(Renungan berdasarkan Bacaan Inil Hari Raya Kristus Raja [C], 24 November 2019: Lukas 23: 35-43)
Seringkali kita menerima begitu saja nama Yesus Kristus, tanpa menyadari makna mendalam di baliknya. Kata “Kristus” bukan bagian dari nama pribadi Yesus atau nama keluarga Yesus. Yesus mendapat nama Kristus bukan karena ayah angkatnya, Yusuf, tetapi senyatanya “Kristus” adalah gelar yang sangat penting bagi umat Yahudi dan Kristiani pada abad pertama masehi.
Kristus datang dari kata Yunani “Christos” yang berarti “yang diurapi”. Dalam bahasa Ibrani, kata yang digunakan adalah “Mesias”. Bagi kita yang hidup dua ribu tahun setelah Yesus, gelar ini tidak begitu berarti, tetapi bagi orang-orang Yahudi yang hidup di zaman Yesus, Mesias atau Kristus adalah penggenapan dari janji Allah. Dalam Perjanjian Lama, gelar Mesias diberikan kepada salah satu tokoh terbesar di Israel, Raja Daud. Dia adalah Kristus karena dia diurapi oleh Nabi Samuel, dan dia secara pribadi dipilih oleh Allah sendiri untuk memerintah Israel. Selama masa pemerintahannya, Kerajaan Israel mencapai puncak kejayaannya.
Sayangnya, setelah kematian Daud, kerajaannya terus menurun, akhirnya dihancurkan. Di masa Yesus, hampir satu milenium setelah Daud, Palestina berada di bawah penjajahan Kekaisaran Romawi, dan kehidupan menjadi sangat buruk. Tidak heran, hampir semua orang Israel mengharapkan kedatangan Mesias, raja baru, yang akan mengembalikan kejayaan Israel.
Kita percaya bahwa Yesus adalah Kristus, artinya kita percaya bahwa Yesus adalah Raja yang telah memenuhi janji Allah. Namun, dalam Injil hari ini, kita menemukan bahwa Yesus disalibkan. Sebagai raja, Dia tidak memiliki pasukan, kecuali para lelaki yang bernyali kecil yang mengaku sebagai murid-murid-Nya. Sebagai raja, Dia tidak memiliki istana kecuali gubuk kecil dan miskin di Nazareth. Dia dihina, diludahi, dan disiksa. Dia menanggung penghinaan manusia terbesar. Bahkan penjahat yang dihukum bersama-sama dengan Dia, mengejek Yesus sebagai raja yang tidak berguna.
Jika kita hanya berfokus pada salib dan penghinaan ini, kita akan gagal melihat Yesus sebagai raja. Bagi Yesus, menjadi raja bukanlah tentang mengumpulkan kekayaan, memiliki senjata paling canggih, dan ketenaran. Ini bukan tentang kemampuan menguasai atau kontrol. Yesus bukanlah Mesias yang hobinya berperang. Jadi, apa artinya menjadi Raja bagi Yesus?
Ketika salah satu penjahat yang bertobat meminta Yesus untuk mengingatnya ketika Yesus kembali ke Kerajaan-Nya, Yesus berkata bahwa hari itu juga, ia akan berada di Firdaus. Kata Firdaus sebenarnya berasal kata Yunani “paradesos” yang berarti “taman.” Sejatinya, taman ini merujuk pada taman Eden di Kitab Kejadian. Itulah yang dilakukan Yesus sebagai raja: Dia membawa semua orang yang mengakui Dia sebagai raja ke Firdaus. Dan tidak ada raja lain di dunia yang memiliki kekuatan seperti itu untuk membawa kita ke Firdaus.
Jika kemudian kita mengakui bahwa Yesus adalah Kristus, dan sekarang kita mengerti bahwa Yesus adalah Raja kita, apakah kita menghormati Dia sebagai Raja kita? Jika Yesus adalah Raja kita, apakah kita mengizinkan Yesus mengendalikan hidup kita atau malah kita yang mengendalikan Yesus? Jika Yesus adalah pemimpin kita, apakah kita menyelaraskan hidup dan prioritas kita dengan misi-Nya, atau Yesus harus mengikuti kita? Ketika Raja kita memanggil kita untuk sebuah misi, apakah kita dengan senang hati menerimanya, atau kita lebih suka memilih rencana dan desain kita sendiri?
Pastor Valentinus Bayuhadi Ruseno OP
Umat manusia mempercayai mukjizat rasul almasih cristus dalam banyak hal, namun masih menunggu menghampiri untuk memberi obat hati.