“Saya merasa apa yang terjadi terhadap diri saya dalam kasus penyerangan di Gereja Lidwina, Bedog, menunjukkan keamanan atau toleransi di Indonesia menurun. Ini contoh dari berapa peristiwa akhir-akhir ini, maka apa yang saya alami tidak istimewa, hanya menyambung peristiwa sebelumnya. Maka saya berharap apa yang terjadi terhadap diri saya jangan membuat kita takut dan lumpuh, karena tujuan mereka adalah menakutkan dan melumpuhkan Gereja.”
Pastor Karl-Edmund Prier SJ mengatakan hal itu dalam pembicaraan lewat telepon dengan PEN@ Katolik, 24 Februari 2018, saat beredar lewat media sosial tulisan imam itu tentang apa yang dia saksikan, apa yang dia alami, dan kejadian menarik sesudah itu. “Ya, saya menulis itu,” kata Pastor Prier membenarkan bahwa yang beredar di media itu adalah tulisannya.
Setiap minggu kedua dan minggu keempat, imam itu memang ditugaskan membantu gereja Stasi Santa Lidwina Bedog, stasi dari Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran Yogyakarta.
Dalam sharing saat homili Misa 19 Februari 2018 untuk pemberkatan kembali Gereja Santa Lidwina oleh Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko, seperti tertulis dalam tulisan itu, Pastor Prier menegaskan dua hal. Pertama, “Jangan takut! Kita mengalami bantuan luar biasa pada saat di mana diperlukan.” Kedua, “Saya maafkan Sulyono dengan ikhlas. Karena saya juga tiap hari berdoa dalam Bapa Kami … seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.”
Betul, tulis imam itu, dia sebenarnya bisa lari keluar gereja seperti kebanyakan orang yang mengikuti Misa 11 Februari 2018 di gereja itu saat Sulyono menyerang, “Namun suara hati saya berkata: Jangan pergi. ‘Gembala yang baik tidak boleh lari bila serigala datang.’ Saya tetap berdiri di altar untuk membelokkan perhatian si pelaku dari umat kepada saya. Sesudah memukul domba ‘serigala’ memang datang memukul gembala. Melalui gang tengah gereja dengan pedang panjang yang diangkat tinggi dia berteriak ‘Allahu akbar’. Namun di muka altar ia berhenti sebentar, seakan-akan masih berpikir kok orang ini tidak takut? bagaimana saya bisa membuat dia takut?”
Saat itu, imam itu merasa seperti Daud yang menghadap Goliat. “Anehnya tanpa takut sama sekali. Kemudian si Goliat datang ke belakang altar di mana saya berdiri. Dua kali aku dipukul di punggung, pukulan ketiga di kepala. Saya hanya berputar ke kanan, tetap berdiri di situ, tidak jatuh. Banyak darah mengalir dari kepala saya, maka saya pergi tanpa diikuti oleh dia. Ketua stasi Bedog mendekati saya dan berkata: kita pergi ke rumah sakit.”
Sesudah itu, Goliat memenggal kepala patung Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus, merusak mimbar, dan sebagainya. “Beberapa orang dari umat berusaha melawan dia dengan tongkat, dengan melempar kursi, namun tidak berhasil juga. Polisi yang segera tiba juga dilawan dan dilukai dengan pedang, sampai akhirnya suatu peluru dalam kaki menghentikan aksi babi-buta itu,” tulis imam itu.
Di UGD Panti Rapih imam itu bersama tiga orang yang terluka berat segera dibalut dan discan. “Dokter Wiryawan, ahli bedah, berkata pada saya: ini harus dioperasi; tetapi untung selaput otak dan otak sendiri masih utuh. Operasi langsung terjadi tanpa kesulitan. Sebagai oleh-oleh atau relikui saya mendapat pecahan tengkorak yang diambil dokter dari dalam kepala saya,” lanjut imam itu.
Menurut Pastor Prier, ada tiga hal menarik terjadi sesudah itu. Pertama, kunjungan Sri Sultan Hamengkubuwono X hari Minggu, 11 Februari 2018, di ICU Panti Rapih, dan mengatakan “Saya minta maaf pada Romo.” Menurut Pastor Nugroho SJ yang tinggal serumah dengan Pastor Prier, “Kalimat ini tidak pernah terdengar sebelumnya dari mulut Sang Raja Yogya.”
Dalam pembicaraan dengan PEN@ Katolik, Pastor Prier menegaskan bahwa dari informasi yang dia terima Sri Sultan tidak biasa meminta maaf secara eksplisit melainkan memberi perintah. “Maka ini sesuatu yang istimewa. Baru kali ini Sultan sebagai Raja meminta maaf.”
Kedua, Senin 12 Februari 2018, umat Katolik mulai membersihkan gereja di Bedog. “Namun anehnya, segera didampingi oleh umat Islam sebagai tanda solidaritas. Bersama-sama gereja dicat baru hingga sekarang nampak lebih segar. Bahkan seorang haji pada hari Senin langsung menyumbangkan patung Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus baru. Seorang lain menyumbangkan CCTV atau alat alarm yang juga langsung dipasang di gereja. Semuanya ini terjadi tanpa panitia dan rencana anggaran biaya. Hebat. Suatu tanda kuat, bahwa masyarakat Yogyakarta berusaha keras memperbaiki image sebagai kota nyaman yang akhir-akhir ini agak luntur,” tulis Pastor Prier.
Ketiga, Senin 19 Februari 2018, dirayakan ibadat syukur di gereja Bedog. “Gereja diberkati kembali oleh Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko. Para kurban pun hadir, masih dengan balut-balut, namun dengan rasa syukur di hati. Yang hadir bukan saja umat Bedog, tetapi dari seluruh kota Yogyakarta. Katanya 1400 orang. Tentu kompleks gereja dijaga ketat juga oleh polisi” tulis imam itu.
Sekarang, menurut Pastor Prier, dia sedang menikmati masa pemulihan. “Rasanya tidak sakit tetapi masih lemas, karena Hb (darah) masih rendah. Balutnya sudah dilepas, tinggal menunggu rambutnya tumbuh kembali.” Dalam pembicaraan dengan PEN@ Katolik, imam itu menambahkan bahwa umat pun masih dalam taraf penyembuhan dari trauma, khususnya anak-anak. “Kami berusaha agar trauma itu bisa dihilangkan.” (paul c pati)