Dalam perjalanan ke Flores, Pastor Markus Solo SVD yang tahun lalu genap 10 tahun bekerja di Vatikan pada Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama mampir ke Denpasar, Bali, 27 Juli 2018, dan merasakan bahwa Deklarasi Roma masih berlanjut.
“Setelah silaturahmi dengan Uskup Bali Mgr Silvester San di istana keuskupan, kami diterima oleh Pangdam IX/Udayana Mayjen TNI Benny Susianto, yang memfasilitasi pertemuan dengan Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana,” kata imam dari Serikat Sabda Allah itu kepada PEN@ Katolik di hari yang sama.
Pastor Markus Solo melukiskan, dalam pertemuan dengan tokoh agama Hindu yang juga Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar itu, “Kami saling mendukung dan berbagi kegiatan dalam memajukan dialog lintas agama. Hindu menekankan persaudaraan inklusif. Gangguan-gangguan dari luar biasanya dihadapi dengan semangat persaudaraan, dan Gereja Katolik melalui Vatikan memajukan persahabatan universal yang terbuka dan inklusif serta rasa hormat antarumat beragama.”
“Penguatan dan perawatan identitas keagamaan adalah imperatif dalam upaya saling memperkaya secara spiritual,” kata imam asal Flores yang sudah 25 tahun berkarya di Eropa itu, seraya menegaskan, “Dunia butuh kesaksian kita.”
Ketika di Bali, imam itu “secara khusus” dihantar ke Pura Agung Jagadnatha di pusat kota Denpasar. “Di sana saya menyaksikan keindahan candi Hindu itu, terutama kekhusukan umat dalam berdoa pada Perayaan Bulan Purnama.”
Lebih daripada itu, menurut imam yang fasih berbahasa Jerman karena studi dan berkarya sejak 1992 hingga 2017 di Austria, kunjungannya ke Bali untuk “merasakan suasana kehidupan dengan umat beragama Hindu.” Namun di sana dia merasakan “kisah Deklarasi Roma masih berlanjut.”
Pengalaman yang dialami di Bali, menurut Pastor Markus Solo SVD, adalah berkat persahabatan dengan seorang tokoh Bali, Mayjen TNI (Purnawirawan) Wisnu Bawa Tenaya, yang bertugas sebagai Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Jakarta. Dia juga hadir dalam Seminar Dialog Antarumat Beragama bagi diaspora Indonesia di Eropa yang mengeluarkan Deklarasi Roma itu, 1 Juli 2018.
Sebanyak 48 peserta (23 negara di Eropa) dialog, yang diprakarsai oleh Kedutaan Besar RI untuk Tahta Suci Vatikan itu, menyatakan “dalam suasana penuh persaudaraan dengan tekad untuk terus memajukan kebersamaan dan kerukunan bangsa Indonesia” dan menyatakan:
- Kemajemukan agama, suku, dan bahasa adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat Indonesia dan keniscayaan yang harus dipelihara, dijaga dan dikembangkan bersama.
- Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun atas dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah rumah bersama dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika yang harus dirawat bersama.
- Tenggang rasa dalam kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi kebanggaan sekaligus tanggung jawab bersama, karena kerukunan hidup umat beragama di Indonesia menjadi rujukan dan contoh bagi dunia internasional.
- Kesungguhan hati dan keterbukaan sikap dalam sikap kebersamaan, gotong royong, saling pengertian, penghargaan, dan persaudaraan dari pemerintah dan semua anak bangsa hendaknya dirawat dan dipelihara secara berkesinambungan dalam kehidupan sehari-hari.
- Masyarakat Indonesia agar tidak menggunakan agama dan simbol keagamaan demi kekuasaan politik.
- Semua umat beragama agar mampu menampilkan wajahnya yang ramah dan terbuka dalam semangat persaudaraan dalam keimanan, kemanusiaan dan keindonesiaan.
- Seluruh anak bangsa Indonesia, kendati berbeda agama, akan tetapi terikat dalam persaudaraan sebangsa dan setanah air, karena semua berasal dari satu Rahim Ibu Pertiwi Indonesia.
- Semua masyarakat Indonesia yang tersebar di seluruh dunia perlu meningkatkan dialog antaragama dan bekerjasama yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.(paul c pati)