Waktu itu, di Cimahi, Jawa Barat, masih sangat banyak anak dan orang dewasa yang sakit dan kurang mampu, masih banyak anak usia sekolah tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak mampu membayar sekolah, dan masih banyak orang tua terlantar.
Seorang misionaris tak kuat melihat kenyataan itu, maka dia membagikan obat kepada yang sakit, mencarikan donatur agar anak-anak melanjutkan sekolah, mendirikan klinik untuk orang miskin, mendirikan sekolah kepandaian putri agar anak perempuan mendapatkan bekal hidup mandiri, serta mendirikan panti jompo untuk menampung orang tua yang terlantar.
Misionaris bernama Suster Philomena Baas OP dari Belanda itu pun merintis sebuah kerasulan sosial dengan nama Keluarga Asuh dan Anak Adopsi (Kelasi) yang merupakan bagian dari program karya misi sosial dari Kongregasi Suster-Suster Santo Dominikus di Indonesia (Ordo Pewarta (OP). Kerasulan sosial yang dimulai tahun 1975 itu dilaksanakan guna menanggapi kemiskinan, terutama di kota Cimahi.
Karena program itu banyak mendapat dukungan positif dari donatur serta pemerhati karya sosial, khususnya dari negara Belanda. Maka setelah misionaris itu meninggal, karya kerasulan sosial itu diteruskan oleh Suster Edmunda OP (alm) dan dilanjutkan oleh suster-suster Dominikan hingga saat ini. Nama-nama suster yang pernah memimpin dan membantu karya sosial Anak Asuh ini adalah Suster Caroline OP, Suster Luisi OP, Suster Theresina OP, Suster Albertha OP dan sejak Januari 2017 Suster Elisabeth OP.
Meski sudah berjalan 43 tahun, ternyata persoalan yang dilihat Suster Philomena OP masih terasa dan memprihatinkan sampai saat ini, maka menurut catatan Suster Elisabeth OP, kerasulan dikembangkan dan dikelola terus sesuai semangat Santo Dominikus, yakni pewarta yang berbelarasa demi keselamatan jiwa-jiwa. “Kesulitan keuangan dan laporan sering jadi hambatan. Tetapi, semangat mewartakan Injil sebagaimana diteladankan oleh Santo Dominikus menggelora dalam jiwa Suster Edmunda OP untuk menemukan jalan demi melayani orang kurang mampu. Ketika pulang ke Belanda, ia ikut lari marathon untuk mempromosikan kerasulan sosial ini,” Hal ini kerap diceritakan dengan penuh semangat oleh Suster Edmunda OP, yang setiap tiga tahun sekali mendapat jatah cuti ke Belanda, selama dua bulan.
“Ketulusan, semangat mewartakan Injil, dan jejaring dengan banyak orang menjadi kekuatan yang diwariskan Suster Edmunda untuk kelangsungan kerasulan ini,” jelas Suster Elisabeth seraya menambahkan bahwa hingga kini para suster masih berjejaring dengan donatur luar dan dalam negeri. Unsur bahasa sangat memegang peranan untuk menjembatani para suster dengan para donatur (institusi) di Belanda. Hal ini sempat menjadi kendala setelah Suster Edmunda dipanggil Tuhan tiga tahun lalu. Namun sekarang sudah teratasi baik dengan komunikasi bahasa Inggris.
Dalam perkembangannya, jelas suster, dahulu Kelasi bahkan bercita-cita membentuk yayasan, bahkan nama yayasan itu sudah dijadikan cop surat menyurat. Namun, kongregasi mengembalikan kerasulan itu di bawah reksa pastoral kongregasi dan tidak menjadikannya yayasan tersendiri. Sayangnya, jelas Suster Elisabeth, donatur dalam dan luar negeri “mulai berkurang.”
Meski demikian demi terwujudnya “masyarakat bermartabat yang dilandasi nilai kasih, belarasa, dan persaudaraan,” yang menjadi visi dari Kelasi, Suster Elisabeth dan stafnya tetap “mengasihi dan melayani sesama, terutama yang kurang beruntung, terlantar dan tersingkir, dan mengembangkan persaudaraan dan kerjasama demi terwujudnya hidup yang makin sejahtera dan bermartabat.”
Kesaksian dan pelayanan kongregasi dalam menanggapi berbagai persoalan sosial, terutama untuk melayani sesama kurang mampu, kurang beruntung dan tersingkir di kota Cimahi, menurut Suster Elisabeth, dijalankan dengan nilai-nilai “kasih dan belarasa” serta “persaudaraan dan kegembiraan. Semua nilai itu nampak dalam bantuan pendidikan yang pernah diterima lebih dari 2000 anak SD sampai SLTA, sejak awal dimulai sampai saat ini. Namun karena dana semakin menipis, hanya 138 anak mendapatkan bantuan itu tahun 2016 dan di awal 2017 verifikasi terhadap situasi kondisi anak dan keluarganya dibuat lagi “agar sesuai sasaran.”
Sewaktu Suster Edmunda masih ada, bantuan juga diberikan untuk Keluarga Asuh. Banyak keluarga miskin diberi modal usaha, bantuan sembako, biaya kontrak dan perbaikan rumah, pelayanan kesehatan, serta bingkisan untuk keluarga asuh saat Lebaran dan Natal. “Namun mulai 2017 pendampingan keluarga asuh difokuskan pada keluarga yang sungguh sangat kurang mampu dan lebih menitikberatkan pengembangan karakter dan kemandirian serta sikap solider di antara mereka, khususnya kepada anak-anak asuh,” jelas suster. Selama tahun 2017, sudah ada tiga kali pertemuan Anak Asuh untuk pembinaan mental dan karakter bahkan beberapa donatur bersedia menjadi narasumber.
Peninggalan kerasulan yang lain, Klinik Dewi Sartika yang didirikan 17 Oktober 1977, juga dibalut nilai-nilai itu, karena banyak orang miskin tinggal jauh dari rumah sakit dan mantri kesehatan. Sejak 2016, klinik itu juga melayani pasien BPJS. Saat ini klinik diampu oleh Suster Mariettha OP dan Suster Alfonsa OP, serta beberapa dokter dan perawat.
Kursus menjahit untuk anak perempuan putus sekolah didirikan oleh Suster Philomena OP sejak 1935, namun karena banyak peminat, sejak 1939 ditingkatkan menjadi Sekolah Kepandaian Putri (SKP). Meski ditutup di awal pendudukan Jepang (1942), SKP dibuka kembali tahun 1967, dan akhirnya dibubarkan tahun 1973 karena pemerintah menuntut sekolah formal menggunakan kurikulum sesuai tuntutan pemerintah. Maka SKP kembali menjadi kursus menjahit.
Tahun 1989, Suster Elisabeth OP yang baru menyelesaikan pembinaan di Novisiat Baciro, Yogyakarta, mendapat tugas untuk mengembangkan kursus menjahit Dewi Sartika dengan membangun tempat khusus untuk menjahit. Karena peminat semakin sedikit, kursus ditutup tahun 2008 dan berubah menjadi layanan menjahit untuk kongregasi. Mulai awal 2017, Suster Elisabeth kembali ditempatkan di Cimahi. Saat ini, tempat jahit itu menjadi Griya Busana yang memproduksi aneka ketrampilan menjahit. “Hasil produksinya diharapkan menopang kelangsungan kerasulan sosial di kemudian hari,” jelas Suster Elisabeth.
Selain bidang kerasulan anak asuh, klinik dan menjahit, juga ada Panti Jompo “Tresna Wredha Karitas” Cibeber, yang juga didirikan oleh Suster Philomena tahun 1980 untuk lansia perempuan kurang mampu agar mengalami masa tua dengan tenang. Selain tempat tinggal nyaman, mereka mendapatkan makanan sehat, kesehatan, dan rohani, sehingga mereka mengalami hidup dan kematian yang bermakna. Para lansia berasal dari beragam latar belakang agama, suku dan asal-usul.
Unit laki-laki yang dibangun sejak 2002 oleh Suster Edmunda. Suster juga membeli tanah dan mengurus perijinan pembuatan makam bagi lansia yang dipanggil Tuhan. Tapi, lansia yang masih aktif tetap diberi kegiatan kerajinan tangan, “agar mereka mengisi waktu secara positif dan merasakan hidup mereka tetap mempunyai makna,” kata Suster Elisabeth. Saat ini panti Jompo Karitas dihuni oleh 23 oma dan 8 opa. Sejak delapan tahun lalu sampai sekarang panti jompo ini ada di bawah tanggung jawab Suster Mariana OP.
Masih ada satu kerasulan lagi yakni Pondok Dominikus, yang terletak satu lokasi dengan delapan unit rumah yang memadai. Tujuannya sebagai rumah transit bagi keluarga kurang mampu. Lokasi ini dibangun tahun 2000 di daerah Cibeber. Mereka bisa menempati rumah ini dengan bayaran yang sangat murah, dan lamanya mereka tinggal bervariasi antara dua sampai delapan tahun. Pondok ini tidak pernah kosong, bahkan peminat selalu antri. “Kini kami memikirkan untuk membantu penghuni untuk menabung agar setelah selesai kontrak, mereka punya modal untuk pindah,” lanjut Suster Elisabeth yang bertanggung jawab atas pondok ini. Pertemuan-pertemuan dalam rangka bina rohani demi keselamatan jiwa-jiwa sebagaimana Semangat Santo Dominikus, mulai juga dilaksanakan secara rutin di Pondok Dominikus dengan pendampingan intensif.(pcp/aop)