Tanggal 16 November 1965, beberapa hari sebelum penutupan Konsili Vatikan II, 42 Bapa Konsili merayakan Misa di Katakombe Domitilla, untuk meminta rahmat Tuhan “agar setia pada semangat Yesus” dalam melayani orang miskin. Setelah Misa, mereka tandatangani “Perjanjian Katakombe tentang Gereja Miskin dan Melayani.” Kemudian, lebih dari 500 Bapa Konsili menambahkan nama mereka dalam perjanjian itu.
Katakombe Domitilla adalah pemakaman bawah tanah tertua di Roma dengan kedalaman 16 meter di bawah tanah. Domitilla adalah nama keluarga yang pertama menyuruh menggali katakombe itu.
Lebih dari 50 tahun kemudian, warisan Bapa-Bapa Konsili itu diangkat oleh sekelompok peserta Sinode Para Uskup untuk wilayah Pan-Amazon, yang fokus pada tema “Jalan-jalan baru untuk Gereja dan untuk ekologi integral.” Kardinal Claudio Hummes, relator umum Sinode itu, memimpin Misa di katakombe itu. Setelah itu, para Bapa Sinode yang hadir menandatangani “Perjanjian Katakombe untuk Rumah Bersama. Untuk Gereja dengan wajah Amazon, yang miskin dan melayani, yang bersifat profetis dan seperti orang Samaria yang baik hati.”
Dalam homilinya, Kardinal Hummes mengingat, seperti dilaporkan oleh Vatican News, bahwa katakombe adalah kuburan kuno tempat orang Kristen menguburkan para martir mereka. “Ini tanah yang benar-benar suci,” kata kardinal itu. Tempat ini, lanjut kardinal, mengingatkan kita tentang masa-masa awal Gereja: masa-masa sulit yang ditandai penganiayaan tetapi juga banyak iman. Gereja, kata Kardinal Hummes, “harus selalu kembali ke akarnya di sini dan di Yerusalem.”
Kemudian kardinal itu menegaskan, sinode itu adalah buah dari Konsili Vatikan II. Cara-cara baru sedang dicari untuk melaksanakan misi pewartaan Firman. Kejahatan besar dunia, tegas kardinal, adalah karena uang yang menghidupkan korupsi, konflik, kebohongan. Gereja, kata Kardinal Hummes, harus selalu “berdoa.”
Dalam dokumen yang ditandatangani hari Minggu itu, peserta Sinode Amazon sukacita bersama mereka di kalangan banyak warga adat, penduduk tepi sungai, kaum migran dan komunitas pinggiran kota. Bersama mereka, para peserta mengalami “kuasa Injil yang berkarya dalam masyarakat paling kecil.” Dokumen itu menulis, “Perjumpaan dengan orang-orang ini menantang dan mengajak kita masuk dalam kehidupan lebih sederhana untuk saling berbagi dan bersyukur.”
Yang bertanda tangan berkomitmen “memperbarui opsi preferensial bagi kaum miskin,” meninggalkan “setiap jenis mentalitas dan gaya koloni” dan mewartakan “kebaruan Injil Yesus Kristus yang membebaskan.” Mereka juga berusaha mengakui “pelayanan-pelayanan gerejawi yang sudah ada dalam umat” dan mencari “jalan-jalan baru dalam aksi pastoral.”
Komitmen lain “Perjanjian Katakombe untuk Rumah Bersama” adalah janji “untuk berjalan secara ekumenis dengan umat-umat Kristen lain. “Menyadari kelemahan, kemiskinan dan kekecilan kita dalam menghadapi tantangan begitu besar dan serius,” para penandatangan menyatakan, “kita berkomitmen untuk berdoa bagi Gereja.”(PEN@ Katolik/paul c pati)