Oleh Frater Vincent Budi
“Ko Trada Kosong, Wetni wetni luok luok, Yesus owa luok, Allah Owa luok.” Lagu Pujian dalam bahasa asli Papua dari Lembah Baliem di Wamena, “yang memanggil orang untuk datang bersekutu dengan Tuhan, karena Tuhan itu Mahabaik itu, bergema dalam Misa di Gereja Kristus Juru Selamat, Kotaraja, Jayapura, mengakhiri Konvensi Daerah Karismatik (Konvenda) VI, 23 Februari 2020.
Lagu-lagu dari berbagai daerah, suku dan bahasa se-Papua yang memang terdengar dinyanyikan oleh umat dari berbagai suku Papua dalam tiga hari konvenda itu, ternyata menghilangkan kesan bahwa Persekutuan Karismatik Katolik (PKK) hanya disukai oleh kelompok etnis tertentu dan orang yang sudah mapan.
Buktinya, dalam konvenda itu mace-mace (sebutan mama-mama di Papua) dan pace-pace (bapak-bapak) maupun anak muda asli Papua ikut bernyanyi, bertepuk tangan, menari untuk memuji dan memuliakan Tuhan dalam PKK.
Di Papua ada semboyan, “Ko Trada Kosong” (Kau tidak kosong). Semboyan itu bisa berarti bahwa para peserta karismatik yang datang dari berbagai tempat seperti dari pedalaman Asmat, Lembah Baliem, Bintuni, Merauke, dan berbagai daerah pelosok Papua datang bukan sekedar sebagai peserta pasif. Mereka datang juga dengan penuh pengalaman rohani akan pembaharuan hidup dalam Roh Kudus.
Yulian Efrida Kensiana Tamokamu yang akrab dipanggil Kensi datang sebagai peserta konvenda dari Keukupan Agung Merauke. Dia mengatakan, konvenda itu luar biasa mulai dari pembukaan sampai penutup. “Yang menarik adalah acara seremonial, setiap BPK menampilkan tarian terbaik dari seluruh Keuskupan di Papua,” katanya.
Kensi sudah ikut kegiatan karismatik di Merauke sejak 2011, “untuk mencari kehendak Tuhan” karena dirinya merasa rindu akan Tuhan, merasa kering. Ternyata, dia mengaku, bersemangat kembali setelah mengikuti kegiatan PKK. “Melalui karismatik saya bisa sharing iman bersama teman-teman lain dan dengan sharing iman, kita bisa saling meneguhkan dan mendoakan,” ungkapnya.
Ada sebagian orang berasumsi, Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK) identik dengan orang Tionghoa saja. Namun menurut Kensi, sebagai Orang Asli Papua (OAP), “Sekarang banyak orang asli Papua mulai tertarik ikut kegiatan karismatik. Buktinya, banyak peserta yang datang dari Lembah Baliem, pedalaman Asmat maupun Merauke.”
Memang awalnya, Kensi agak minder dan malu dalam pelayanan PKK. Perlu dukungan untuk menghadapi OAP yang kadang minder atau malu. Kensi mengaku selalu mendapat dukungan teman-temannya. Melalui kegiatan persekutuan doa, Kensi berkembang dalam komunitas tanpa ada pembedaan antara pendatang dan asli.
Saudara dalam Kristus
“Dalam komunitas, kami adalah saudara dalam Kristus, saling mencintai dan mengasihi seperti saudara,” kata Kensi yang berharap PDKK lebih menjangkau OAP dan “menjangkau umat yang pindah ke gereja lain.” Dengan Karismatik Katolik, Kensi bersaksi, keluarganya yang pindah ke gereja lain di Merauke, kembali ke Gereja Katolik.
Ketua Konvenda VI Rita Arfayan membenarkan, banyak OAP hadir dalam konvenda itu. “Mereka berasal dari Fakfak, Bintuni, Wamena (Suku Hubula), Agats (Suku Asmat), Nabire (Suku Mee), Timika (Suku Kamoro), Merauke (Suku Marind) dan berbagai tempat di Papua. Selain itu, mayoritas panitia adalah anak muda di bawah 50 tahun,” katanya.
Mama Kispana Ambi yang berasal dari PDKK Santo Stephanus, Keuskupan Agats-Asmat, mengatakan, keuskupannya “memiliki enam PKK yang mayoritas OAP dari berbagai paroki di pedalaman.” Mama yang sudah delapan tahun ikut PKK itu berharap konvenda itu “bisa membawa perubahan hidup beriman di Tanah Papua.”
Veronica Mariana de Grave dari Nabire yang baru pertama kali mengikuti konvenda, karena di Nabire belum ada PDKK resmi berharap, setelah kembali dari konvenda, “bersama teman-teman membentuk PDKK secara resmi.” Vera yang berasal dari luar Papua melihat dukungan Kepala Pastor Paroki Kristus Sahabat Kita Nabire Pastor Yohanes Agus Setiyono SJ dan “sebagian besar anggota kelompok doanya adalah masyarakat asli Papua.”
Orang muda jadi fokus
Ketua Persekutuan Doa Orang Muda (Katolik) Santo Yohanes Bosco Katedral Jayapura Marcelino Seti bersyukur bahwa dia dan teman-temannya mendapatkan kesempatan emas untuk melayani Tuhan dalam konvenda sebagai panitia. Dia merasa bersyukur, dalam usia 28 tahun dia dipilih menjadi wakil ketua I. Dia mengaku mendapatkan banyak pengalaman dan banyak belajar berorganisasi, dan yang paling menarik “saya bisa lihat banyak orang terlibat dalam pembaharuan karismatik.”
Konvenda itu juga memfokuskan orang muda. Beberapa materi dikhususkan untuk anak muda. Pastor Hubertus Magai Pr memberi materi “Membangun persekutuan doa untuk anak muda” dan Krismanto memberi materi “Membangun persekutuan doa yang kreatif untuk orang muda”. Marcel mencatat, jumlah anak muda yang ikut Persekutuan Doa Anak Muda di Kota Jayapura sekitar 50 orang. “Mereka berkumpul setiap dua minggu sekali untuk berdoa bersama di Aula Katedral Jayapura.”
BPK Keuskupan Jayapura
Dalam konvenda itu, menurut catatan koordinator BPK Keuskupan Jayapura Fransiska Yenny Gosal, 60 peserta datang dari PDKK Santo Petrus Stasi Minimo yang berasal dari pinggiran Kota Wamena, Kabupaten Jayapura. Mereka AOP. Selain itu, konvenda juga dihadiri peserta dari PDKK Santa Maria Bunda Allah, Kota Wamena, PDKK Santa Fransiskus Asisi Mutsafak dari Dekenat Pegunungan Tengah. Mereka datang bersama pastor moderator PKK paroki mereka.
Dalam BPK Keuskupan Jayapura, lanjut Fransiska, ada juga kegiatan sosial, pendampingan anak-anak jalanan baik di Kota Jayapura dan di Lembah Baliem. Karismatik masuk ke Lembah Baliem, jelasnya, dibawa oleh Elisabeth Manibuy sekitar tahun 2003 dari Kota Wamena. Kini Wamena sudah memiliki lima PDKK.
Umat Stasi Minimo, tegasnya, terlibat dalam kehidupan menggereja. Ketika Kepala Paroki Kristus Jaya Wamena Pastor Frans Lieshout OFM melihat ada gejala umat Stasi Minimo pindah ke gereja lain, lima umat yang tergabung dalam PDKK Santo Petrus Minimo berdoa terus-menerus memohon kepada Tuhan agar mereka kembali ke Gereja Katolik, dan mereka pun kembali.
Fransiska juga menceritakan antusiasme anggota PDDK di Minimo dalam penggalangan dana pembangunan gereja dengan berjualan sayur di pasar dan berbagai cara untuk membangun gereja tanpa meminta bantuan dari pemerintah atau pun keuskupan.
Ketika berbagi pengalaman rohani dengan mama-mama anggota karismatik dari Minimo, mereka menceritakan bagaimana menghayati Prapaskah di stasi. Setiap minggu dalam Prapaskah, cerita mereka, mereka mengadakan berbagai kegiatan seperti doa berpuasa selama satu hari di dalam gereja, jalan salib hidup keliling bukit, atau pun berpuasa selama dua hari di alam terbuka atau pun rekoleksi.
*Mahasiswa Pascasarjana STFT Fajar Timur, Jayapura