Gereja Yang Mandiri dan Misioner adalah visi Keuskupan Jayapura. Visi itu kemudian diangkat juga menjadi tema Misa Imlek di Jayapura. Alasan panitia karena paguyuban umat Tionghoa Jayapura merupakan bagian persekutuan umat Allah, yang tegas menyatu lewat pengakuan iman, sakramen-sakramen, dan dengan pimpinan Gerejawi (hirarki).
Selain itu, paguyuban umat Tionghoa dipanggil menjadi misionaris lewat pekerjaan dan seluruh rejeki. “Kita persembahkan kepada kemuliaan Allah. Kita wujudkan dalam kasih kepada pluralitas dalam hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara. Semangat Imlek menjadi semangat berbuat kasih dan cinta kasih kepada sesama.”
Kepala Paroki Kristus Juru Selamat Kotaraja Pastor Niko Rumbayan MSC berbicara dalam Misa Inkulturasi Etnis Tionghoa dalam rangka Perayaan Ekaristi Nuansa Imlek di Gereja Santo Petrus dan Paulus, Argapura, Jayapura, 1 Februari 2020, pada Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah.
Pastor Niko berharap, tema itu menjadi roh kehidupan paguyuban Etnis Tionghoa dalam menggereja. “Paguyuban umat Katolik Tionghoa jangan minder dalam hidup menggereja, tapi terlibat aktif dalam kegiatan menggereja dan mengambil bagian dalam tugas perutusan sebagai umat Allah,” kata imam itu.
Juga diharapkan, paguyuban umat Tionghoa tidak menjadi ‘sapi perah” dalam kehidupan menggereja, “sebaliknya, memberikan kontribusi dan kesaksian sebagai umat Allah dalam kebersamaan dan sebagai umat Katolik.”
Pastor Niko adalah konselebran Misa yang dipimpin oleh Kepala Paroki Santo Petrus dan Paulus, Argapura, Pastor Paulus Tumayang Tangdilintin OFM, dengan konselebran lain Ketua STFT Fajar TImur Pastor Yan You Pr dan Kepala Paroki Sang Penebus, Sentani, Pastor Norbertus Broery Renyaan OFM.
Menurut ketua panitia, Andrew Tanardi, sekitar 900 umat dari Kota dan Kabupaten Jayapura menghadiri Misa di gereja yang dihiasi berbagai manik-manik tradisi Tionghoa berwarna merah dan lampion. Sebagian besar umat Tionghoa berasal dari Kalimantan, dan beberapa kota antara lain, Makasar, Manado, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Palembang, dan Jambi, serta dari Papua yakni Sorong, Manokwari, Merauke, dan Serui. Misa yang sama, jelas Andrew, pernah terjadi tahun 2012 dan 2016. Dalam Misa dan kegiatan itu, lanjutnya, mereka bisa berkumpul, berdoa bersama, dan saling mengenal.
Setelah Misa, umat menyaksikan atraksi Singa Barongsai oleh kelompok Barongsai Golden Jayapura, yang sebagian besar anggotanya orang asli Papua. Rangkaian acara Imlek ditutup dengan ramah tamah bersama, makan malam, berkaraoke dan acara hiburan.
Menurut Wikipedia, kehadiran orang Tionghoa di Tanah Papua sudah lebih dua ratus tahun. Sebagian besar orang Tionghoa sudah berasimilasi dengan masyarakat asli setempat sehingga ada sebutan “Prancis” (Peranakan Cina Serui) yang termasuk dalam keluarga besar ‘Papua putih atau Papua rambut lurus.” Mereka disebut generasi blasteran unik yang mewarisi perpaduan ciri genetika ras mongoloid (Cina) dan Melanesia. Generasi Prancis sering disebut ‘Ciko’ (Cina Komin) atau Cina Papua.
Selain itu, perkawinan dalam kehidupan masyarakat Papua di Biak, Manokwari dan Sorong (daerah kepala burung), masih menggunakan berbagai perlengkapan seperti piring gantung dan keramik Cina sebagai persyaratan mas kawin dalam pernikahan.
Sebagian besar orang Tionghoa di Kota Jayapura bekerja sebagai pedagang, dokter, dosen. Mereka berasal dari berbagai tempat di seluruh nusantara. Selain itu, ada juga peranakan Tionghoa Katolik yang berasal dari Sorong, Manokwari, Merauke maupun Serui dan Biak yang berdomisili di Jayapura dan menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Sebagian masyarakat Tionghoa Katolik yang terlibat aktif dalam kehidupan menggereja di berbagai paroki di Kota Jayapura menjadi ketua dewan paroki, serta ketua berbagai seksi paroki, dan ada juga yang terlibat dalam kelompok-kelompok kategorial.
Julia Gita Cempaka, anak muda Tionghoa kelahiran Papua, yang kakek buyutnya datang dari Tiongkok melalui Pulau Ternate dan menetap di Pulau Dom, Sorong, mengapresiasi Misa Nuansa Imlek itu. “Bagus sekali. Dari kegiatan ini bisa terjalin kerukunan antarsesama yang seiman, yang awalnya tidak saling kenal,” kata Gita seraya berharap kegiatan-kegiatan positif seperti itu terus diadakan.
Anthonius H Citra Wijaya merasa Misa Imlek itu khusyuk dan menyatukan komunitas Tionghoa seluruh Kota Jayapura. Ketua Dewan Paroki Gembala Baik Abepura dan dosen Ekonomi Universitas Cenderawasih itu berharap selain Misa Imlek juga diadakan kegiatan aksi sosial seperti donor darah atau kunjungan ke panti asuhan.
Hyacinta Fifian Gunawan (Fifi), Tionghoa Manado, yang membuka toko listrik di Sentani, Kabupaten Jayapura, berharap Misa Imlek membantu menjalin terjalin silaturahmi dan menyatukan seluruh orang Tionghoa perantauan dari berbagai daerah di Papua. “Kerinduan akan suasana Imlek di kampung halaman terobati dengan Misa Imlek di tanah rantau (Kota Jayapura), sehingga kita tidak lupa akan adat, budaya dan tradisi sebagai orang Tionghoa,” kata Fifi. (PEN@ Katolik/Frater Vincentius Budi Nahiba)