Seorang guru Katolik yang mengajar di sekolah dasar negeri di sebuah desa persis di kaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah, saban hari melayani para murid yang rata-rata beragama non-Katolik. Namun dia melakukan pekerjaan itu dengan penuh sukacita.
Di sejumlah desa tetangga ia juga tahu bahwa warga sekitar belum bisa membaca dan menulis, maka ia memilih menempuh perjalanan selama tiga jam sebanyak dua kali seminggu guna mengajar masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis.
“Apa yang menjadi alasan saudara melakukan pekerjaan ini?” Menjawab pertanyaan yang diajukan dalam satu perjumpaan oleh Mgr Ignatius Suharyo, yang kala itu Uskup Agung Semarang, guru itu menjawab, “Saya hanya ingin menunjukkan kepada warga sekitar desa ini, agar mereka tahu orang Katolik itu selalu melakukan perbuatan baik.”
Mgr Ignatius Suharyo yang kini Uskup Agung Jakarta menceritakan kisah itu dalam homili Misa dalam rangka “Dialog guru dan dosen Katolik yang mengajar di lembaga pendidikan non-Katolik,” yang dilaksanakan di aula sekolah Kanisius, Menteng, Jakarta, 21 Januari 2018.
Sebanyak 514 guru dan dosen Katolik yang bertugas di lembaga pendidikan non-Katolik di wilayah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) hadir dalam Misa yang dipimpin Mgr Ignatius Suharyo dan didampingi konselebran Ketua Majelis Pendidikan Katolik KAJ Pastor Heru Hendarto SJ dan Moderator Pastoral Mahasiswa KAJ Unit Timur Pastor Antonius Didit Soepartono Pr.
Mgr Suharyo mengakui, tugas perutusan sebagai guru di tengah pluralitas sangat berat dan bahkan sangat ‘tidak bersahabat’. Meskipun demikian, uskup itu mengatakan, “Saya mengajak para guru Katolik yang bertugas di luar untuk selalu bersatu melakukan pelayanan serta terus menerus menjaga kemurnian pelayanan ajaran Yesus dan tidak tergerus oleh zaman.”
Dari dialog yang berlangsung sesudah Misa, terungkap berbagai pengalaman pahit yang dialami sejumlah guru yang berkarya di lembaga non-Katolik. Ada sebuah TKK yang diterpa isu kristenisasi, namun karena kearifan pendirinya dalam menanggapi isu itu, dengan menjelaskan kepada masyarakat setempat bahwa isu itu tidak benar, TKK itu tetap diminati warga setempat.
Seorang guru lain menceritakan penolakan dari sejumlah ulama karena membuka layanan bimbingan belajar bersama sejumlah guru lainnya. Bimbingan belajar yang diikuti peserta didik non-Katolik itu hanya bisa berjalan beberapa bulan dan berhenti. Dalam tanggapannya, Mgr Suharyo menyarankan agar pelayanan tidak mesti menggunakan bendera Katolik, “tapi berbaur dengan masyarakat setempat.”
Misa dan dialog itu, menurut Ketua Komisi Pendidikan KAJ Bruder Heribertus Sumarjo FIC, dilakukan sebagai bentuk perhatian dan dukungan Gereja atas panggilan, kehidupan, dan perutusan para guru dan dosen Katolik yang bertugas di lembaga pendidikan non-Katolik.(Konradus R Mangu)