Ada seorang tua di hadapan empat ekor binatang, ada kera yang membawa pisang, berang-berang yang membawa ikan, serigala yang membawa mangkok berisi susu, dan kelinci yang tidak membawa apa pun. Ketika hewan-hewan itu membawa persembahan kepada bapak tua itu, masing-masing membawa yang terbaik mereka miliki untuk dipersembahkan.
Sang kelinci terakhir mendapat giliran. “Saya tidak membawa apa-apa. Tapi, saya hanya punya diri saya, silahkan sembelih saya, potonglah per bagian, dan masaklah dan makanlah.” Tak diceritakan apa yang terjadi dalam dongeng itu, tapi sejak itu ada yang namanya sate kelinci.
Kisah “Seekor Kelinci” yang terpahat pada relief Jataka di sisi timur tingkat satu Candi Borobudur itu diceritakan oleh Ignatius Kardinal Suharyo dalam homili Misa Syukuran Kawanua Katolik (Kawkat) di Aula Lemhanas RI Jakarta, 1 Februari 2020. Sekitar 1000 umat menghadiri Misa yang dipimpin kardinal dengan konselebran Uskup Manado Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC serta 13 imam.
Cerita persahabatan empat binatang yang hidup rukun dan saling menolong yang dalam Misa bertema “Dengan semangat mahesaesaan kita bina tou peduli keadilan wia se kasuat tou” (Dengan Semangat “Keluarga yang Rindu Bersatu dan Berdamai”, Kita Bina Insan Peduli Keadilan di Antara Kita Sesama Manusia) itu, menurut Kardinal Suharyo hanyalah dongeng “tetapi tokoh Yesus yang dipersembahkan ini bukanlah dongeng, Dia sungguh riil dan nyata datang dan memberikan diri-Nya untuk keselamatan umat manusia.”
Maka kardinal, yang dalam Misa itu mengajak semua yang hadir menyanyikan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” agar Tuhan memberkati Kawkat dan Indonesia, berharap umat Katolik asal Keuskupan Manado yang kini tinggal di wilayah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) itu “menjadi pribadi-pribadi yang makin berhikmat, dan meyakini serta menyusuri pemberian diri Yesus total bagi keselamatan kita semua.”
Hal itu, lanjut kardinal, “menjadi alasan pertama dan utama kita merasakan panggilan dan perutusan untuk memberi diri, dalam segala bentuk, tingkat dan kemampuan yang dimiliki, untuk menjadi persembahan yang terbaik bagi keluarga, komunitas dan masyarakat kita.”
Perayaan dengan koor dari Paroki Kalvari Lubang Biaya itu menampilkan Tari Kabasaran, serta Musik Kolintang Tamporok dan Musik Bambu Tamporok dari Cibubur, yang juga mengiringi tari dan lagu tradisional Maengket yang dibawakan oleh Angkatan Muda Kawanua Katolik di Jakarta.
Ketua panitia perayaan, sekaligus Natal 2019 dan Tahun 2020 Keluarga Kawkat Jakarta itu, Rudy Muaya, mengatakan kepada PEN@ Katolik, dalam persiapan dan perayaan itu dia menyaksikan kegembiraan dan kebersamaan penuh rasa kekeluargaan tanpa memandang perbedaan umur. “Semangat masawang-sawangan, matombol-tombolan dan mahesaesaan sangat terasa.”
Lebih jauh Rudy berharap perayaan itu mendorong Kawkat di KAJ dan sekitarnya “lebih berperan dalam karya kegembalaan” dalam Gereja. Namun, hal itu pun sudah berbukti lanjutnya, karena sebelum perayaan itu warga Kwakat sudah melaksanakan donor darah, operasi katarak dan pemulangan jenazah ke Manado. “Kesempatan ini hendaknya dorong Kawkat se-Jabodetabek untuk semakin merasa terpanggil mengambil bagian dalam tugas perutusan di tengah masyarakat,” harapnya.
Dalam perayaan itu, panitia juga memberikan sumbangan dan menghadirkan anak-anak penyandang cacat fisik dari Yayasan Sinar Pelangi Jatibening, Jakarta, sebuah pusat rehabilitasi anak-anak penyandang cacat fisik dari berbagai suku, agama, ras, bahasa dan latar belakang sosial, yang dikelola oleh suster-suster biarawati Fransiskan Puteri-Puteri Hati Kudus Yesus dan Maria (FCJM).
Yayasan Sinar Pelangi Jatibening membantu operasi anak-anak penyandang cacat fisik dari keluarga tidak mampu tanpa membedakan suku, agama, ras, bahasa dan latar belakang sosial lainnya. Malam itu, selain menampilkan tarian dari Papua, anak-anak itu juga memamerkan dan menjual berbagai hasil karya mereka.
Kardinal Suharyo tahu, merayakan Natal dengan penuh gegap gempita dan kegembiraan diisi pesta dan makan di rumah yang dihias meriah serta diiringi lagu-lagu Natal yang riang adalah tradisi masyarakat Kawanua. Maka, kardinal senang mendengar bahwa “perayaan Natal Kawkat Jakarta sudah didahului dengan aksi sosial sebagai ungkapan belarasa.”
Kardinal mengingatkan, di tengah masalah perpecahan dan konflik terkait dengan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengajak umat Kristiani untuk menjadi motor kerukunan dan persaudaraan.
Maka dalam sambutan, Kardinal mengatakan Tema Pesan Natal PGI dan KWI 2019 ‘Hiduplah sebagai sahabat bagi semua orang’ (Yoh 15: 14-15), adalah “ajakan untuk mengatasi masalah bangsa kita saat ini, yakni masalah perpecahan dan konflik terkait dengan perbedaan suku, agama, ras, dan golongan.”
Kardinal juga mengajak Kawkat menjaga dan mengembangkan iman, berpartisipasi dalam hidup menggereja dan bermasyarakat, serta mengembangkan nilai-nilai budaya yang baik dalam masyarakat, dan “Tingkatkan terus hidup hemat, sederhana, dan sehat, termasuk dalam hal makan minum.”
Selain mencari dan merangkul saudara-saudari seperantauan yang butuh uluran tangan, Kardinal Suharyo mengajak Kawkat kembali kepada semangat inkarnasi Tuhan yang rela menjadi kecil, merendahkan diri demi manusia, berbelarasa bagi sesama, “serta menjadi sahabat bagi semua orang.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan berbagai sumber)
Artikel Terkait:
Mgr Suharyo kenakan baju adat Minahasa dalam persaudaraan Paskah Kawanua
Pengurus Kawanua Katolik Jabodetabek dilantik untuk membasuh kaki teman-temannya
Foto-foto di bawah ini adalah foto panitia/maxi paat