(Cerita ringan, berisi peristiwa dan refleksi tentang sesuatu yang jarang terjadi di Roma dan Vatikan yakni turunnya salju tanggal 26 Februari 2018 ini, ditulis oleh seorang imam asal Indonesia yang sudah 25 tahun berkarya di Eropa dan 10 tahun di antaranya di Kuria Roma dalam Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama)
Padre Markus Solo SVD
Mungkin saya salah satu dari sekian banyak orang di Roma yang tidak terlalu serius menanggapi ramalan cuaca Italia tentang kemungkinan turun salju di Roma hari ini, Senin, 26 Pebruari 2018. Namanya juga “ramalan”, sebuah perkiraan. Proses menuju konklusi meteorologis ini tentu saja berbasis pada premis-premis yang merujuk pada fakta-fakta lapangan yang kebenarannya sudah sering terbukti. Tetapi selalu saja namanya ramalan. Kira-kira. Bisa ya, bisa tidak.
Pembuktian ramalan baru terjadi setelah masa terpenuhi ramalan itu berlalu. Apalagi belakangan ini ramalan cuaca di Roma sering meleset. Sekalipun demikian, pengumuman turunnya salju di Roma hari ini sudah dibuat publik dan beredar di berbagai media sosial.
Menariknya, pemerintah kota Roma meliburkan sekolah-sekolah dan menyerahkan kebijaksanaan kepada semua pemimpin perkantoran dan tempat kerja lainnya agar memutuskan yang terbaik dengan tidak bermain dengan resiko terhadap nyawa dan keselamatan manusia.
Tadi pagi setelah bangun tidur, saya membuka jendela untuk memeriksa kebenaran ramalan itu. Saya terperanjat melihat alam putih ditudungi salju. Teringat kembali masa-masa salju selama 15 tahun hidup di Austria. Teringat wilayah Alpen yang indah itu. Terkenang wilayah paroki pegunungan penuh salju yang saya tempuh dengan roda-roda kendaraan berantai di tengah berbagai macam bahaya, tetapi selalu luput.
Untuk warga Roma, khususnya warga pendatang yang belum pernah melihat salju, tentu ini merupakan sebuah sensasi. Wilayah Mediterania atau Laut Tengah mulai dari Roma hingga ke Sisilia biasanya adalah zona bebas salju. Kalau salju turun, itu sebuah sensasi besar. Sebuah euforia luar biasa. Tapi itu bukan berarti bahwa di Roma tidak pernah turun salju. Tahun-tahun silam kadang-kadang terjadi kejutan. Tergantung dari perubahan cuaca alam.
Tanggal 4 Februari 2012 terakhir turun salju di Roma. Lebih tebal dan lebih lama dari hari ini. Saat itu termasuk peristiwa agak tiba-tiba karena ramalan cuaca waktu itu tidak mengatakannya dengan tegas. Roma tidak siap. Kota jatuh dalam chaos. Kali ini, kota sudah mengantisipasi sedikit sehingga kemacetan dan kecelakaan hampir tidak terjadi. Sirene P3K hampir tidak pernah kedengaran, berbeda dengan tahun 2012.
Hari ini, pemerintah kota Roma memutuskan untuk mempekerjakan hanya sekitar 30% jaringan transport publik. Ketika mengendarai mobil dari rumah kediaman, antara pukul 07.30 dan 08.00, jalanan sangat sepi. Satu dua kendaraan yang melintas, berlari dengan kecepatan sangat rendah, karena umumnya mobil-mobil Roma tidak memakai roda musim dingin yang bisa menepis salju. Mobil saya untungnya memiliki roda winter yang mengikuti peraturan pemerintah Italia agar dari November sampai April tetap menggunakan roda winter. Banyak perkantoran diliburkan. Aktivitas publik sangat berkurang.
Tiba di Vatikan, yang terletak di tengah kota Roma itu, gerbang sudah terbuka lebar. Tidak ada gangguan. Ketika melintas di depan Domus Santa Marta, rumah tempat tinggal Paus, dua serdadu tetap berjaga di depan pintu yang masih sedang diguyur salju. Jalanan masih penuh salju. Tempat parkir Vatikan kelihatan banyak yang kosong. Di pintu-pintu, serdadu-serdadu tetap berjaga. Pintu tetap terbuka. Vatikan bekerja seperti biasa.
Ketika melintasi Basilika Santo Petrus, saya kaget melihat deretan kursi-kursi yang biasanya digunakan untuk audiensi dengan Paus semua tertutup salju. Basilika Santo Petrus dan atap-atap Istana Kepausan semua berwarna putih didandani salju yang tak putus turun entah dari lapisan langit ke berapa.
Di tengah Lapangan Santo Petrus saya mendengar teriakan sekelompok orang muda berpakaian hitam yang saling berkejaran dengan irama lari pelan-pelan. Riuh ketawa mereka terdengar menggema. Mereka sibuk membuat bola-bola salju dan saling melempar. Ada yang saling mendorong sekedar agar temannya jatuh terguling di salju. Saya mendekat dan bertanya siapa mereka. Jawab mereka, “Kami para pastor dari Kolese Amerika di Bukit Gianicolo. Kami datang untuk menyaksikan indahnya Vatikan di bawah salju.” Lalu mereka ramai-ramai membentuk sebuah patung “snowman” dari salju yang melukiskan seorang pastor dengan mengenakan kolar, berdiri persis satu garis dengan stupa Basilika Santo Petrus. Sebuah pemandangan menarik yang tidak biasa, lucu sekaligus inspiratif.
Salju di Roma adalah sesuatu yang jarang terjadi. Oleh karena itu, kota Roma tidak mempersiapkan diri untuk itu, seperti dilakukan oleh negara-negara Alpen di Eropa yang saban tahun berhadapan dengan salju yang menggunung.
Keuntungan situasi seperti ini ada beberapa. Pertama, masa turun salju mempererat tali kekeluargaan, karena hampir seluruh anggota keluarga berada di rumah karena banyak orang tidak kerja atau tidak ke sekolah. Dalam situasi ini, keindahan alam bisa dinikmati secara bersama dalam iklim sukacita kekeluargaan, dan banyak foto indah muncul. Kedua, orang sadar akan bahaya dan tidak mengambil resiko atas keselamatan diri. Salju menyebabkan jalan menjadi licin, maka banyak terjadi kecelakaan kendaraan dan banyak pejalan kaki jatuh. Kebijakan pemerintah menunjukkan sisi human sebuah hukum dan ketentuan yang berlaku, bahwasanya, nyawa dan keselamatan manusia adalah prioritas utama dan terutama dalam pemberlakuan hukum dan aturan.
Vatikan juga memberlakukan ketentuan yang sama. Ketika masuk kantor, banyak kolega mengirim berita kalau situasi dan kondisi tidak memungkinkan mereka untuk sampai ke tempat kerja. Menyadari bahwa resiko terlalu besar, mereka harus tinggal di tempat. Para pemimpin berbagai perkantoran di Vatikan juga menyampaikan hal yang sama, tak boleh bermain dengan resiko yang membahayakan keselamatan diri.
Sekeras-kerasnya hukum, ternyata juga bisa lembek di hadapan salju yang lunak dan bersifat sementara. Walaupun kadang hanya sebentar saja eksis, dan akan segera mencari menjadi air ketika berhadapan dengan sinar matahari, hukum dan peraturan yang dibuat manusia bisa bertekuk-lutut di hadapannya oleh karena satu hal penting: keselamatan diri manusia.
Antara aturan atau hukum dan kemungkinan resiko, manusia harus tetap menjadi subyek dari segalanya.***