Minggu Adven ke-4
24 Desember 2017
Lukas 1: 26-38
“… hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya… (Luk 1: 47-48).”
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP
Lukas memiliki cara yang tajam dan unik dalam menulis kisah tentang Penerimaan Kabar Sukacita. Dia dengan sengaja menempatkan kisah Zakharia dan Maria secara berdampingan, dan membiarkan pembacanya melihat kedua cerita itu dalam perbandingan. Kisah pertama berbicara tentang seorang imam yang suci yang melayani di Bait Allah. Zakharia adalah simbol dari orang Israel ideal yang berdiri di pusat peribadatan bangsa Israel. Kisah kedua berbicara tentang seorang wanita sederhana yang tinggal di Nazaret, sebuah desa kecil yang jauh dari pusat pemerintahan dan keagamaan. Dalam masyarakat patriarki, Maria adalah simbol dari bangsa Israel yang miskin dan terpinggirkan dan terdorong ke pinggiran. Malaikat Gabriel menampakkan diri kepada keduanya, dan Tuhan melakukan perbuatan yang luar biasa bagi keduanya. Namun, Kabar Sukacita bagi Maria ternyata jauh lebih baik. Pertama, sang Malaikat menyapa Maria dengan gelar kehormatan, “Engkau yang dikaruniai”, sementara sang malaikat tidak menyapa Zakharia sama sekali. Kedua, sang malaikat membuat Zakharia bisu karena keraguannya, tapi dia meyakinkan Maria saat Maria bertanya-tanya. Ketiga, pembuahan Yohanes Pembaptis terjadi secara alamiah, sementara Yesus di dalam rahim Maria terjadi melalui cara yang supernatural. Zakharia dan Elizabeth mewakili karya besar Tuhan dalam Perjanjian Lama seperti ketika Tuhan membuka rahim Sarah, istri Abraham, dan Hannah, ibu Samuel, meskipun sudah tua dan mandul. Namun, apa yang terjadi pada Maria melampaui segala mukjizat Perjanjian Lama ini.
Membaca buku-buku Perjanjian Lama dan membandingkan kisah Zakharia, kita menemukan bahwa Kabar Sukacita Maria berada di puncak. Belum pernah terjadi sebelumnya, malaikat akan memberi kehormatan kepada seorang manusia biasa. Belum pernah sebelumnya, Tuhan memberi karunia-Nya yang dahsyat kepada manusia biasa. Namun, yang membuat kisah ini bahkan luar biasa adalah pilihan Tuhan bagi Maria yang adalah seorang wanita muda miskin yang berasal dari desa yang tidak penting. Tuhan memilih seorang yang bukan siapa-siapa untuk menjadi ibu Putra-Nya. Oleh karena itu, kidung Maria atau “Magnificat” bukanlah sebuah lagu yang imut, namun ternyata merupakan kesaksian yang menyata tentang kekuatan Tuhan terhadap Maria, hamba-Nya, “…hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya… (Luk 1: 47-48).”
Kita, seperti Maria, sering merasa bahwa kita lemah dan putus asa dengan begitu banyak masalah dalam hidup. Kita diintimidasi oleh teman sekelas, kerja, pelayanan, dan bahkan masyarakat karena keunikan dan bakat kita. Kita merasa bahwa kita tidak penting karena kita tidak memiliki pencapaian apa-apa. Namun, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia mengerjakan karya besar-Nya pada saat kita merasa bahwa kita bukanlah apa-apa.
Seorang imam Dominikan yang baru saja ditahbiskan mengaku bahwa dia melakukan banyak hal bodoh waktu dia muda, dia tidak menyelesaikan kuliahnya dan menyia-nyiakan hidupnya. Hidupnya benar-benar berantakan dan dia adalah sebuah kegagalan. Merasa hilang, dia memutuskan untuk masuk seminari. Namun, hidupnya perlahan-lahan semakin membaik, dan dia mengambil kesempatan kedua itu dengan serius. Dia belajar dengan tekun, dan menjadi seorang frater yang baik. Akhirnya, dia dianggap layak menjadi imam. Dalam Misa perdananya, dia mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena Dia telah memilihnya, hamba-Nya yang hina dan gagal, dan bahwa dalam kelemahan terbesarnya, Tuhan telah bersinar terang. Seperti Maria, kita dipanggil untuk menemukan perbuatan-perbuatan besar Allah dalam hidup kita, bahkan di dalam kegagalan hidup, dan menyatakannya kepada dunia.