Jalan Salib adalah salah satu tradisi Hari Orang Muda Katolik se-Dunia (World Youth Day, WYD) yang paling indah dan emosional. Dengan menyatukan budaya, spiritualitas, dan drama devosional, Jalan Salib (Via Crucis) selalu menjadi salah satu peristiwa WYD yang paling berkesan dan berdampak.
Seān-Patrick Lovett dari Vatican News melaporkan, orang-orang yang berada di sana tidak pernah bisa melupakan tahun 2008 di Australia. Khususnya, Perhentian Keduabelas, tempat Penyaliban terjadi saat matahari terbenam dengan latar belakang Jembatan Sydney Harbour. Atau tahun 2013 di Brasil, di mana adegan-adegan yang menampilkan penderitaan dan kematian Kristus dikembangkan dalam serangkaian tablo yang hidup sepanjang Pantai Copacabana di Rio de Janeiro.
Via Crucis di Panama 2019 memberi penghormatan kepada Paus yang memulai tradisi WYD 34 tahun yang lalu. 14 Perhentian berdasarkan gubahan Santo Yohanes Paulus II untuk latihan spiritual yang dia khotbahkan, ketika masih seorang Kardinal, hingga rumah tangga kepausan di Vatikan tahun 1976. Sebagai imam, dan kemudian sebagai Paus, Karol Wojtyla biasa berdoa Jalan Salib setiap hari.
Setiap Stasi berisi renungan tentang tema yang terkait dengan realitas kaum muda, bersama Gereja Para Martir: kaum miskin, panggilan, ekumene, masyarakat adat, ekologi, pengungsi dan kaum migran, harapan, kekerasan terhadap perempuan, hak asasi manusia, korupsi, keibuan, terorisme, aborsi.
Bukannya mengkhotbahkan homili dengan cara tradisional, Paus memilih berbicara langsung dengan Allah Bapa. Paus memulai dengan mengatakan “Tuhan, Bapa belas kasih,” dan selanjutnya mengatakan, “Jalan Yesus menuju Kalvari adalah jalan penderitaan dan kesunyian yang berlanjut zaman kita sekarang.” Kami juga, lanjut Paus, “telah menyerah dan bersifat apatis dan tidak bertindak.” “Betapa mudahnya jatuh dalam bully, pelecehan dan intimidasi,” kata Paus. “Bapa, hari ini jalan salib Putra-Mu berlanjut.”
Paus kemudian memberikan contoh bagaimana penderitaan Yesus berlanjut, dan itu tercermin dalam, wajah begitu banyak orang yang menderita di dunia saat ini: dalam bayi yang belum lahir, anak-anak kurang mampu, perempuan yang mendapat perlakukan buruk, orang muda yang menganggur, pemuda yang menganggur, orang tua yang ditinggalkan, masyarakat adat yang diabaikan, semua orang yang dieksploitasi, dibungkam, dilecehkan, ditolak, dibuang, diperdagangkan, “tidak hanya kehilangan masa depan tetapi juga masa kini.” Paus lalu mengatakan “Jalan salib Putra-Mu berkepanjangan dalam masyarakat yang kehilangan kemampuan untuk menangis dan tergerak oleh penderitaan.”
“Mari kita lihat Maria, wanita yang kuat,” kata Paus. Dari dia, mari kita belajar bagaimana “berdiri di bawah salib, dengan ketabahan hati dan keberanian.” Dalam Maria, lanjut Paus, kita belajar mengatakan “Ya”: Ya, “untuk mereka yang menolak tetap diam” di hadapan budaya penganiayaan dan pelecehan; Ya, “untuk kesabaran” orang-orang yang “siap memulai lagi saat segalanya tampak gagal.” Dari Maria kita belajar untuk berdiri di bawah Salib dengan hati yang merasakan “kelembutan dan devosi, yang menunjukkan belas kasihan dan menghormati, peka serta memahami orang lain.”
Doa penutup Paus Fransiskus sekali lagi ditujukan kepada Allah Bapa dengan mengatakan “Tuhan, ajarilah kami untuk berdiri di kaki setiap salib. Bukalah mata dan hati kita, dan selamatkan kita dari kelumpuhan dan ketidakpastian, dari rasa takut dan putus asa. Amin.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)