bukan hanya sekedar kata-kata saja? Sebagai bukti kasih mereka, Yesus meminta mereka untuk menunjukkan ini: “Pikullah salibmu dan ikuti aku!” Pada zaman Yesus, salib adalah metode penyiksaan dan eksekusi yang paling mengerikan, dan dirancang untuk memperpanjang penderitaan. Intinya, Yesus memberi tahu para murid-Nya jika mereka benar-benar mencintai-Nya di atas segalanya, mereka harus siap untuk menanggung penderitaan yang berkepanjangan dan bahkan mati bagi-Nya. Ketika kita menghadapi Yesus, pilihannya adalah: semua untuk Yesus atau tidak sama sekali.
Apakah itu berarti kita akan berhenti mencintai orang tua dan anak-anak kita? Apakah itu berarti kita tidak lagi melakukan pekerjaan baik untuk orang lain dan hanya berdoa selama yang kita bisa? Tentu saja tidak. Mengasihi Tuhan di atas hal-hal lain menempatkan kita dalam perspektif yang benar dan mengarahkan kita ke tujuan yang benar. Sekarang kita dapat mengasihi orang lain termasuk keluarga kita sebagai bentuk kasih kita bagi Tuhan. Ini berarti bahwa ketika kita mencintai mereka, kita membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan. Sekarang kita dapat melakukan pekerjaan dan pelayanan kita untuk Tuhan, bukan demi mendapatkan keuntungan pribadi. Ketika kita bekerja keras dan kita diberkati dengan kesuksesan, hal pertama yang kita ingat adalah untuk memuji Tuhan. Dan, jika kita menghadapi hambatan dalam hidup kita atau jika kita perlu menanggung penderitaan, kita tidak kehilangan harapan karena ini juga merupakan kesempatan untuk lebih mengasihi sesama dan Tuhan lebih dalam.
Pastor Valentinus Bayuhadi Ruseno OP