“Saya bangga dengan orang-orang Pontianak yang sukses, tetapi tidak melupakan tempat asalnya. Orang Kalbar yang sukses dan punya niat luhur ingin membangun Kalbar, pasti pahalanya lebih luhur lagi,” kata Mgr Agustinus Agus kepada wakil-wakil donatur dan alumni Sekolah Suster Pontianak, Vidjongtius, Ali, Suwana dan Lauren Sarinah, yang kini menjadi pengusaha di Jakarta.
Uskup Agung Pontianak berbicara tanggal 19 November 2017 dalam pemberkatan Aula Serba Guna Persekolahan Suster Pontianak, yang ide atau cikal bakal pembangunannya serta tekad bahu membahu membangun dan memajukan sekolah itu muncul dalam Reuni Akbar Lintas Angkatan 1960-1990 SD dan SMP Suster Pontianak, 25 Maret 2017.
Reuni itu terlaksana berkat dukungan Provinsial SFIC Suster Irene SFIC dan suster-suster lainnya, serta Tim Peduli Pendidikan Keuskupan Agung Pontianak, yang mendukung tekad para alumni untuk “tidak berpangku tangan, melainkan secara optimal dan bertahap membantu dan membawa sekolah suster ke tingkat yang lebih baik, khususnya dalam menghadapi perubahan pesat di dunia pendidikan saat ini.”
Sejak awal, menurut Mgr Agus, Gereja Katolik sudah memiliki karya rumah sakit, karya pendidikan dan karya sosial lainnya, “tetapi sekarang ini mutu pelayanan menurun, sudah ada pembedaan kaya dan miskin, maka perlu perubahan, bukan hanya di medan karya, tetapi juga dalam biara dan Gereja, jangan sampai sekolah Katolik, atau rumah sakit Katolik menjadi karya yang hanya disegani tetapi tidak dicintai.”
Uskup berharap semoga dengan perubahan, perkembangan dan pembangunan fasilitas pendukung seperti aula baru dari para donatur itu, pelayanan para Suster SFIC lebih baik lagi dan “menjadi contoh bagi masyarakat bahwa orang Katolik itu baik, sekolah Katolik itu baik, tidak membeda-bedakan suku, agama dan sebagainya,” tegas Mgr Agus.
Ketua Tim Peduli Pendidikan Juliana Sujadi menegaskan, sekarang sekolah Katolik banyak terpukul dari pelbagai segi di antaranya perubahan susunan penduduk, menghilangnya peran biarawan atau biarawati di kelas, persaingan dari sekolah-sekolah lain, jumlah murid menyusut, keuangan sulit, tingkat gaji tenaga pengajar rendah, lemah advertising atau marketing. “Sudah banyak sekolah Katolik ditutup. Upaya satu-satunya yang harus dilakukan agar bisa survive adalah berani berubah dan berinovasi,” katanya.
Vidjongtius yang juga Ketua Alumni SMP Suster Pontianak membenarkan bahwa dunia kompetisi tidak hanya merambah atau identik dengan dunia bisnis tetapi juga dunia pendidikan. “Kompetisi ini tidak bisa berhenti dan tidak bisa kita didikte. Kompetisi pasti lewat, maka kami sebagai alumni tergerak hati untuk membatu persekolahan suster agar mampu berkompetisi dengan sehat dan tidak terlepas dari pengembangan mutu pelayanan,” katanya.
Menanggapi menurunnya kualitas maupun kuantitas sekolah Katolik, Sister Irene SFIC mengatakan, sejak awal misionaris datang ke Kalimantan Barat sudah mendirikan sekolah karena keprihatinan bahwa waktu itu tidak ada sekolah, bukan karena ada modal.
“Sudah seratus tahun lebih, tepatnya 28 November 1906, para suster misionaris dari Belanda datang ke Kalimantan Barat dengan karya awal pendidikan dan sampai saat ini para suster masih berkomitmen meneruskan karya ini,” kata Suster Irene seraya berterima kasih atas dukungan uskup dan pastor paroki serta semua orang yang berkehendak baik untuk membantu sekolah itu.(Suster Maria Seba SFIC)