“Kami hadir di mana-mana dan kami melakukan yang bisa dilakukan biarawati berdasarkan Baptisannya: kami menemani orang-orang pribumi, dan kalau imam tidak bisa datang, kami melakukan pembaptisan. Kalau ada yang ingin menikah, kami datang dan memberi kesaksian tentang cinta pasangan itu. Kami sering harus mendengarkan pengakuan dosa, tetapi kami belum pernah memberikan absolusi (pengampunan dosa). Sungguh pun demikian, kami sudah mengatakan hal itu di lubuk hati kami yang paling dalam dan dengan kerendahan hati. Kerendahan hati itulah yang membuat pria atau wanita ini mendekati kami karena sakit, atau karena mereka hampir mati. Kami percaya Allah Bapa ikut campur di sana.”
Itulah kata-kata sederhana dan langsung yang diucapkan Suster Alba Teresa Cediel Castillo dari Suster-Suster Misionaris Maria Imakulata dan Santa Katarina dari Siena, yang tinggal di tengah penduduk asli Kolombia. Pengalaman serta situasi dan kesulitan di desa-desa di Amazon, di mana pastor jarang berkunjung, diceritakan suster itu dalam briefing pertama Sinode Amazon sedang berlangsung di Vatikan, seperti dilaporkan oleh Andrea Tornielli dari Vatican News, 7 Oktober 2019.
Kadang-kadang, lanjut suster, ada pasangan saling bersumpah setia dalam kesepakatan nikah di hadapan para biarawati kalau tidak ada imam, dan ada orang di akhir hidupnya, atau dalam situasi sulit, tidak bisa mengaku dosa kepada imam, karena tidak ada satu pun imam di sana.
“Orang-orang ini juga berpaling kepada para biarawati dan menceritakan dosa-dosa yang mereka lakukan kepada biarawati. Jelas, para suster tidak bisa memberikan absolusi: mereka tahu mereka tidak bisa melakukan Sakramen Rekonsiliasi, dan orang-orang yang mempercayai mereka juga tahu. Tetapi, mereka bisa mendengarkan dan bisa berdoa. Para suster tahu, mereka juga tidak bisa rayakan pernikahan, tapi mereka bisa menghadirinya,” kata suster.
Beberapa tahun lalu, saat berbicara tentang pengakuan dosa dalam sebuah wawancara tentang belas kasihan, menurut Vatican News, Paus Fransiskus menjelaskan, “Yesuslah yang berkata kepada para rasul-Nya, ‘Mereka yang dosanya kamu ampuni akan diampuni; mereka yang dosanya tidak kamu ampuni tidak akan diampuni.’ Maka, para Rasul dan para penerus mereka – para uskup dan para imam yang bekerja sama dengan mereka – menjadi instrumen belas kasih Allah. Mereka bertindak ‘in persona Christi.’ Ini sangat indah. Ini memiliki makna mendalam, karena kita adalah makhluk sosial. Jika kalian tidak bisa membicarakan kesalahan-kesalahan kalian kepada saudara lelaki atau perempuan kalian, tentu kalian juga tidak bisa membicarakannya dengan Tuhan, sehingga kalian akhirnya mengaku dosa di depan cermin, di depan diri kalian sendiri. Kita adalah makhluk sosial dan pengampunan memiliki aspek sosial juga, karena umat manusia, saudara-saudaraku, masyarakat itu sendiri, terluka oleh dosaku.”
“Mengaku di hadapan seorang imam,” lanjut Paus, “adalah cara meletakkan hidup saya di tangan dan hati orang lain, yang saat itu bertindak dalam nama dan atas nama Yesus. Itulah cara konkret dan otentik: menghadapi kenyataan dengan memandang orang lain bukan terpantul di cermin.” Berkenaan dengan menghadap orang lain secara konkret dan bukan ke cermin, Paus mengenang kisah Santo Ignatius. “Sebelum mengubah hidup dan pemahaman dalam dirinya untuk menjadi prajurit Kristus, Ignatius berperang dalam pertempuran Pamplona. Dia bertugas di pasukan Raja Spanyol, Charles V dari Habsburg, dan menghadapi tentara Prancis. Dia terluka parah dan mengira akan mati. Tak ada imam dalam medan perang waktu itu. Maka, Ignatius memanggil satu rekannya, dan mengakui dosa-dosanya kepadanya. Rekannya tidak bisa memberinya absolusi karena dia seorang awam. Tetapi Ignatius merasa begitu sangat perlu bertatap muka dengan orang lain saat pengakuan dosa, sehingga dia memutuskan melakukan itu. Ini pelajaran bagus.” (PEN@ Katolik/paul c pati)
Paus membuka Sinode Amazon menyerukan kesetiaan kepada kebaruan roh