“Kita membangun kebersamaan walaupun kita berbeda. Perbedaan itu tidak harus membuat kita bermusuhan dan berpisah. Saat silaturahmi, kita bisa menikmati betapa indahnya perbedaan itu.” Itulah beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Pendeta Rahmat Paska Rajagukguk dalam acara Sambang Srawung di Vihara Buddhagaya Watugong Semarang, 24 April 2018.
Menurut Pendeta dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Gereformeerd itu, silaturahmi adalah sesuatu yang mereka renung-renungkan. “Silaturahmi adalah salah satu budaya lokal yang sudah mendarah daging dalam kehidupan kita. Silaturahmi menjadi sarana untuk mengikis paradigma-paradigma yang mungkin semakin bertumbuh dalam perdebatan-perdebatan kita di Facebook atau di WA dengan segala informasi-informasi yang mungkin membuat kita bisa saling mencurigai,” katanya.
Kunjungan “Sambang Srawung,’ yang diikuti pendeta, pastor, tokoh-tokoh umat Kristiani dan aktivis ormas Katolik, itu merupakan kelanjutan dari kegiatan ekumene antara Gereja Protestan dan Katolik dalam Pekan Doa se-Dunia untuk Kesatuan Umat Kristiani di bulan Januari 2018.
Selain melakukan kegiatan dengan sesama umat kristiani, menurut Pendeta Rahmat, mereka juga ingin mengenal umat yang berbeda agama. Maka, setelah tahun 2017 mereka mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah, di tahun ini mereka mengunjungi vihara untuk mengenal tradisi agama Buddha.
“Kita rindu silaturahmi ini dapat berjalan dengan baik dan semakin luas sehingga kita berpikir bagaimana kalau kita silaturahmi dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama,” katanya.
Pengurus Vihara Buddhagaya, Halim Wijaya, menyambut baik kegiatan silaturahmi itu. “Terima kasih atas kunjungannya, mudah-mudahan dengan pertemuan ini kita bisa saling mempererat persahabatan, persaudaraan, terutama dalam kondisi politik yang memanas karena pilkada dan tahun depan pemilihan presiden,” kata Halim seraya berharap pimpinan agama bisa memberikan teladan dalam mengamalkan Pancasila.
Pastor FX Tirta Dewantara MSF menjelaskan tentang kehidupan imam Katolik yang selibat mirip dengan kehidupan para bhikkhu.
Bhikkhu Sujano lalu menjelaskan tentang tradisi Budha dan kehidupan para bhikku. “Dalam agama Buddha, kehidupan ini bisa dijalankan melalui dua cara. Pertama, dengan menempuh kehidupan berumah tangga, punya anak, punya istri, punya kekayaan, dan punya kedudukan. Kedua, seseorang bisa meninggalkan semuanya termasuk kehidupan rumah tangga, tidak berumah tangga, dengan menjadi seorang bhikkhu,” jelas Bhikkhu Sujano seraya menegaskan pentingnya meditasi bagi umat Buddha.
Para peserta mendapat kesempatan untuk berkeliling guna mengenal bangunan vihara dan segala fasilitas peribadatan di sekitarnya.
Dengan silaturahmi, jelas Pendeta Rahmat, peserta bisa saling berdialog dan merasakan kehadirannya tidak seperti dalam ceramah-ceramah tentang kerukunan-kerukunan yang sudah terlalu banyak. “Kita memperbanyak dialog dan pertemuan-pertemuan lintas iman. Jadi, maksud dan tujuan kami datang ke sini, ingin mengunjungi para bhante di sini untuk bisa berdialog bersama,” katanya.(Lukas Awi Tristanto)