Sekelompok pemimpin Gereja yang berpengaruh menyuarakan keprihatinan terhadap undang-undang anti-terorisme yang diusulkan, dan mengutip catatan rekam jejak buruk pemerintahan Duterte dalam menangani perbedaan pendapat.
Asosiasi Pemimpin Tinggi Tarekat Religius Filipina (AMRSP) mengatakan definisi RUU tentang terorisme “sangat kabur” dan cenderung “disalahgunakan”. RUU itu, tulis mereka, “dapat disalahgunakan untuk meredam perbedaan pendapat dan membatasi hak kebebasan berbicara, mengatur dan membentuk asosiasi, dan pertemuan damai dalam mengatasi keluhan.”
Asosiasi itu juga menyerukan agar pemerintah memprioritaskan tindakan anti-teror di saat Filipina sedang berada di tengah pandemi. Sementara itu, mereka mengatakan, orang-orang Filipina masih meminta tes massal, bantuan ekonomi, dan rencana komprehensif untuk mengatasi krisis kesehatan itu tetapi para anggota parlemen “mengambil jalan orang fasik dan kejam.”
Terorisme, lanjut mereka, bukan urusan kita. “Rehabilitasi Marawi dan perpindahan masyarakat terus-menerus harus menjadi prioritas kita. Kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat harus menjadi yang pertama dalam agenda kita,” tulis mereka.
“Itulah masalah mendesak yang harus kita ditangani sebagai masyarakat. Itulah tantangan yang dapat diatasi pemerintah dengan menyalurkan sumber daya untuk penyelesaiannya,” lanjut mereka.
AMRSP membuat pernyataan itu setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui “Undang-Undang Anti-Terorisme 2020” yang kontroversial, 3 Juni 2020 dan mengirimkannya ke meja Presiden Rodrigo Duterte.
Sebanyak 173 anggota parlemen memilih menyetujui langkah ini, dengan 31 negatif dan 29 abstain.
Kalau majelis rendah sepenuhnya mengadopsi versi Senat yang disahkan bulan Februari, RUU itu langsung ke Duterte untuk ditandatangani.
AMRSP telah lama mengatakan bahwa mereka konsisten dalam kepedulian terhadap korban pelanggaran HAM. AMRSP yang dibentuk tahun 1972 adalah forum bersama para pemimpin tinggi tarekat religius, yang sebagian besar menjalankan universitas dan institusi Katolik terbaik di negara ini.
Ketika didirikan, asosiasi itu memainkan peran penting selama tahun-tahun Darurat Militer. Asosiasi itu serta berbagai kongregasi membuka seminari dan biaranya untuk menyediakan tempat perlindungan bagi banyak korban hak asasi manusia.(PEN@ Katolik/pcp berdasarkan CBCPNews)