(Renungan Minggu Kedua Prapaskah [A], 8 Maret 2020: Matius 17: 1-9)
Gereja telah memilih kisah Transfigurasi sebagai Injil Minggu Prapaskah kedua. Kita mungkin bertanya bagaimana kisah kemuliaan semacam ini dapat masuk ke dalam seluruh konteks Prapaskah. Kuncinya adalah bahwa Transfigurasi secara mendasar terkait dengan Salib Yesus. Dalam versi transfigurasi dari Lukas, Yesus berbicara kepada Musa dan Elia tentang “eksodus”-Nya. Ini mengingatkan kita akan bangsa Israel kuno yang keluar dari Mesir, berjalan melewati padang pasir, dan memasuki Tanah Perjanjian. Namun, akhir eksodus yang sebenarnya adalah kota Yerusalem, dan akhirnya Bait suci tempat Allah tinggal di antara umat-Nya. Sama seperti bangsa Israel kuno, eksodus Yesus harus berakhir di Yerusalem.
Momen mulia transfigurasi tidak dimaksudkan untuk bertahan lama. Yesus harus turun dan berjalan lagi menuju Yerusalem. Namun, para murid salah kaprah ketika Petrus menawarkan untuk memasang tenda dan tetap tinggal di gunung itu. Yesus mengingatkan mereka bahwa mereka harus turun. Para murid tidak dapat tinggal di sana, dan mereka harus melanjutkan perjalanan mereka bersama Yesus di Yerusalem.
Ada saat-saat dalam hidup kita bahwa kita percaya bahwa kita telah melihat dan mencapai kemuliaan Allah. Kita merasa sangat diberkati ketika kita berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus. Kita mengalami kedamaian selama retret dan meditasi kita. Kita terinspirasi setelah kita mendengarkan khotbah yang penuh semangat. Kita diberi energi kembali oleh lagu dan pujian. Hal-hal ini baik, tetapi mereka tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi akhir dari perjalanan. Kita harus turun bersama dengan Yesus, dan memikul salib kita sehari-hari. Yesus mengerti bahwa tidak ada kasih sejati tanpa penderitaan, tidak ada kemuliaan sejati tanpa rasa sakit, dan tidak ada keselamatan tanpa salib.
Saat ini saya berada di Tanah Suci, dan saya berjalan di tempat yang sama seperti Tuhan Yesus telah menginjakkan kaki-Nya. Saya benar-benar diberkati bahwa Allah memberi kesempatan untuk berada di Tanah Perjanjian ini hanya beberapa bulan setelah tahbisan saya. Sebuah sukacita luar biasa. Israel benar-benar tanah yang penuh dengan susu dan madu, tanah yang benar-benar indah. Saya belajar Alkitab selama bertahun-tahun, tetapi baru sekarang, saya benar-benar melihat dan menyentuh tempat-tempat alkitabiah ini. Iman saya menjadi benar-benar hidup. Semakin saya berjalan, semakin saya ingin tinggal dan belajar. Saya telah melihat kemuliaan Tuhan, dan saya ingin mendirikan kemah saya. Namun, saya tidak bisa tinggal terlalu lama, dan saya harus kembali karena misi saya bukan [belum] di Tanah Perjanjian ini.
4 Maret 2020 lalu, rumah bagi orang tua dan orang cacat dijalankan oleh Misionaris Cinta Kasih di Aden, Yaman, diserang oleh para teroris. Empat suster terbunuh dalam serangan itu. Pekerjaan mereka untuk merawat orang tua di salah satu negara termiskin itu sendiri adalah tindakan heroik, tetapi kemuliaan sejati mereka terletak ketika mereka memberikan hidup mereka sepenuhnya bagi Tuhan dan orang-orang yang mereka cintai. Setiap pagi, para suster selalu berdoa bersama di komunitas, dan doa ini [dipercaya berasal dari Santo Ignatius dari Loyola] telah menginspirasi mereka melalui saat-saat terakhir kehidupan mereka:
“Tuhan, ajari aku untuk bermurah hati. Ajari aku untuk melayani-Mu sepantasnya; untuk memberi dan tidak menghitung imbalan, untuk berjuang dan tidak mengindahkan luka, bekerja keras dan tidak mencari istirahat, untuk bekerja dan tidak meminta imbalan, kecuali mengetahui bahwa aku melakukan kehendak suci-Mu. ”
Pastor Valentinus Bayuhadi Ruseno OP