Oleh Suster Andrea Desi Rihani OP
Kongregasi mengutus saya mendalami ilmu psikologi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Di kampus itu, mayoritas staf, dosen dan mahasiswa beragama Islam dan memakai jilbab. Saat ospek universitas dan ospek fakultas, rasanya saya selalu diperhatikan di mana pun saya duduk, berdiri dan berjalan. Saya benar-benar berbeda di antara dua ribuan mahasiswa angkatan 2016. Bahkan dosen dan panitia heran dengan kehadiran saya. Pakaian kebiaraan saya menjadi sorotan apalagi bagi teman-teman yang kurang tahu atau bahkan sama sekali belum pernah bertemu dengan biarawati.
Namun, saya selalu percaya bahwa Tuhan punya rencana atau misi tertentu untuk saya laksanakan di mana pun saya diutus. Memang, ketika perutusan disampaikan oleh pemimpin, saya belum mengerti rencana itu. Saya pun belajar memahaminya dalam proses perjalanan tugas perutusan itu.
Sebagai seorang Dominikan, saya syukuri perutusan untuk kuliah di tempat yang berbeda. Itulah waktu yang Tuhan berikan bagi saya untuk mewartakan, bukan sekedar lewat kata, tetapi hidup harian dalam hal sederhana. Di sini saya ditantang untuk selalu mengingat bahwa diri saya di mana dan kapan pun menjadi tanda kehadiran Gereja dan juga Kongregasi Ordo Pewarta (OP). Maka, setiap hari saya berjuang memberi kesaksian yang baik, agar keselamatan jiwa-jiwa mencakup semua orang, bukan hanya pribadi tertentu.
Bekal saya untuk memasuki dunia berbeda ini adalah hati yang penuh kasih, seperti yang Tuhan sampaikan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Mat.22:39).” Sabda itulah yang saya pegang teguh. Saya sangat yakin, ketika dengan hati yang peduli, hati yang mengasihi, dan hati yang mau berbagi saya memasuki suatu kelompok, meski saya berbeda agama dan budaya bahkan dikatakan minoritas, saya tidak akan mengalami kesulitan.
Kisah orang Samaria yang baik hati, kisah wanita berzina, kisah anak yang hilang juga menjadi inspirasi bagi saya untuk bisa menghayati hidup dalam perbedaan. Di belahan dunia mana pun kita tinggal, belaskasih dan pengampunan selalu dibutuhkan untuk bisa hidup berdampingan dengan sesama. Kita membutuhkannya, maka kita pun harus membagikannya meski kita sendiri berjuang memiliki keutamaan itu.
Maka, selain belajar, di kampus itu saya menghadirkan diri bagi teman-teman yang butuh tempat untuk bercerita, berbagi pengalaman menyenangkan maupun sedih, luka dan segala penderitaan mereka. Bagi saya, memberi semangat dan motivasi teman-teman termasuk sesuatu yang berharga. Selain itu saya membantu teman-teman mendalami materi kuliah.
Di kelas, saya juga membantu dosen menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan selama kuliah. Kadang-kadang, jika dosen membutuhkan sesuatu, atau ada yang tertinggal di tata usaha, saya turun dari lantai empat lewat tangga menuju tata usaha di lantai dasar. Bagi saya, sekecil apa pun, itu kesempatan untuk berbuat baik bagi teman-teman dan dosen. Ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat orang di sekitarku merasa nyaman dan terbantu, ketika saya melakukan pewartaan lewat hal-hal sederhana.
Saya merasa, semangat Gereja dan semangat Ordo Pewarta adalah merangkul seluruh umat manusia. Merangkul bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti tersenyum, menyapa, dan membantu orang yang membutuhkan, meski saya sendiri pusing dengan tugas kuliah. Ada banyak kebaikan bisa dilakukan dan saya mencoba melakukan yang bisa saya lakukan dengan hati tulus. Saya sangat percaya, berbuat baik adalah cara menabur benih yang buahnya juga akan saya tuai. Semakin bermurah hati, semakin banyak saya menerima kemurahan hati Tuhan lewat pribadi di sekitar saya.
Di kampus, saya tidak pernah merasa dibedakan. Teman-teman menerima saya tanpa keraguan untuk berdiskusi tentang agama. Saya merasa, di sini letak salah pewartaan, menghadirkan Gereja yang memang sangat asing bagi sebagian besar teman-teman saya. Bahkan banyak teman tidak tahu bahwa suster adalah biarawati dari agama Katolik. Awalnya mereka sungkan bertanya tentang hidup para suster, terutama apakah suster menikah atau tidak. Tetapi, lama kelamaan mereka bisa bertanya dengan santai. Saya pun merasa, apapun yang mereka tanyakan adalah pintu masuk bagi berkomunikasi untuk mengenalkan keutamaan hidup agama masing-masing.
Saya selalu menekankan, tujuan setiap agama sama yaitu kebaikan untuk sampai pada perjumpaan dengan Tuhan di surga. Selain itu, saya tekankan, semua orang apa pun agamanya diharapkan bisa berbuat baik kepada sesamanya, atau jika tidak bisa berbuat baik minimal tidak menyakiti, seperti yang dikatakan Dalai Lama. Dalam komunikasi penting untuk memahami dengan benar bahwa yang kuanggap benar tidak bisa dipaksakan menjadi kebenaran mutlak bagi orang lain. Maka, saya juga tekankan pentingnya saling menghormati bukan hanya agama tetapi pendapat masing-masing.
Saya ingat saat pertengahan kuliah semester satu. Beberapa dosen dan kaprodi bertanya kepada saya, “Suster, apakah suster bahagia kuliah di sini? Suster diperlakukan dengan baik oleh para dosen dan teman-teman mahasiswa kan?” Pertanyaan dan kepedulian para dosen agar saya benar-benar nyaman itu membuat saya terharu.
Di awal masuk, ada mata kuliah dari dosen beragama Islam, yang memberi saya kesempatan untuk presentasi tentang Gereja Katolik dan kehidupan para suster. Setelah presentasi, ada teman setiap bulan menawarkan uang jajan. Alasannya, saat presentasi seorang teman bertanya tentang uang saku, dan saya menjawab para suster tidak memiliki uang saku. Di waktu berbeda, serombongan teman membuat kesepakatan untuk bergantian mengantar jemput saya dari biara ke tempat kuliah. Mereka berpikir biarawati tidak biasa berada di lingkungan luar dan terlalu berbahaya bepergian sendiri. Tentu saya terharu dengan segala bentuk kepedulian mereka. Tetapi saya menjelaskan bahwa kami dilatih untuk menjadi pribadi mandiri.
Setiap kali saya datang dan akan pulang kuliah, tukang-tukang parkir kampus pun selalu menyapa saya dengan sangat semangat. Saya banyak belajar dari mereka, yang awalnya seperti tidak biasa melihat penampilan biarawati. Bahkan ada teman saya mengatakan, “Baju suster tidak pernah diganti, di mana dan kapan pun selalu sama.” Lama kelamaan saya menjadi terbiasa dan merasa kita semua satu keluarga yang saling peduli.
Kampus menjadi rumah saya untuk belajar toleransi dalam perbedaan. Seperti dikatakan Ahmad Wahib, “toleransi beragama berarti menghormati manusia dalam keseluruhan adanya, memandang hidup rohani orang lain sebagai hak pribadinya yang tak dapat diganggu gugat atau dikendalikan dari luar.” Ini saya alami saat kuliah atau kerja kelompok. Ketika teman-teman sholat, mereka memberi saya kesempatan untuk berdoa. Terkadang saya ikut ke masjid. Sementara teman-teman sholat, saya mendoakan Malaikat Tuhan atau Rosario.
Menjadi Dominikan menyemangati saya untuk menjadikan hidup ini sebagai sumber inspirasi kebaikan bagi siapa pun terutama di kampus. Saya merasa, budaya menyapa, meminta maaf, mengakui saat salah, berbagi makanan dan ilmu, berterima kasih dan berempati adalah keutamaan-keutamaan hidup yang harus terus diperjuangkan untuk hidup di jaman sekarang. Dan saya melihat, keutamaan ini bisa saya bangun bersama teman-teman lain.
Ali bin Abi Thalib terkenal dengan nasihat bijaknya “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.” Saya mengingat kata-kata ini saat kaprodi mengungkapkan harapan pribadinya kepada saya, “semoga kampus kita ini mampu menyampaikan kepada dunia sekitar bahwa yang kita junjung tinggi di sini adalah toleransi, di mana setiap mahasiswa memiliki hak yang sama dalam hal apa pun juga demi untuk mengembangkan dirinya menjadi mahasiswa yang berguna bagi agamanya dan negaranya.”
Menjadi saudara dalam perbedaan tidaklah sulit, asalkan hati kita terbuka menerima bahwa di bumi ini ada banyak hal berbeda, bahkan tidak ada sesuatu yang benar-benar sama. Oleh karena itu, diperlukan hati dan pikiran terbuka, agar perbedaan tidak menjadi pembatas yang menghalangi kita untuk berelasi. Saya percaya, setiap manusia di kolong langit dipanggil menjadi duta perdamaian guna membangun dunia yang damai untuk semua mahluk. Kita adalah pribadi yang dipanggil untuk menjadi saudara bagi sesama.***