Perayaan Imlek menjadi kesempatan bagi umat Katolik keturunan Tionghoa untuk menjaga dan melestarikan budaya, sehingga budaya yang telah ada jangan sampai hilang. Oleh karena itu, pagelaran atraksi barongsai dan pertunjukan gambang kromo menjadi pilihan untuk ditampilkan di halaman Gereja Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB) Tangerang.
Ketua Panitia Imlek Paroki HSPMTB Fransiska Ratih Susanto mengatakan itu dalam pagelaran seni seusai Misa Imlek 29 Januari 2020. “Perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat kaum muda (milenial) seakan-akan lupa dengan budaya leluhur. Maka, selain ajakan untuk merawat budaya, panitia mengajak seluruh umat bersukacita dalam hidup menggereja dan selalu menjaga persatuan dan kesatuan umat,” kata Fransiska.
Dan dia bersyukur karena acara malam itu bukan hanya dihadiri umat etnis Tionghoa tetapi juga umat etnis Jawa, Flores, Sunda dan lainnya. Malam itu, antara umat dengan pastor dan juga di antara umat saling memberikan salam khas imlek (soja).
Tradisi Misa Imlek, menurut Kepala Paroki HSPMTB Pastor Walterus Teguh Susanto SJ dilakukan sejak keran reformasi dimulai oleh Presiden Gus Dur sekitar belasan tahun yang lalu. Namun dalam Imlek, imam itu melihat tiga hal penting yakni “pertama, tradisi untuk berkumpul bersama keluarga, bukan hanya keluarga dalam rumah, tapi sebagai umat Allah yang bersatu; kedua, ucapan Gong Xi Fa Cai (semoga selalu bahagia); dan ketiga memberikan angpao atau uang kepada orang lain dengan amplop merah.” Imam itu berharap tradisi-tradisi ini “menjadi hal positif yang sejalan dengan iman Katolik.”
Misa Syukur Imlek yang dipimpin Pastor Benedictus Cahyo Christanto SJ dengan konselebran Pastor Vincensius Suryatma SJ (keduanya romo rekan), serta Pastor Susanto itu mengusung tema “Melestarikan keberagaman budaya untuk mencapai keadilan.”
Dalam homili, Pastor Cahyo mengajak seluruh umat untuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan atas segala penyertaan selama setahun yang lewat dan memohon berkat dalam perjalanan tahun baru. “Tahun Baru selalu memberi harapan baru dalam iman kita, bahwa Yesus sebagai pokok dan pedoman kehidupan umat Kristiani. Ketika hidup berdasarkan kepada Yesus, maka harapan sesuatu yang baik selalu ada,” kata imam itu.
Pastor Teguh menjelaskan, sekitar 2000 umat Katolik menghadiri Misa itu. Paroki itu memiliki umat 18.000 lebih, yang didominasi umat Tionghoa. “Umat di sini bukan hanya bersemangat tapi murah hati, baik dan bersemangat,” kata imam itu.
Tentang penggunaan pakaian Misa berwarna merah di Masa Biasa, Pastor Teguh mengatakan, “memang ini bukan pesta martir, tapi sesungguhnya ungkapan kegembiraan dan sukacita dari warna merah itu.”(PEN@ Katolik/Konradus R. Mangu)